Adventure with Friends Of Mapasadha

Related Articles

21 Agustus 2007, Bandung Deui

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00:02 hari berganti dan waktu terus saja bergulir tanpa mau menungguku tuk sedikit menikmati hari ini. Kurang lebih sebulan aku meninggalkan segala bentuk urusan duniawi perkuliahan, dan mulai besok aku akan mulai tuk menyapanya lagi. Ada sedikit rasa segan yang menghapiri tubuhku, aku sadar bahwa sebenarnya aku sedikit kurang percaya diri dengan rutinitas ini lagi, mungkin ini disebabkan karena salah satu mata kuliah yang paling aku benci akhirnya berakhir dengan nilai yang sungguh mengesankan, “D” ditambah lagi dengan bahan Tugas akhir yang sungguh membuatku merasa “ilang piling”. Akhirnya pada malam ini, dini hari yang sepi aku memutuskan untuk berbagi kisah perjalananku selama satu bulan terakhir.

Tanggal 20 Juli 2007 tiga orang dari Mapasadha bergerak dari Yogyakarta menuju Bandung dengan misi eksplorasi Jawa Barat. Rencananya mereka ingin caving di kawasan Citatah, tepatnya di Saghyang Lawang dan naik gunung Ciremai. Saat itu aku berencana menemani mereka, kebetulan aku sedang punya waktu luang yang sangaaattt banyak (lagi liburan) tapi kenapa cuman aku yang busa ikut ya? karena lagi liburan, semuanya lagi pada pulang.

Sabtu, 21 Juli 2007

Sekitar pukul 10.00 aku menjemput teman-teman Mapasadha di stasiun Kiaracondong. Berhubung di sekre lagi tidak ada orang dan motor, akhirnya dengan jiwa yang teguh aku menuju stasiun dianter sama mba Nila yang baik hati, mba kost yang sudah menjadi ibu RT kosan, aku pun sampai di stasiun sekitar pukul 10.30 Ternyata kereta agak sedikit terlambat dan beberapa menit kemudian KA Kahuripan, kereta kesayanganku yang telah menemaniku tuk menghubungkan Bandung-Jogja pun datang. Tiga orang yang sosoknya tampak dari kejauhan sambil mengangkat carrier di punggungnya, Mbelek, Tholo dan Ngomple menapakkan kaki di stasiun Kiaracondong. Mbelek yang emang memiliki wajah eksotis khas Papua sangat menarik perhatian orang-orang di stasiun. Maka dimulailah perjalanan tiga sekawan Mapasadha di Jawa Barat.

Hari ini dilewati dengan mempersiapkan keberangkatan untuk besok hari. Kawan-kawan Mapasadha ingin sekali caving di Saghyang Lawang, tadinya karena mereka mau sekalian manjat di tebing 48 maka ingin caving di sana, yang notabene memang memiliki lokasi yang cukup berdekatan. Ternyata mereka tidak jadi manjat karena kekurangan personil untuk membawa peralatan. Karena itu aku sempat menawarkan untuk caving di daerah sukabumi saja, sebab kawasan gua disana jauh lebih menarik sebab ada sungai bawah tanahnya juga, dibandingkan dengan Saghyang Lawang yang jenis guanya adalah gua fosil dan sudah banyak yang tertutup karena aktivitas penambangan baru marmer. Tapi mereka tetap ingin caving di Citatah dan dengan senang hati aku mengantarkan mereka. Perjalanan besok akan ditemani juga oleh dua orang personil dari KMPA ITB, Baim dan Cus.

Minggu, 22 Juli 2007

Setelah persiapan dari malam hari sampai pagi hari menjelang siang, akhirnya rampung juga dan siap berangkat. Baim dan Cus agak terlambat datang karena mereka ketiduran di angkot Dayeuh Kolot. Sekitar pukul 13.30 akhirnya kami ber-enamberangkat menuju Terminal Lw. Panjang. Di terminal terjadi kejadian yang cukup menyebalkan. Ongkos yang diminta adalah Rp.7000 padahal tarif sebenarnya hanya Rp.3000 untuk bus ekonomi. “Sialan..!!” pikirku.

Akhirnya karena waktu yang sudah mempet (menjelang sore) aku nego harga Rp.5000 Kami pun naik ke bus dan menuju Citatah. Kira2 pukul 16.00 kami sampai di Citatah dan naik ojeg menuju lokasi gua. Harga ojeg Rp.8000 sampai ke Saghyang Lawang dengan beban, dan bila tanpa beban Rp 6000. Setelah sedikit berbicara dengan penduduk Saghyang Lawang kami mencari lokasi camp. Sebenarnya bila kami tiba di lokasi agak siang, maka akan dilakukan survey permukaan mulut gua, namun karena saat itu hari semakin beranjak gelap, dengan suara binatang malam kerap menemani, kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda dan mulai memasak makan malam. Sebuah flysheet merah khas Mapasadha dan sebuah doom milik KMPA ITB berdiri diatas kebun kunyit yang belakangan diketahui setelah meratakan tanah, ternyata buanyak sekali kunyit yang bersembunyi di tanah. Ditemani suara radio Astacala, kami pun melewati malam ini dengan sempurna.

Senin, 23 Juli 2007

Saat ini dini hari di hari Kamis, 23 Agustus 2007.

Sebulan yang lalu, ditanggal yang sama namun diwaktu yang sedikit berbeda, aku bersama dengan kawan-kawan dari Mapasadha dan KMPA ITB sedang berada di camp dan melakukan aktivitas dipagi hari, minum kopi hangat, merokok, nye-nack, mendengarkan radio dan sesekali kami tertawa lepas sambil memandang dikejauhan bukit kapur yang sedang ditambang.

