Bandung Selatan di waktu malam
Berselubung sutra mega putih
Laksana Putri lenggang kencana
Duduk menanti datang kekasih
Dayeuhkolot, kota lama yang diceritakan dengan indah dalam lagu keroncong Bandung Selatan di Waktu Malam itu kini kembali dilanda bencana. Memang kejadian ini terjadi nyaris tiap tahun dan warga pun tampaknya sudah “terbiasa” dengan keadaan ini. Tapi tetap saja ini adalah bencana dan saudara kita di sana membutuhkan bantuan.
Sungai Citarum yang berhulu di Situ Cisanti, bertemu dengan Sungai Cikapundung dari arah utara kota Bandung di kawasan ini. Debit air melonjak, ditambah dengan pendangkalan sungai dan hujan yang terus menerus mengguyur menyebabkan meluapnya sungai dan menggenangi kawasan sekitar Dayeuhkolot serta memutus jalur transportasi dari Baleendah, Banjaran, dan sekitarnya ke arah kota Bandung.
Sabtu (20/03) dini hari kami menerima kabar itu, lalu pagi harinya berangkat ke lokasi untuk membantu evakuasi warga yang terjebak banjir setelah sebelumnya berkoordinasi dengan rekan-rekan KSR PMI dan BEM. Di Desa Pasawahan yang terdiri dari 12 RW hampir semuanya tergenang. Desa ini memang berbatasan langsung dengan aliran Sungai Citarum di sebelah selatan. Kondisi diperparah dengan rapatnya rumah-rumah penduduk dan industri tekstil sehingga perahu karet kami tak mampu masuk hingga ke dalam gang. Ini cukup menyulitkan misalnya ketika rekan-rekan harus mengevakuasi seorang penderita stroke dari rumahnya yang tergenang di desa Citepus. Belum lagi meluapnya fasilitas pengolahan limbah industri yang menyebakan air bercampur limbah berwarna ungu gelap dan berbau tak sedap.
Sore hingga malam hari kami bertanggungjawab mengambil bantuan logistik di Kantor Kecamatan Dayeuhkolot. Setelah sekitar 1,5 km mendayung perahu dalam kegelapan malam tanpa listrik bersama lurah Pasawahan, kami mencapai kantor itu dan menjemput bantuan berupa 4 kresek besar nasi bungkus dan 4 kardus mie instant. Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan pengungsi yang mencapai 700an orang.
Dalam suasana gelap, hujan, dan air tergenang setinggi leher, kami kerap berpapasan dengan pengungsi yang dengan susah payah menembus air sambil mengangkat bawaan seadaanya setinggi mungkin di atas kepala.
“Pak, tolongin Pak. Bawa istri saya ke atas perahu Pak”, kata seorang pengungsi yang terpaksa kami tolak karena berlawanan arah dan kami harus segera menjemput bantuan. Beberapa orang tampak bertahan berdiri di gapura desa dengan penerangan lilin seadanya, sebagian lagi berkumpul di sekitar markas Yon Zipur TNI. Sementara di dalam kantor kecamatan para pengungsi terutama wanita dan anak-anak berjubel di ruangan pelayanan masyarakat kantor kecamatan dan di aula dengan alas tidur seadanya dan gelap tanpa lampu yang menyala. Pos pengungsi di kantor ini pun sempat tergenang sehingga dapur umum harus dipindahkan ke area kampus IT Telkom karena sudah tidak kondusif.
Sabtu malam, pos dapur umum di kampus sudah beroperasi dan paginya sudah bisa melayani pengungsi dengan kapasitas 800 paket makanan sekali masak, dengan dua kali distribusi pada pagi dan malam hari.
Solusi berupa evakuasi dan dapur umum ini tentunya hanya bersifat jangka pendek, perlu dipikirkan solusi yang lebih menyeluruh dan permanen melibatkan segala elemen masyarakat dan pemerintah, serta institusi pendidikan di sekitarnya. Beberapa gagasan telah muncul dan sedang digodok untuk dilanjutkan dalam bentuk nyata menanggulangi bencana rutin kawasan selatan Bandung. Semoga tahun-tahun ke depan telah jadi realisasinya dan Bandung Selatan kembali asri seperti yang diceritakan dalam lagu tadi. []
Oleh Astaka Sarwiyanto
semangat gan!
siap!!!
wah…
halo-halo bandung kenapa kamu banjir terus,??