Tiga Tahun Lembah Hujan

Related Articles

Pagi ini tiga tahun silam, 26 orang berwajah kumal; pipinya tirus; bajunya lusuh; matanya sayu; sedang berbaris di padang rumput yang cukup luas, menikmati panasnya sinar mentari yang sudah lama tidak kita rasakan. Merasakan harapan yang kembali muncul di ujung keputus asaan kita. Wajah yang sebelumnya hanya menunduk, merenungkan apa yang sebenarnya kita lakukan, mengharapkan pendidikan berakhir atau boleh juga membayangkan nikmatnya Masakan Padang. Berakhir di lapang itu, Rancaupas 15 Januari 2012. Mata kita kembali bersinar, bibir kita mulai melebar walaupun rasanya kaku karena sudah lama tidak tersenyum.

Satu persatu kita dikalungkan nomer anggota yang akan menjadi identitas kita. Kemudian satu persatu kita dipanggil untuk mendapatkan apa yang memang pantas didapatkan. Slayer merah Astacala, yang memang sudah kita bayangkan akan melingkari leher. Kemudian bertebaran menyibukkan diri masing-masing. Mengemis rokok ke siapapun yang tangannya mengeluarkan asap, tangan yang penuh luka bersesakkan memenuhi wadah agar-agar, berebut membawa bendera pusaka Astacala untuk diabadikan gambarnya. Suasana muram yang menyelimuti kita beberapa hari kebelakang berubah menjadi riang-seriangnya pagi itu. Ditutup dengan menyantap nasi kuning, yang disajikan memanjang diatas lembaran daun pisang.

Lembah Hujan
Lembah Hujan

Kemudian tidur sembarang berserakan di lapangan indoor Student Center. Masih lekat diingatanku bagaimana Epo tertidur dengan celana yang sudah melorot atau Ulil yang tangannya masih menyimpan rokok yang belum jadi ia bakar. Juga Lisna yang susah payah memasuki sekretariat karena kutu air yang diderita. Selisih paham dengan orang tua Shabran yang datang menjemput tapi kita mengatakan sudah pulang, padahal oknum yang bersangkutan sedang terlelap dalam sekretariat. Menunggu rekan-rekan KSR yang saat itu disibukkan dengan kaki-kaki yang bau busuk khas kutu air. Sampai sore hari kita masih tidur berantakan lebih parah daripada korban bencana di pengungsian.

Perjalanan Lembah Hujan diteruskan pada Pendidikan Lanjut. Malam itu hujan kembali turun, aku bersama dengan Rodi, Untung dan Gianto tengah sibuk memotong kayu. Sesekali aku menggoda Gianto yang tak henti-hentinya memotong kayu-kayu bagong meski dirasa sudah cukup. Mungkin dia sedang membangun kembali nama baiknya yang sempat runtuh saat Pendidikan Dasar. Lalu menikmati aliran air sungai bersama Dhiky, Evan dan Meta esok paginya. Belajar melinting rokok bersama Gianto, Ocul dan Ulil sebelum pulang meninggalkan hutan. Duduk bersama di dermaga Sungai Citarum menyaksikan Epo sedang renang jeram. Doci yang heboh melihat sepasang mata menyala dibalik flysheet-nya di bawah puncak Tambakruyung. Cerita Lisna yang tak sanggup mengangkat badannya setelah terjatuh dan tertindih ransel. Untung yang tidur di camp yang tanahnya seperti kandang babi. Rija yang menyeduh kopi tanpa membuka tutup termos.

Masih ingat juga aku pada Shabran yang sering melontarkan perkataan-perkataan yeng terlalu melek teknologi. Atau pada Lanang dan Tegar yang sering terlelap saat rapat berlarut. Pun Falaq yang sering membuka mulutnya membuat wajahnya terlihat lucu. Epo yang selalu berbelit-belit menyampaikan pendapatnya. Rija yang selalu terlambat ketika rapat lalu meminta maaf dengan wajah sok imutnya. Ah, rasanya baru-baru ini kita semua bisa berkumpul bersama. Meledek satu sama lain atau memperdebatkan hal-hal kecil yang berakhir tanpa kesimpulan. Bermain futsal bersama di depan sekretariat. Menanam pohon di sekitar Danau Galau. Menyapa lele di kolam belakang sekretariat silih berganti. Kini beberapa dari kalian sudah menempuh jalan masing-masing. Ada yang menentukan pilihan, ada juga yang dipaksa keadaan untuk tidak terlalu aktif. Hanya tersisa beberapa dari kami yang masih kerap berkumpul di sekretariat.