Pagi itu, kami cukup bersantai, setelah cukup bersantai akhirnya kami melakukan tugas masing-masing. Saat itu aku dan ketua rombongan Mapasadha, Ngomple, mengunjungi rumah Pak Herman (mantan ketua RW) untuk meminta izin (sebelumnya kami telah meminta izin pada ketua RW yang baru)memakai tempat untuk nge-camp dan sekalian sedikit bersilaturahmi dan bertanya mengenai lokasi-lokasi gua yang belum diketahui. Dari sana kami memperoleh informasi bahwa ada satu gua yang bernama “Si Jimat”, di mana gua tersebut adalah gua vertikal yang keberadaannya mistis. Sering kali gua tersebut terlihat dan untuk beberapa waktu tidak dapat ditemukan. Pernah ada beberapa orang yang ingin memasuki gua tersebut dan meminta bantuan Pak Herman untuk mengantarkan ke lokasi sehubungan karena Pak Herman mengetahui lokasi gua tersebut, namun saat itu gua tersebut tidak dapat ditemukan.

Setelah cukup puas bertanya dan merasa tidak enak sendiri karena Pak Herman saat itu lagi cukup sibuk bergotong royong dengan penduduk desa yang lain membangun sebuah bangunan, entah bangunan apa, kami tak sempat bertanya, mungkin juga tidak tertarik untuk menanyakannya, akhirnya kami pamit dan kembali ke camp.

Pembagian tugas dimulai, aku dan Ngomple melakukan survey mulut gua di daerah sekitar bukit penambangan, Mbelek dan Cus mencari dibagian yang berlawanan arah, sedangkan Tholo dan Baim bertugas jaga camp. Pukul 14.00 adalah waktu berkumpul kembali. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00, setelah cukup menyiapkan perbekalan, tim survey pun berangkat.

Saat berjalan lurus terus ke selatan, kami bertemu dengan pos penjagaan dan bertanyalah kami mengenai yang kami cari, lumayan ternyata penjaga pos mengetahui sesuatu dan memberitahu letak posisi gua yang ada disekitar sana.

Dengan gegap gempita kami berjalan menyusuri jalan proyek yang cukup besar, gersang dan terik panans matahari tak bosan-bosannya menemani jejak langkah kami. Dua puluh menit, tiga puluh menit, sejam pun berlalu. Kami telah berputar putar, menyisiri daerah yang dikatakan penjaga pos, melakukan analisis medan, naik ke bukit dan meneropong melalui binouquler yang kami bawa. hasilnya kami menemukan sesuatu yang patut dicurigai…tapi setelah berdiskusi sedikit dan menganalisa dari bawah dan mendekat kami sepakat bahwa itu hanya crak. Nihil dan negative.

Hari semakin panas dan kering kurasakan disaluran tenggorokanku, sebotol air 600 ml telah tinggal beberapa tegukan saja, membuatku cukup malas untuk bergerak tapi tidak menyuruh kakiku untuk berhenti berjalan…dan kami menemukan ladang tomat yang sangat manis. Hmmmmm…

Waktu sekitar pukul 13.00 kami memutuskan untuk melihat “gua sigai delapan” yang artinya tangga delapan. Kebetulan sebulan yang lalu aku baru dari sana, jadi untuk menuju lokasi tersebut sudah pasti masih ada dalam memori otakku yang tak seberapa ini.

Sampai di mulut Gua Sigai delapan kami tidak berlama lama di sana, beberapa saat setelah melihat lihat kami beranjak dan langsung menuju camp, di tengah jalan kami bertemu dengan seseorang bapak separuh baya yang hendak ke kebun. Orang tersebut terlihat sangat familiar buatku, ahaa…. Itu kan Pak Herman..!!! Waktu itu Ngomple tampak agak cuek, dan aku berusaha bersikap ramah dengan tersenyum, lalu ia juga tersenyum dan bertanya. Pertanyaannya aku sudah tidak begitu ingat, tapi dari sana berbuntut sebuah ajakan untuk mengajak kami melihat gua yang ada di dekat kebunnya. Dan mungkin karena melihat kami telah turun, akhirnya tawaran itu diberikan hingga pukul 20.00 dimana ia masih berada di kebun, katanya bila sudah berada di lokasi kebun yang sudah ia jelaskan sebelumnya, cukup panggil saja. Karena pukul 14.00 kami sudah harus berada di camp sedangkan saat itu sudah pukul 14.00 kami pun membuat janji dengan “Pak Herman itu” akan datang sebelum jam 08.00 malam disana.

Pukul 14.10 kami tiba di camp, ternyata Mbelek dan Cus sudah sampai deluan. Setelah beristirahat dan mengisi perut dan dahaga, kami saling bertukar informasi hasil yang kami dapatkan. Mbelek dan Cus tidak mendapatkan yang dicari, “gua cicopet”, setelah makan siang kami kembali membagi-bagi tugas. Kali ini aku dan Tholo bertugas mencari “Pak Herman” di kebun dan menemukan lokasi gua yang dimaksud. Ngomple dan mbelek menge-set peralatan SRT. Cus dan Baim ngapain ya??

Sekitar pukul 16.00 aku dan Tholo bergerak menuju lokasi yang dimaksud, target operasi adalah kebun “Pak Herman” dan tentu saja “Pak Herman”…!!! melewati daerah yang dimaksud….jalan terus dan melewati daerah tambang….Di lokasi sekitar daerah yang “mirip kebun” itu aku mencoba memanggil si target operasi, “Pak….Pak Hermaann…!!!” (hehehe…manggilnya gk niat banget) disamping itu Tholo nampak tidak sabar berlama lama di satu tempat dan akhirnya kami terus bergerak menuruni bukit berharap bertemu dengan “Pak Herman” atau siapapunlah yang berbentuk manusia.

