by George Mallory
Senin, 29 Juni 2009
Selama 45 menit perjalanan kami, pemandangan didominasi dengan ladang cengkeh dan tembakau milik petani keringat mulai mengucur deras baju mulai basah matahari bersinar dengan teriknya. Perlahan namun pasti, kami perlahan meninggalkan desa. Suara keramaian desa mulai sayup-sayup terdengar. “Break… Break…”, salah seorang dari tim meminta break. Aku yang di depan langsung mencari tempat teduh dan rata agar kami bisa berhenti. Saat berhenti kumanfaatkan untuk berorientasi. Kuajak semua tim untuk membuka peta mereka. Mulai mengamati kontur alam sekitar dan menyamakan orientasi kami masing-masing. Setelah sepakat dengan posisi kami di peta, perjalanan dilanjutkan.
Titik awal sebelum memasuki hutan, kami melakukan orientasi lagi guna memastikan punggungan yang tepat untuk didaki. Setelah yakin dan mantap, kaki-kaki kecil ini mulai kupaksa bekerja. Nafas mulai terengah-engah. Paru-paru udah kayak mau jebol. Mungkin gara-gara rokok atau malas latihan fisik. Kondisi yangg sama juga dialami oleh anggota tim yang lain. Biar pelan yang penting stabil. Saya tidak suka kalau sering berhenti karena bisa mengacaukan ROP. Pokoknya target malam ini harus bermalam di Danau Taman Hidup.
Vegetasi hutan di jalur Bremi didominasi oleh pohon pinus. Perjalanan ini terasa sangat berat, mungkin dikarenakan tidak ada yang latihan fisik sebelumnya, juga medan yang notabene tanjakan. Bonusnya cuma di ladang, dari pintu masuk hutan ke atas. Nanjaknya aje gile, tidak ada bonus. Muka sampai ketemu dengkul, mana carrier rata-rata sampai 25 kg, ditambah air yang full tank. Suasananya seperti ini mirip mirip pendas, cuma bedanya sekarang saya yang bawa nyawa anak orang, hehehe.
Tepat pukul 12 kami berhenti istirahat sebentar sambil menikmati snack yang kami bawa. Sambil orientasi, dan siang itu capeknya perjalanan dikalahkan oleh ramainya senda gurau antara kami.
Perjalanan ini terbilang ngebut, dikarenakan rata-rata setelah melewati 1 karvak baru kita istirahat. Siang itu kami tidak makan siang. Target kami ditambah, yaitu makan siang di Danau Taman Hidup. “Hayooo semangat bruer…” Dengan semangat juang 45 kupaksa jiwa dan raga ini melanjutkan perjalanan. Kalau lihat di peta sih sudah dekat target kami, tinggal 3 karvak lagi sampai. Cuma yang bikin malas kalau melihat konturnya yang rapat-rapat. Langkah kaki kupercepat. Segala macam letih dan gangguan tak kuhiraukan. Hahaha ternyata perkiraanku tepat. Tak lama kami menemukan sebuah sadelan, kami turun sedikit lalu belok kiri. Akhirnya sampailah kami, di sebuah tempat yang disebut danau bernama Danau Taman Hidup. Kulihat jam, pukul 3 sore kami sampai di tempat ini.
Setelah plotting posisi, kami foto-foto alam sekitar dan dokumentasi kegiatan. Kami langsung membagi tugas. Ada yang memasak, ada yang bikin camp, ada yang cari kayu. Pukul 4 sore camp sudah berdiri dengan gagah. Sore itu rasa lelah sudah tidak terasa lagi. Pemandangan sunset di danau sore itu juga indah. Benar-benar indah. Wuih, pokoknya mantapnya pool.
Malam itu langit bertabur bintang. Kadang-kadang terlihat bintang jatuh. Sambil menikmati malam itu, kami habiskan waktu untuk beristirahat dan breaffing untuk besok pagi. “Tuhan, terima kasih atas segala berkat dan kuasaMu, bahwa kami boleh sampai di tempat ini dengan selamat. Berkatilah perjalanan kami besok ya Tuhan”, doaku sebelum tidur.
Selasa 30 Juni 2009
Pagi itu aku dibangunkan oleh lagu “hitamku”, setelah alarm HP berbunyi kira-kira sepuluh menit baru terbangun. Pagi itu embun membasahi doom dan flysheet kami. Matahari sudah mulai terang, kabut di danau pun sudah mulai menghilang. Pukul delapan pagi, sarapan sudah tersedia. Setelah sarapan kami pun packing barang. Pukul sembilan tepat, kami sudah siap berangkat. Sebelum berangkat kami breaffing sebentar, tak lupa kami berdoa pula. Target selanjutnya bermalam di Aengkenek. Hihihi… Kali ini perjalanan tidak terasa berat. Mungkin dikarenakan tubuh sudah mulai beradaptasi dan beraklimatisasi dengan alam sekitar. Medan yang terjal dan jalur yang sudah tertutup semak belukar membuat adrenalin kami semakin terpacu. Membuat kami semakin peka dalam hal navigasi .