Ingin sekali rasanya aku mengumpulkan kembali Lembah Hujan lalu menggoda kalian satu persatu.
Mamen, kapan kita memperdebatkan utara dan selatan lagi di balik rimba sana? Atau kau sudah buat robot yang bisa bernavigasi?”
Sadam, kapan kau lulus? Agaknya terlalu sibuk kau mencari ikan asin hingga tak ada kabar beritanya”
Rodi, apa kabar kau? Bagaimana itu apa, mapala yang kau buat di Papua sana bagaimana perkembangannya?”
Evan, kuliahmu di ‘negeri ngapak’ baik-baik saja bukan? Kapan kita bisa curhat ditemani kopi hangat dan api unggun?”
Catur, apa cara tertawamu sudah lebih sopan sepulang mengajar?”
Dhoni, ayo imami kami shalat lagi seperti saat pendas!”
Shabran, kapan kau akan mengenalkan teknologi-teknologi termutakhir pada kami lagi?”
Teguh, ayo futsal ndaa, aku ro Dhiky nang sekre iki”
Epo, masih kalahkah kau dengan hujan, lalu berjalan kaku menggenggam golok seperti zombie lagi?”
Meta, kapan kita jalan-jalan bareng lagi? Masih suka main skate?”
Acat, berisik banget sih, Cat! Ngga capek apa?”
Dyah, kacamatanya turun tuh, sini biar aku yang benerin.”
Susi, masak dong Sus, udah pada laper nih kita. Jangan ngabisin makanan doang bisanya”
Ocul, kuliah kau tak bermasalah lagi kan, Sul? Bagaimana rencana Binaiya?”
Ulil, rambutmu sudah lurus? Kapan kami merasakan gajimu?”
Lisna, coba lihat bisepmu yang kekar itu!”
Gianto, kerjakan TA mu, jangan terlarut melinting rokok dan kencan dengan biduanmu saja!”
Lanang, masih suka kau membakar kaos kakimu di api unggun?”
Tegar, bangun Gar, rapat belum selesai!”
Falaq, mingkem Laq, sudah banyak lalat yang bersiap masuk mulutmu!”
Untung, kapan kita terakhir kali menertawakan tingkah orang lain bersama? Dan tampaknya kita tidak akan tidur satu sarung bag lagi, karena aku sudah memiliki sleeping bag sekarang”
Tenyom, kapan kau akan mengajakku tersesat lagi dengan alasan elevasi yang sangat tidak masuk akal itu?”
Doci, heh suuu! Jual saja ularmu lalu belanjakan uangnya untuk kulkas sekre!”
Rija, kau masih hidup kan? Apa tempatmu di Afrika sana tidak mengenal sinyal atau internet? Atau kau terlalu imut hingga diajak bermain anak singa?”
Dhiky, kapan kita bisa menyelesaikan buku kita?”

Rasanya sulit untuk mewujudkan itu dalam waktu dekat. Kita telah berada pada pelayaran masing-masing. Mencoba meraih apa yang telah menjadi tujuan kita. Tapi sampai kapanpun, kita berada dibawah nama yang sama, Lembah Hujan. Nama yang tiga tahun silam kita pilih menjadi pemersatu kita. Jaga asamu saudaraku, biarkan waktu mengumpulkan kita lagi. Entah dalam waktu dekat atau saat kita semua sudah mendapatkan apa yang kita cari. Saat menanti hari itu tiba, yakinlah bahwa sesekali kita akan mengingat lagi kebersamaan kita di bawah nama Lembah Hujan. Karena pikiran kita sedikit banyak akan secara langsung tersita setelah kita saling mengenal. Selamat ulang tahun Lembah Hujan! Astacala!!!

Tulisan oleh Fitra Ariffanto (A – 108 – LH)

Foto Dokumentasi Astacala

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Perjalanan SAR ke Aceh, Sebuah Cerita dari Bencana Alam Tsunami Aceh 2004

Siang hari kami mencoba memulai mengevakuasi mayat dengan lokasi di Pasar Aceh dan sekitar penjara. Dengan semangat yang masih gegap gemita kami di bawa...

Dua Belas Matahari Siung

Suara bising yang terdengar di ruangan enam kali lima meter itu masih saja teringat di ingatanku, lalu lalang khususnya para anggota muda Astacala dengan...

Mengarungi Perairan Komodo (Bagian 2)

Kapal kami bukan phinisi. Tak memakai layar. Angin kencang biasanya bisa dimanfaatkan untuk mendorong layar.  Tapi tidak untuk kapal kami. Tanpa layar, angin kencang bisa membahayakan. Bisa membuat terbalik dan tenggelam.