Setelah menuruni bukit tambang kami sampai di “kolam” disana ada dua orang Bapak yang dari kejauhan kami berharap salah satunya adalah “Pak Herman” semakin mendekat dan mendekat….kecewa….ternyata dari kedua orang itu bukanlah “Pak Herman” dan mereka tidak tahu menahu dimana kebun Pak Herman, mereka juga tidak tahu apakah disekitar situ ada gua atau tidak. Akhirnya karena hari sudah mulai gelap kami pun bertanya jalan menuju desa Saghyang Lawang yang lain selain yang telah kami lewati tadi, sebab Tholo emoh melewati jalan yang sama. Jiwa adventure Tholo emang oke, aku suka gaya lu..!!! Tapi berhubung saat itu aku lagi didera ngantuk sangaaattt….sebenarnya aku sedikit malas untuk bertualang mencari jalan lain. Pengennya mencari tempat yang agak datar dan sedikit luas lalu merebahkan tubuh dan memejamkan mata sejenak. Tapi disepanjang jalan yang kami lewati, tempat seperti itu gk ada!

Cukup jauh sudah kami memutari bukit yang tadi kami turunin, bukit itu tampak jauh dipisahkan oleh sebuah lembah. Kami terus berjalan dan tiba-tiba Tholo bertanya “Nie, bawa duit khan?” Yoi…aku tau maksudmu Thol..!!!!dalam pikiranku juga sama…adalah kami keluar di jalan raya sebelum desa Saghyang Lawang. Naik ojeq adalah pemikiran yang muncul. Kebetulan saat itu ada 20 rb di kantong, jadi saat itu keadaan kami berdua cukup “aman” Lama menyusuri sawah dan ladang dimana tak satupun manusia yang tampak, akhirnya kami melihat sesuatu yang kami harapkan..atap rumah…(dan rumahnya juga pastinya…kwakakaaaa..dan penghuninya juga dongg…) Setelah bertanya arah kami jalan lagi dan tidak sampai 5 menit aku merasa familiar dengan daerah ini…waaahhhh…..ternyata kami telah sampai di desa Saghyang Lawang, tepat di dekat mesjid di dekat warung. Dari sana menuju camp hanya sekitar 3 menit gk perlu naek ojek…Heheheheheeee….akhirnya sampai juga di camp setelah mengitari satu bukit.

Malam sudah cukup menyapa kita dan ketua rombongan memutuskan untuk memasuki gua horizontal yang bernama “gua cikaracak” dan “gua lalai” kedua gua tersebut telah diketahui keberadaannya dari survey permukaan sebelumnya. Ketiga Mapasadha’ers ditemani Baim melakukan penelusuran. Aku dan Cus melakukan beberapa hal di camp. Merapikan camp, memperbaiki tenda, mengambil air, memasak makan malam untuk kami ber-6 dan setelah makan, kami pun tidur…Kalau tidak salah, sekitar jam 01.00 tim penelusuran gua kembali ke camp.

Selasa, 24 Juli 2007

Pagi hari yang hampir terlewatkan, aku bangun sekitar pukul 09.00 tim dapur sudah mulai memasak, ngarokok dan minum kopi. Hari ini kami berencana untuk turun ke gua sigai delapan, namun karena kemarin aku dan Tholo tidak berhasil menemukan gua yang kami cari, akhirnya aku dan Tholo menuju rumah pak Herman dengan maksud hati ingin membuat janji lagi begitu. Disana seperti biasa Pak Herman dan kawan-kawan lagi bergotong royong membangun rumah…sewaktu ia mendekat, aku dengan spontan bertanya dan laporan (weeks..!!) “ Pak, kemarin tidak ketemu guanya..!!” Dengan wajah yang sedikit dikerutkan Pak Herman menatapku. O..oo..ww… something weird..!!! Dengan tangkas dan cekatan Tholo pun mengambil alih pembicaraan.

Pak Herman yang tadinya berkerut melihat aku, akhirnya perlahan melupakan kejadian tadi dan mencoba memberikan informasi yang ditanya oleh Tholo secara bertubi-tubu (huahahahaaa….aga berlebihan nich..tapi kan jadi dramatis yoo??) Lalu setelah melihat lihat sekeliling dan mengamati kawan-kawan Pak Herman yang sedang bergotong royong itu, aku pun sadar dan dengan cepat menyimpulkan bahwa: “wajah mereka semua mirip…!!!” wajah laki-laki paruh baya di desa ini semua nya mirip dengan Pak Herman..!!!(Tholo pun sependapat) dan akhirnya aku sadar bahwa “Pak Herman” yang kemarin bukanlah Pak Herman yang ini. Sial…!!!pantas saja Pak Herman asli ini bingung waktu aku dengan PD-nya bertanya. Maluuuuu….hikkss……tapi untung Tholo busa mengambil hati Pak Herman, entah pake rayuan apa sampai Pak Herman menawarkan diri hari itu untuk mengantarkan Tholo ke lokasi mulut gua yang dekat tambang dan esok hari akan mengantarkan Tholo ke mulut gua “si jimat” Waawww…..Tholo….pesonamu sunggguh menggugah hati Pak Herman…!!!

Setelah membeli se-cup es krim dari penjual es krim yang lagi nongkrong disana, Tholo bersama Pak Herman menuju lokasi gua yang dekat tambang, dan aku kembali ke camp, packing dan persiapan untuk turun.