Rabu, 1 Juli 2009
Hari itu salah satu anggota team ada yang sakit, bernama Sigit Fathomy. Kawanku yang satu ini sakit pencernaan, diare tapi mengeluarkan darah. Sebenarnya dari Taman Hidup sudah sakit, tapi Sigit nggak ngomong. Akhirnya diputuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ini sebab Sigit merasa masih kuat. Perjalanan pun kami lanjutkan, namun perjalanan kali ini agak diperlambat, menyesuaikan dengan kondisi fisik SIgit, yang sedikit-sedikit minta berhenti untuk bab. Pukul dua belas siang tibalah kami di suatu tempat bernama Aengkenek. Di dekatnya ada sebuah sungai, kami manfaatkan untuk mengisi air dan menyegarkan badan. Sungguh sangat segar. Setelah beristirahat, sambil plotting peta kami melanjutkan perjalanan. Target kami harus sampai Cisentor. Kami pun berjalan agak ngebut. Jalan berdebu, kaki yang letih, panas yang terik, tidak mengurangi semangat kami.
Kamis, 2 Juli 2009
Pukul dua belas siang kami melanjutkan perjalanan kami dengan hanya menggunakan satu carrier yang berisi logistik, air, dan bendera. Dari Rawa Embik – Puncak bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Pemandangan menuju puncak sangat indah. Kita dapat melihat tebing-tebing batu tegak berdiri. Bunga edelweiss yang mekar, hingga rumput gimbal yang bagus. Namun sayangnya Sigit tidak menikmatinya. Terbesit dari mukanya penderitaan yang teramat dalam. Setiap kali dia melangkah seperti ada yang menusuk-nusuk perutnya. Akhirnya perjalanan sering berhenti. Namun itu tidak melunturkan semangat kami. Sebelum puncak akan bertemu pertigaan. Kalau ke kiri ke Puncak Rengganis, kalau ke kanan ke Puncak Argopuro. Tepat pukul satu siang akhirnya kami mencapai Puncak Argopuro 3088 mdpl. Puncaknya tertutup pepohonan pinus. Ada tugu dari batu yang disusun dengan sedikit sesajen di atasnya. Kami mengucap syukur bisa diberi kesempatan untuk dapat menikmati keindahanNya. Kami pun niatnya makan siang dengan logistik yang kami bawa.
Namun sialnya, logistik yang mau dimasak tertinggal di bawah. Alhasil kami hanya makan snack dan minum air saja. Jadinya Tape deh. Sudah bawa berat-berat carrier ke atas, tapi cuma bawa alat masaknya saja. Setelah puas foto-foto, kami turun menuju Puncak Rengganis. Di Puncak Rengganis kita bisa melihat beberapa makam dan reruntuhan Candi. Argopuro sendiri berarti seribu candi. Bau belerang masih tercium sedikit. Seakan-akan semua beban dan rasa lelah tidak terasa saat kita melihat indahnya pemandangan dari kedua puncakan. Pokoknya suasana pun mengharu biru, terutama bagi para AM yang newbie alias first time gunung 3000 mereka. Specially Memet.
Rasa puas dan bahagia bercampur menjadi satu. Kulihat jam ternyata sudah pukul dua siang. Kami putuskan untuk turun dari Puncak Sang Dewi Rengganis menuju Rawa Embik. Di sana kami mengambil carrier yang sengaja ditinggal. Setelah beristirahat sebentar, kami langsung turun menuju Cisentor. Karena hari mulai gelap kami mempercepat langkah kami.
Jumat, 3 Juli 2009
Pagi ini merupakan pagi yang buruk. Kondisi Sigit memburuk. Terlihat dari mukanya yang semakin pucat pertanda kekurangan darah. Perjalanan ini harus berakhir secepatnya, kami memutuskan untuk berjalan secepatnya menuju peradaban. Kami berjalan secepatnya agar sampai langsung ke desa. Tepat pukul sembilan pagi setelah sarapan kami melanjutkan perjalanan. Cisentor – Cikasur kali ini jalurnya diawali dengan sedikit menanjak lalu landai didominasi padang sabana yang luas dan lebar.
Kira-kira setelah satu jam cuaca mulai tidak bersahabat. Udara mulai berkabut, firasatku akan hujan. Benar saja, tak lama kemudian hujan mengguyur kami rintik-rintik. Sambil tetap menjaga jarak kami lanjutkan perjalanan. Jalur sabana yang kami lewati sungguh panjang dan luas. Dengan sabar kami turun naik bukit yang bentuknya seperti bentuk bukit teletubbies, khayalku. Hahaha. Tepat pukul dua belas siang, ketika matahari mulai bersahabat, mulai bersinar cerah, sampailah kami di tempat yang terdapat landasan pesawat terbang yang tak lain bernama Cikasur.
