Aku Ingin : Feminisme dan Nasionalisme

Related Articles

Hari ini bertepatan pada 21 April 2016. Bicara tentang sejarah, 137 tahun silam lahir seorang anak di tengah-tengah keluarga bangsawan. Ia adalah Raden Ajeng Kartini. Lebih tepatnya masyarakat Jawa memanggil Ia Raden Ayu Kartini, lahir di kota Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 april 1879. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Keputusan yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini untuk diperingati sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini setiap tahun. Hal demikian dimaksudkan untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.

R. A. Kartini
R. A. Kartini

Pertama yang terbayang dipikiranku tentang Ibu Kartini adalah ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Mengapa? Karena aku beberapa kali membaca buku tersebut. Dimana tidak ada pembatas antara kita dan mereka.

****

Di Indonesia, Raden Ajeng Kartini merupakan sosok pahlawan wanita yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita semasa hidupnya. Ibu Kartini merupakan anak ke-5 dan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Kakaknya Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Ibu Kartini diperbolehkan untuk sekolah di ELS (Eropase Legene School) sekolah yang setara dengan SD hingga usia 12 tahun. Dari situlah Ia belajar bahasa Belanda. Menikmati pendidikan dengan banyak belajar ilmu pengetahuan, sosial dan kebudayaan dengan hobinya membaca buku ataupun surat kabar yang masih berbahasa Belanda. Ia banyak menulis surat kepada teman-teman koresponden di Belanda tentang keluhan nasib perempuan-perempuan Jawa yang tidak bisa merasakan dunia pendidikan. Selain itu, Ia menulis surat tentang banyaknya perempuan yang dinikahkan pada usia yang relatif muda. Dari situ Ia merasa kagum terhadap pola pikir wanita eropa, kemudian Ia ingin memajukan dan memperjuangkan hak dan emansipasi wanita dengan mendirikan sekolah untuk wanita agar dapat menuntut ilmu dan belajar. Cita-cita mulianya timbul karena Ia merasa sedih melihat kaumnya terkekang dalam kebebasan berekspresi, rendahnya pendidikan bahkan banyak yang tidak bersekolah.

Setelah lulus sekolah ELS, Ia harus mengalami masa pingitan. Mengingat bahwa orang tuanya adalah priayi yang masih kental memegang adat istiadat masyarakat Jawa. Walaupun Ia merasa terkekang tidak bebas dalam menuntut ilmu dan belajar, tetapi Ia hanya diam dan tetap patuh dengan orang tuanya sebab takut akan durhaka. Dalam adat Jawa, selama masa pingitan perempuan tidak boleh meninggalkan rumah sampai mereka menikah, dimana otoritas akan dialihkan kepada suami mereka. Kemudian Ia dinikahkan dengan K. R. M. Adipati Ario Singgih Djoyodiningrat, seorang bupati di Rembang. Setelah menikah, Ia ikut suaminya ke Rembang. Suaminya memahami cita-cita mulianya dan memberi dukungan serta kebebasan dalam mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat semangat pejuangannya, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di beberapa daerah; Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah ‘Sekolah Kartini’. Usia pernikahan Ibu Kartini dengan suaminya tidak berlangsung lama, Ia wafat di Rembang pada tanggal 17 September 1904, beberapa hari setelah berjuang melahirkan putra pertamanya, dikarenakan komplikasi pasca melahirkan.

****

Perempuan manakah yang tidak ingin meniru nilai-nilai positif dari Ibu kartini?

Seperti rotasi, hari terus berganti. Emansipasi dan kesetaraan, katanya. Namun semua belum terealisasikan secara nyata di kehidupan masa kini. Mungkin memang sedikit adanya perubahan, akan tetapi semua itu tak dirasakan.

Ibu Kartini, aku punyai.

Sosok yang merakyat, welas asih, sederhana, perjuangan, emansipasi dan sifat-sifat lain yang tak bisa ku tulis semua. Sifat teladan Ibu Kartini saat ini sepertinya sudah meredup oleh zaman. Kemungkinan hanya segelintir orang, khususnya wanita yang masih mempunyai sifat-sifat positif  Ibu Kartini pada zaman dahulu. Lalu, siapakah aku? Aku ini siapa? Aku siapa?

Aku sangat bangga menjadi perempuan Indonesia. Aku ingin menjadi insan yang berjiwa tenang. Aku ingin menjadi wanita sejati seperti Ibu Kartini. Apa yang  sudah Ia lakukan sangat berpengaruh besar terhadap bangsa ini. Sifat-sifat Ibu Kartini mungkin memang sudah redup oleh zaman. Untuk fenomena seperti ini ku rasa tidak perlu saling menyalahkan atau bahkan mencari-cari kesalahan orang lain. Cukup ikuti keteladannya mulai dari diri kita sendiri.

Kita, para pemuda-pemudi bangsa saat ini tidak boleh melupakan pejuangan dan misi Ibu Kartini. Banyak cara untuk memperingati Hari Kartini sebagai penghargaan maupun perjuangan. Salah satunya adalah menyuarakan aspirasi.

Tulisan oleh Devita Ayu W. (AM – 020 – DS)

Gambar R. A. Kartini

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Melintas di Bawah Hutan Hujan Ciwidey

Sambil membetulkan ikatan penguat backpack di punggung, saya melepas pandang dan mengamati kondisi sekitar. Awan mendung tampak menggantung, menghias langit yang terlihat sedang murung....

Baru 114.654 Hektar Hutan Kritis di Sumbar yang Telah Direhabilitasi

        Kegiatan rehabilitasi hutan di Sumatra Barat melalui berbagai kegiatan{nl}sejak tahun 1976 hingga 2006 baru berhasil menghijaukan kembali hutan{nl}seluas 114.654 hektare dari total...

Hutan Gunung Slamet Terbakar Lagi

Hutan lindung di gunung terbesar se-Jawa, Gunung Slamet, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (16/9/2007) pagi sekira pukul 06.00 WIB terbakar lagi. Lokasi kebakaran berada di...