Hhhmmmm… lupa jam berapa kami bergerak menuju mulut gua, tapi yang jelas saat itu siang hari menjelang sore. Tiga tackle bag membawa semua peralatan tempur. Dan setelah berjalan menanjak kira2 15 menit, kami pun sampai di jalur yang sangat terjal. Jalan menuju mulut gua memang sangat terjal, kondisi kemiringan hingga sekitar 80?, tanah pijakan tanpa akar dan batuan kokoh…tanpa banyak tumbuhan yang cukup kuat untuk pegangan. Ngomple selaku leader membuat lintasan. Kira-kira akan dibuat 3 pitch dan menghabuskan kalo tidak salah 6 atau 8 webbing. Pitch 1 jadi aku turun dan disusul oleh baim. Tas kuning di transfer dan diletakkan di sampingku, aku duduk selagi menunggu lintasan pitch 3 selesai dibuat. Baim turun ke pitch 2 berdiri dibawahku sambil menunggu lintasan pitch 3. Saat itu aku lagi duduk bersama tackle bag kuning dan disamping kiriku tepat adalah jurang yang ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan perdu. Aku bermaksud mentransfer tacle bag ke Baim, maka bermaksud pindah selangkah kearah tebing, dimana webbing dipasang (menjauhi jurang) seketika saat mengangkat tackle bag dengan tangan kanan dan tangan kiri memegang tebing melalui lubang tembus yang ada, aku melakukan sedikit ayunan ke depan dan ….. blasss…. Lubang tembus yang kupegang pecah, dengan berat tackle bag dan gaya ayunan tadi aku terhempas ke belakang, terhempas ke jurang bersama tackle bag yang masih kupegang. Dengan spontan aku berkata “Eeh jatuh…eh jatuh…!!!” Mungkin karena kejadian yang berlangsung begitu cepat aku tidak sempat untuk berteriak. Aku terjatuh kejurang dengan posisi terperosok dengan kaki dibawah. Aku terperosok dengan kecepatan cukup konstan dan kecepatan sedikit diperlambat oleh gesekan badanku dengan tebing dan tumbuhan-tubuhan perdu yang kulewati, namun aku sadar kecepatanku terperosok jatuh tidak melambat, tackle bag yang kupegang kurasa nyangkut dan seketika aku langsung melepaskan peganganku. Tackle bag berhenti meluncur, namun badanku terus meluncur kebawah…otakku mencoba untuk tenang dan berpikir bagaimana caranya untuk berhenti meluncur, aku mencoba memegang apapun yang mungkin dapat kupegang, namun sia-sia, perdu-perdu itu terlalu lemah dan kecepatanku merosot tidak memungkinkanku untuk berhenti bila hanya memegang perdu. TIba-tiba aku merasa kakiku nyangkut dan badanku sedikit terhenti, haaaa…!!! batang pohon..!!!sebelum tubuhku kembali jatuh, tanganku dengan cepat menggapai bantang pohon tersebut dan membuat posisiku mantap untuk tidak meluncur lagi. Sesaat aku melihat sedikit kebawah dan wow…ternyata setelah batang pohon yang kupegang adalah “plong..!!” Tanpa ingin melihat lebih lama, aku memanjat naik dan kembali ke jalur yang benar..huaahhh….Tholo bergegas mendekatiku dan bertanya “gk apa-apa kan?” “gk ada yang patah koq” kujawab dengan banyak rasa syukur atas kemujuranku tadi. Langsung aku teringat akan tackle bag dan memberitahu bahwa tackle bag terjatuh bersamaku. Mbelek dan Tholo melakukan penyelamatan tackle bag selagi aku mencoba menenangkan jantungku dan mencoba menghirup oksigen yang banyak. Kata Ngomple, aku jatuh ada sekitar 25 meter sedangkan tackle bag jatuh sekitar 15 meter dan menghancurkan game boy milik Tholo yang ada di dalamnya. Sory ya pren… Beberapa saat setelah aku cukup tenang, Baim bertanya dengan polosnya, “Eh..tadi kok busa nyangkut sich…?”

Oke, shock theraphynya gk usah lama-lama, leader sudah mulai beranjak lagi menuju mulut gua yang sudah dekat. Akhirnya kami semua sampai di mulut gua sigai delapan. Gua sigai delapan memiliki dua entrance yang dapat dimasuki, entrance pertama adalah entrance yang agak nge-slape, dapat dimasuki tanpa menggunakan alat bantu hingga pada sebuah teras dimana terhubung ke entrance ke dua yang vertikal. Belakangan diketahui ada dua entrance lain untuk gua ini, namun kami tidak dapat mencapainya sebab bila hendak mencapainya harus melewati jurang tebing dulu.

Setelah bongkar-bongkar alat dan mengamati anchor-anchor, rigging man, Ngomple turun, disusul oleh ku, Cus, Tholo dan Mbelek. Baim tidak ikut turun berhubung tidak ada SRT set. Dari dasar gua, berjalan sekitar 20 meter terdapat pitch 2. Lintasan kembali dipasang dan akhirnya Ngomple, aku, Cus, Tholo dan Mbelek sampai di dasar pitch 2. Sebelumnya, aku dan Ngomple sudah nge-cek ternyata gua tersebut mentok, tapi supaya yang lain tidak turun semangatnya, saat Tholo bertanya apakah gua nya mentok, Ngomple pun menjawab “urung..” Setelah sekitar 20 menit kami kumpul di bawah, ngobrol dan nye-nack, Tholo berinisiatif untuk langsung jalan setelah mem-pack alat dan membawanya diikuti oleh Cus dan Mbelek. Setelah beberapa saat aku dan Ngomple nunggu (tidak ikut jalan) mereka kembali dan Tholo sadar kalo sudah dikerjain. Mutung deh….langsung naek ke atas dan terdengar “ Huh, dikerjain toh…ya toh bilang supaya gk usah bawa alat..”(kira-kira seperti itu kali yaa??) Ternyata Tholo beneran mutung banget, dia naek ampe TOP dan lupa nungguin si Cus naek, padahal Cus kan baru pertama masuk gua vertikal dan dilintasan itu banyak deviasi dan padding. Ngomple pun mulai ngomel. Tadinya dah pengen naek juga, tapi berhubung Ngomple dah kebelet boker, jadi dia naek deluan dan sedikit dibawah anchor pitch 2, tiba-tiba dia misah misuh…”asuu..!!” aku sama mbelek liat-liatan aja…”ada apa yaa???” apa karena dah ada yang keluar..???(weekksss…!!!) dan setelah kami menganalisa dari bawah…kami pun tahu apa sebabnya si Ngomple ngamuk di lintasan…Setelah rope free, aku pun naek sambil membawa satu buah tackle bag berisi peralatan, lumayan menambah berat badan saat ascending, badan rasanya capeek banget karena kurang tidur, power terasa terkuras habus, ascending dengan SRT cukup melelahkan dan membuat ngos-ngosan setelah melewati deviasi dan mencapai TOP pitch 2 dengan semangat bulan aku meneruskan perjalananku ascending di pitch 1. Lantas aku kembali merasakan loss power dan rasa capek dan malas memikirkan masih ada dua deviasi berturutan dengan sudut yang cukup patah didekat mulut gua, aku pun mulai hitung-hitungan tenaga. Kalau aku terus naek, pasti busa cuman agak lama dan kondisi psikologiku sudah mulai malas karena tahu ada pintu jalan pintas melalui entrance 1. Akhirnya logikaku mengalahkan egoku untuk mengalahkan pitch 1 secara SRT-an, akhirnya kuputuskan setelah bertemu teras yang menghubungkan entrance 1 dan 2, akupun melepaskan ascender yang terpasang di badanku dan berjalan ke luar….sampai deh….Beberapa menit berlalu akhirnya Mbelek keluar juga dari gua setelah men-cleaning lintasan dan kami ber-6 makan malam mie bersama sozzis. Beres-beres dan nge-check list alat, trus packing dan kembali ke camp, masak dan makan lagi trus bobok sampai siang…!!!