Di sana kami hanya beristirahat sejenak. Hanya makan snack, sedikit orientasi medan, dan mengambil air di sungai. Sungai Cikasur terkenal akan kesegaran airnya , terutama selada airnya. Sangat hijau dan segar memanjakan mata. Namun sayangnya kami harus segera melanjutkan perjalanan ini. Setelah yakin akan arah selanjutnya kami bergegas berangkat. Dengan cepat kupacu langkah ini, berharap malam ini sudah sampai di desa.
Pukul dua siang, sampailah kami di alun-alun kecil. Beristirahat sebentar, lalu berjalan lagi. Sebenarnya kaki sudah meronta-ronta ingin berhenti. Tapi tetap kupaksa langkah ini, dengan bayang-bayang wajah temanku yang sedang sakit. Satu jam kemudian sampailah kami di Cemoro Panjang. Kami bertemu beberapa offroader yang sedang memacu motornya. Sambil bertanya desa terdekat “Pak, kira-kira berapa lama lagi sampai di desa?” tanyaku. “Wah masih jauh dik, kira-kira setengah hari lagi” jawabnya. Waduh bisa gawat nih, bisikku dalam hati. Setelah pamit, kami bergegas melanjutkan perjalanan.
Sabtu, 4 Juli 2009
Matahari sudah mulai terik, kulihat jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Setelah sarapan, kami langsung melanjutkan perjalanan. Kali ini sepanjang perjalanan didominasi oleh perkebunan tembakau. Kadang-kadang kami pun bertemu dengan para petani,. Sambil senyum-senyum sedikit kami mengucapkan salam. Jalan di ladang ini sungguh sangat panjang berliku-liku. Menipu. Sigit semakin terlihat lemah, namun ia tetap berjalan dengan pelan tapi pasti. Siang itu cuaca panas terik. Kulit kami terasa terbakar oleh panasnya matahari. Tak lama kemudian sampailah kami di peradapan. Terlihat pos ronda. Di sana kami menaruh carrier untuk beristirahat. Tak disangka ada Pak RT yang baik. Beliau memberi kami satu tandan pisang. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih, sambil berbincang-bincang sejenak. Setelah itu kami mencari warung nasi. Maklumlah udah bosan sama makanan gunung. Pukul satu siang kami makan di warung nasi dengan lauk indomie goreng, telor ceplok, dan es teh. Rasanya seperti makanan hotel. Hihihi.
Sambil berbincang dengan pemilik warung, kami bertanya tentang angkutan yang akan membawa kami ke terminal. “Wah ntar jam tigaan ada dik”, kata ibu penjual. Tak lama angkot yang ditunggu itu pun datang, dengan karat dimana mana. Agak meragukan memang kalau dilihat dari bentuknya, lebih mirip bemo jadul daripada angkot. Setelah pamit kami pun bergegas pulang menuju Terminal Probolinggo dilanjutkan ke Terminal Jember menuju rumah Sigit. Sesampainya di sana kami langsung membersihkan diri. Malamnya team terbagi dua, ada yang pulang ke Bandung untuk SP, dan ada yang ke Bali untuk geladi dan KP.
Ternyata kata istirahat masih terlalu tabu untukku. Bayangkan saja sore sampe Jember, malamnya sudah harus ke Bandung naik kereta ekonomi pula. Sungguh-sungguh perjalanan yang amat melelahkan. Malamnya saya (Monop), Memet, Tumingkel, dan Engkong melanjutkan perjalanan menuju Bandung.
** Anggota ASTACALA, Mahasiswa Pecinta Alam IT TELKOM
kata2 lw labay b.g.t nop…hiperbola…wkwkwk.. piss.. mantep mantep.. 🙂
wah,, <br />ga jadi pertamax,,ahahaa <br /> <br />keren nop.. <br />lanjutkan… <br />besok kalo maen2 lagijangan ngambil waktu pass perjala wajib yakk,,
Sip… Sip… <br />Foto cowok lagi makan trus ada rokok nyelip di bibirnya. Wuih… Ganteng! <br /> <br /> :laughing:
mantap monop… suka gw kata dibaris terakhir lo…
mantap 🙂
Perjalanan yang mantap…., masih teringat dinginnya aing kenek ketika sore di dera hujan, masih terbayang indahnya Cikasur yang di selimuti kabut…., dan masih menunggu kesempatan untuk melakukannua lagi….
i Love u Full…
Argopuro emang tiada duanya dah !! 😉
Tapi Arca Dewi Rengganis di Puncak Argopuro kok nggak di Photo juga…? Rawa Embik itu Bahasa Madura Mas, artinya Rawa tempat Kambing Gunung minum….