Rabu 25 Juli 2007

Beberapa jam telah berlalu dari dini hari yang sunyi, saat ini masih 23 Agustus 2008 di hadapanku masih komputerku, “Zentaku”, ditemani suara mp3 dari Ratu, aku kembali menerukan kisah perjalananku…

Kami semua bangun agak siang, kami di bangunkan oleh panasnya tenda yang kami tempati yang sudah mulai menjadi tempat sauna. Huaahhh panasss…..seperti yang diketahui bahwa daerah ini memang gersang, dan agak terbuka. Mengumpulkan nyawa saat bangun tidur dan masak-masak makan siang…Baim dan Cus saat itu sudah packing dan siap kembali ke Bandung. Mereka mendapat instruksi untuk segera kembali ke secretariat mereka sambil membawa peralatan yang mereka bawa sebelumnya. Alat yang mereka bawa ternyata akan digunakan oleh divisi panjat esok hari. Mereka tampak agak terburu-buru karena seharusnya alat tersebut harus sudah sampai di KMPA ITB kemarin malam, akhirnya setelah rampung packing tanpa sempat sarapan mereka berpamitan dan meninggalkan camp. Tholo yang waktu itu sudah janjian dengan Pak Herman bergegas menuju rumah Pak Herman, waktu itu kira-kira pukul 11.00 Beberapa saat kemudian, Tholo kembali dan membawa berita bahwa Pak Herman lagi ada urusan, jadi ia akan kembali lagi kesana pukul 13.00 Setelah makan siang dan tak terasa sudah pukul 13.30 Tholo dan aku ke rumah Pak Herman lagi dan disana kami bertemu dengan Pak Herman. Berharap banyak dan membayangkan gua si jimat dalam kepala kami. Ternyata kenyataan tak seindah harapan kami, Pak Herman mendadak harus menjemput neneknya sehingga pada hari itu Pak Herman tidak dapat memenuhi janjinya. Terlihat raut wajah yang merasa bersalah dari bapak separuh baya itu, dan berharap kami masih cukup lama di sana sehingga mungkin dia busa punya waktu yang lain untuk mengantarkan kami. Tapi kawan-kawan dari Mapasadha sudah punya jadwal sendiri dan kami tidak dapat begitu berlama-lama di desa ini. Setelah mendiskusikan kondisi yang ada, kami putuskan untuk masuk gua yang ditunjukkan oleh Pak Herman ke Tholo kemarin, dan besoknya kembali ke Bandung. Pergerakan dilakukan sekitar pukul 19.00. Ternyata gua yang kami tuju adalah “sesuatu yang mencurigakan” yang kami (aku dan Ngomple) simpulkan adalah crak pada saat survey permukaan. Dan memang benar, yang kami lihat adalah crak, tapi dengan sedikit berjalan beberapa langkah memutar, ditemukan mulut gua yang lumayan besar. Mulut gua memang tersembunyi. Kami berempat masuk dan setelah beberapa menit menelusuri gua, diputuskan bahwa gua tersebut mentok. Terdapat sebuah celah sempit yang entah kemana ia terhubung, namun karena celah yang sangat sempit, kami tidak dapat menelusurinya. Setelah cukup beristirahat (sebenarnya tidak capek), nye-nack dan ngobrol, kamipun pulang dan kembali ke camp.

Kamis, 26 Juli 2007

Malam berganti pagi dan kami melanjutkan jadwal yang telah kami miliki. Setelah makan, camp kami bongkar, packing dan membakar sampah-sampah. Hari waktu itu sudah menjelang siang, dan kami pun siap bergerak menuju pos penjaga di daerah dekat tambang, disana kami akan menumpang pada sebuah truck yang memang sering dijadikan tumpangan oleh para pekerja maupun penduduk yang melewati daerah tersebut. Sebelumnya aku dan Tholo sudah berpamitan ke Pak Herman yang saat itu tidak dapat kami temui. Di pos penjagaan terdapat dua orang pekerja, aku tidak begitu memperhatikan dan tidak banyak bertanya saat itu. Tholo nampak sangat antusias ngobrol, bertanya dan bercerita dengan kedua bapak itu. Banyak cerita yang sudah ia dapatkan, bila ingin cerita yang lebih lengkap silahkan hubungi Tholo. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 dengan mata yang cukup berat aku pun masuk ke dalam warung dan tidur, belum sempat mendapatkan mimpi yang indah, Tholo membangunkanku untuk segera bergegas menuju truck yang telah datang. Dengan agak sempoyongan karena baru bangun tidur aku berlari dan mengangkat carrier naik ke atas truck, demikian juga aku, Tholo, Ngomple dan Mbelek pun bergegas naik ke atas truck yang saat itu nampat tak ingin terlalu lama berhenti di satu tempat. Yuuppiiii…..Let’s Go!!!!!!

Perjalanan diwarnai orang-orang yang naik turun dari truck silih berganti. Tak terasa sudah tiba saat perut kami memohon mohon untuk diisi. Warung makan adalah target operasi kami begitu kami turun dari truck. Dan seketika setelah tiba didekat jalan raya, kami turun dari truck dan kami melihat gerobak jualan dengan tulisan     “ KUPAT TAHU “ Hmmm..yummy…Gile, begitu turun langsung ketemu yang dicari. Dengan tanpa mikir lagi, kami langsung meng-eksekusi warung itu, memasukkan carrier ke dalam halaman warung, carrier ditata rapi sebab setelah makan, kami bermaksud menitipkan carrier disana agar pergerakan kami menuju tebing 48 tidak terganggu beban. Sekali lagi kenyataan tidak seindah harapan dan bayangan dalam kepala kami, ternyata kupat tahu yang kami idam-idamkan sudah habus terjual semua. “Hiikss…hiiiikksss….hhuaaaa….” Dengan sedikit kecewa namun tetap ceria (cieilah) kami pun berpamitan dan meminta maaf dengan pemilik warung menuju target operasi warung nasi yang masih jualan ..!!! Akhirnya kami pun makan di warung nasi, tempat biasa anak Astacala membeli makan saat manjat di tebing 48. Kenyang sudah perut ini, setelah memasukkan dan menata carrier di dalam warung, kami menuju tebing 48. Karena tidak sempat merasakan manjat di tebing 48, setidaknya kawan-kawan dari Mapasadha ingin melihat dari dekat tebing yang sudah diakuisisi oleh Kopasus itu. Kami sampai dibawah tebing  saat hari sudah cukup sore menjelang malam, namun masih cukup terang untuk melihat tebing dengan jelas dan melakukan beberapa dokumentasi baik secara photography maupun recorder.Tholo yang penasaran dengan TOP dari tebing 48, setelah kuberi tahu jalan menuju TOP segera menuju TOP yang terdapat monument pisau komando itu bersama dengan Mbelek.

Tidak terasa jam dindingku sudah menunjukkan pukul 11.52. Padahal jari jemari ini masih ingin mengetik namun tugas untuk melakukan perwalian dan registrasi memaksaku untuk segera menghentikan tulisan ini sementara. Dengan ditemani tembang dari steven dan coconouts tree aku mengakhiri sejenak tulisan ini.

Kembali aku memainkan jemariku diatas keyboard ditemani dengan lantunan musik mas Ari Lasso, saat ini pukul 20.10

Malam sudah mulai menyapa kami, dan kilauan lampul mobil di jalan raya menghiasi pemandangan dari atas tebing. Kami lantas bergegas menuju warung nasi tadi untuk mengambil carrier. Setelah berpamitan dengan ibu warung, kami berempat naik bus menuju Bandung dengan ongkos Rp.5000/orang namun bedanya kali in bus-nya ber-AC. Sekitar dua jam waktu perjalanan akhirnya kami sampai juga di sekretariat Astacala. Makan lalu beristirahat.

Jumat, 27 Juli 2007

Tenaga yang lumayan terkuras saat penelusuran membuat waktu tidur sangat nyaman. Hari ini diisi dengan menyiapkan logistik dan peralatan untuk pendakian menuju G.Ciremai esok hari.

Sabtu, 28 Juli 2007

Pagi hari terasa begitu amburadul buatku. Packing telat dan aku merasa pergerakan kami agak terlambat hari ini. Setelah naik angkot cicahem-ciwastra, kami turun di ahmad yani dan ganti angkot jurusan panghegar. Hari sudah agak sore saat kami tiba di terminal Cicahem.  Sekitar 10 menit menunggu di depan terminal, kami pun naik bus menuju Cirebon. Sekitar 3 jam perjalan kami menuju terminal Cirebon. Kira-kira pukul 22.00 kami tiba di terminal Cirebon. Sambil makan kupat kami sedikit melakukan negosiasi dengan supir angkot untuk mengantarkan kami ke pos pendakian di Palutungan. Harga disepakati Rp 25.000/orang. Kami pun bergerak menuju pos Palutungan melintasi gelapnya malam kota Cirebon menuju desa Cisantana, Palutungan. Tengah malam kami sampai di pos Palutungan dengan ketinggian 1100 mdpl, kami disambut oleh sorang pemuda yang mengaku penjaga pos, tidak lama kemudian seorang bapak datang pula menghampiri kami. Malam itu kami meminta izin mendaki esok hari, ternyata G.Ciremai lagi ditutup untuk pendakian karena sedang dilakukan pemekaran untuk dijadikan Taman Nasional. Pendakian boleh dilakukan bila ada guide yang mengantar kami, tentu saja hal itu kami tolak dengan halus. Akhirnya setelah ngobrol dan kembali nego serta memberitahu bahwa kami membawa peralatan yang memadai untuk melakukan pendakian yang aman, dimana kami membawa alat-alat navigasi (peta, kompas, dan GPS) dan komunikasi (sebuah HT) mereka mengijinkan kami melakukan pendakian, namun tidak bertanggung jawab atas keselamatan kami. Setelah mendapatkan ijin, kami pun berpamitan untuk menuju pos dan beristirahat. Bongkar-bongkar, masak-masak dan makan tengah malam. Entah jam berapa kami tidur malam itu, tapi yang pasti suara alunan nada dari radio terus menemani kami hingga esok hari.

Minggu, 29 Juli 2007

Bangun pagi-pagi terasa ada yang ingin dikeluarkan. Lokasi pos palutungan yang nota bene adalah di sebuah desa membuat kami yang ingin ritual pagi di WC alam sangat sulit, sedangkan WC umum yang ada sungguh menjijay kan. Iyaakss…!!! Mungkin karena G.Ciremai lagi ditutup sehingga WC tersebut tidak dirawat kebersihannya. Alhasil setelah melihat peta dan mengetahui letak mesjid terdekat, aku pun bergegas, cepat-cepat mencari mesjid, tepatnya mencari WC yang biasanya ada di mesjid, hehehee… Jalan kupercepat karena perut ini sudah hampir tak kuasa lagi menahan tekanan yang ada. Puji Tuhan, mesjid yang kucari perlan-lahan tampak di depan mataku, tapiiii…..nampak sepi dan sunyi, tidak ada bangunan yang menyerupai WC ataupun tempat wudhu. Aku tidak putus asa, aku yakin di dekat mesjid pasti ada tempat wudhu dan pasti ada WC, aku berkeliling ke belakang rumah yang berada tidak jauh dari mesjid dan aku melihat bak air yang berisi air yang sangat berlimpah…Mataku lansung iba…sebab tidak ada WC disana. Belum juga percaya dengan penglihatanku yang memang sudah tidak begitu bagus, aku kembali ke mesjid dan kembali mengamati kalau kalau ada yang terlewati dari mataku. Tidak ada…!!! Sial…!!!aku sudah tidak tahan lagi, kalau harus mencari tempat lain atau kembali ke pos dan mengambil golok, tissu dan harus mencari lokasi lagi, aku rasa itu tidak akan sempat. Isi perut ini sudah meronta-ronta minta dikeluarkan, kakiku terasa bergetar dan badanku tidak dapat berdiri tegap, keringat dingin sudah..!!! dengan tanpa mikir lagi aku memutuskan untuk menumpang saja di rumah ini daripada nanti urusannya lebih repot. Dengan keberanian yang bulat dan tidak ada rasa malu yang harus aku miliki, aku mengetok pintu dengan tidak sabar. Sesosok ibu berjilbab melihatku dari dalam dan berkata, “Dari samping saja neng..” Lantas pintu samping rumah dibuka dan seakan ibu itu sudah mengerti maksud hatiku, tanpa harus menjelaskan panjang lebar, aku langsung to the point ingin numpang WC dan si ibu menunjukkan sebuah pintu dekat dengan pintu samping. Oh yeesss….!!!!! Ini dia yang kucari dan kudambakan..!!! WC dengan air yang berlimpah. Tuhan, terimakasih atas akhir yang indah ini. Hiks….sungguh aku terharu…

Puass…!!! Dunia terasa lebih indah sekarang..!! Setelah keluar dari WC, aku berkenalan dengan ibu yang baik itu, ibu nining namanya. Ternyata setelah kami ngobrol, si ibu ngaku kalau sudah sejak tadi dia memperhatikan aku dari dalam rumahnya. Tingkahku yang seperti orang bingung, mondar mandir sekitaran mesjid sambil memegang perut. Duh jadi malu Bu..!! Kira-kira 5 menit kami ngobrol dan aku disuguhi segelas air hangat. Tadinya aku juga ditawari sarapan, namun aku tolak dengan pelan. Aku pun berpamitan dengan ibu nining dan suaminya kembali ke pos dengan wajah yang riang gembira. Semacam rasa kemenangan ada ditanganku karena aku sudah selesai memenuhi panggilan pagi hari dengan sempurna. Hahahaa….!!!

Berbeda dengan aku yang dapat memenuhi panggilan pagi hari di WC rumah penduduk, Tholo bernasib kurang beruntung. Karena tidak berhasil mendapatkan tumpangan WC, akhirnya senjata andalan yaitu golok dan tissu yang bekerja. Dengan sedikit memanjat bukit yang entah dimana posisinya, disanalah Tholo memenuhi panggilan itu.

Sarapan, beres-beres, packing, foto-foto dan let’s go to the Cigowong, pos I jalur palutungan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari penduduk, perjalanan ke Cigowong hanya sekitar 2 jam dan cukup dengan bekal satu botol aqua 600 ml. Perjalanan kami mulai sekitar pukul 11.00. Pergerakan agak santai mengingat target kami adalah Cigowong dan dengan estimasi waktu yang diperkirakan adalah sekitar 4 jam (dikali 2 dari estimasi waktu 2 jam dengan pertimbangan beban yang kami bawa). Setelah berjalan cukup lama dan beristirahat beberapa menit dalam perjalanan kami menemukan pertigaan dengan marker “Ke Puncak” arah panah ke kiri. Ngomple mengecek ke kiri dan aku mengecek kearah kanan. Hasilnya, dari arah kiri, jalan menuruni lembah dan melewati sungai kering lalu naik lagi. Dari arah kanan, jalan lebih landai dan menuju jalan yang agak terbuka dengan arah yang terus ke kiri. Setelah dibicarakan, kami memutuskan untuk ke kanan saja. Berjalan beberapa menit kami sekarang berada di daerah menuju ladang penduduk dan seketika kami merasa “it’s wrong way..!!” Lalu ditempat yang terbuka, aku dan Ngomple menganalisa keberadaan kami. Itu bukan masalah buat kami bila ingin mengetahui posisi kami ada dimana di peta, tapi yang jadi masalah adalah Cigowong tuh ada dimana??pada koordinat mana?? Secara aku salah nge-print informasi koordinat pos jalur Palutungan tapi yang ke-print adalah koordinat Pos pos jalur Apuy. Di peta tidak terdapat sungai dengan nama Cigowong. Aku berinisiatif kembali ke pertigaan yang bermarker untuk kembali memastikan jalur, ditengah jalan aku bertemu Tholo dan kami berdua akhirnya kembali ke pertigaan itu dan mengambil jalan yang ditunjukkan oleh marker. Kira kira sekitar 30 menit aku dan Tholo berlari mencari jalur, hari semakin gelap dan beberapa kali terdengar suara peluit dari Ngomple seakan menyuruh semua berkumpul. Tholo percaya Cigowong masih terus ke atas, namun saat itu aku tidak sependapat dan karena kami sudah pergi cukup lama, akhirnya kami memutuskan kembali. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30, dan kami berempat memutuskan kembali ke pertigaan marker. Disini kami membuat suatu kesepakatan, Ngomple dan Tholo akan kembali ke jalur yang ditunjukkan oleh marker mencari lokasi pasti dari Cigowong, tidak masalah jalan malam bila ternyata Cigowong dapat ditemukan, namun bila tidak ditemukan, kami akan nge-camp dipertigaan ini dan Mbelek turun ngambil air di Palutungan (ironis sekali..) Ngomple dan Tholo bergerak sedangkan aku duduk santai sambil ngobrol dengan Mbelek yang sibuk membuat cobek dari kayu yang ditemukan saat perjalanan memasuki vegetasi pohon pinus. Selagi menunggu aku mencoba mencari letak Cigowong di peta dengan menganalisa kontur dan posisi pertigaan yang sudah aku ketahui, aku menemukan satu daerah yang patut dicurigai sebagai Cigowong, maka dari sana aku mengambil kesimpulan bahwa Tholo dan Ngomple berhasil menemukan Cigowong jika mereka terus naik. 30 menit kemudian Ngomple dan Tholo kembali. Dengan sedikit ngerjain Mbelek, mengatakan tidak menemukan Cigowong, Mbelek sudah disuruh ngambil air turun ke Palutungan. Hampir saja Mbelek mengeluarkan dirigen tempat air, akhirnya mereka ngaku telah menemukan Cigowong.

Setelah puas beristirahat dan menunggu azan magrib selesai kami pun bergerak menuju Cigowong. Finnally….setelah kira-kira 45 menit berjalan ditengah kegelapan hutan sambil ditemani beberapa kunang-kunang, kami sampai di pos 1 Cigowong. Mbelek, Tholo dan Ngomple langsung bergerak mendirikan camp, sedangkan aku langsung membuat air panas dan memasak nasi. Setelah camp jadi, seluruh pekerjaan masak memasak makan malam diambil alih oleh Tholo, chef for tonight. Hari itu makan apa ya? Lupa…hehehehe…untuk pastinya nanti busa didengar dari kaset rekaman Tholo yang selalu setia menemani perjalanan kami.

Senin, 30 Juli 2007

Pagi hari…tepatnya pagi menjelang siang…sekitar pukul 09.00 terlihat Ngomple sudah bangun dan memasak sarapan, aku dan Tholo masih menikmati hangatnya di dalam SB, sedangkan Mbelek sibuk membuat api dan membakar sampah-sampah. Sinar matahari masuk menerobos hutan dan memperlihatkan pemandangan sekitar Cigowong yang tidak dapat kami lihat kemarin. Pos I ini merupakan tempat dengan dataran yang sangat luas untuk mendirikan tenda, mungkin cukup untuk 10 tenda, bahkan lebih, dimana terdapat sungai yang jernih (Cigowong) sebagai tempat untuk mengambil persediaan air terakhir untuk perjalanan ke G.Ciremai. Aku bangun dan melihat-lihat sambil sedikit membuka peta dan menyalakan GPS. Aku ingin kembali memastikan posisi dari Cigowong. Akhirnya kudapati bahwa daerah di peta yang sebelumnya aku curigai adalah Cigowong ternyata benar adanya, tapi ada sedikit perbedaan informasi yang aku dapatkan dari banyak sumber bahwa Cigowong berada pada ketinggian 1450 mdpl, tapi setelah melihat kontur di peta Cigowong berada pada 1600 mdpl dan memastikan dengan altimeter pada GPS (tangkapan sinyal satelit=ok), Cigowong berada pada ketinggian sekitar 1600 mdpl, so..?? kalau GPS yang kubawa yang salah karena belum dikalibrasi itu mungkin saja, tapi tidak mungkin peta salah pada ketinggian konturnya. Aku berpikir sejenak, kenapa busa sampai berbeda sampai 150 meter?? Jarak yang sangat besar..!!! Tentu saja setelah memastikan sendiri, aku lebih percaya pada peta yang kubawa dibandingkan informasi yang telah ada entah sejak kapan itu dibuat, busa jadi setelah bertahun-tahun informasi itu sudah tidak valid karena sudah banyak terjadi pergeseran bumi atau apalah itu.

Sarapan pun siap, telah tersedia sambel pecel dengan sayuran rebus, telur dadar dan ikan asin. Mmmmm sambel pecelnya TOP banget. Saat itu ada sedikit konspirasi yang terjadi. Kemarin terjadi sebuah kesepakatan antar para lelaki, dimana Mbelek berjanji kepada Tholo dan Ngomple untuk sarapan pagi ini hanya akan makan creaker oat saja. Akhirnya untuk memenuhi janji itu, pagi ini Mbelek dengan jiwa yang teguh (sudah dibujuk Tholo untuk tidak mempertahankan ego dan makan bersama kami) tetap memasak air panas dan membuat bubur creaker oat rasa ayam jamur. Ngomple sebagi setannya tetap menagih janji Mbelek. Padahal sarapan sudah dibuat untuk porsi 4 orang, lagi-lagi Mbelek dikerjain. Setelah makan creaker oat sampai habus, Ngomple selaku bapak dari Mbelek memberikan hadiah sebuah ampyang (bapak yang aneh). Ternyata Mbelek termasuk tipe orang yang tabah tapi mutung-an juga. Setelah kami bertiga selesai makan, lama sudah Tholo ngeledekin dan akhirnya memberitahu Mbelek bahwa sarapan buat dia masih ada, sebab memang dimasak untuk porsi 4 orang, tapi susah juga membujuk Mbelek. Tapi karena pada dasarnya porsi makan Mbelek tidak mungkin hanya makan semangkok kecil bubur creaker oat dan satu potong ampyang, akhirnya Mbelek luluh juga dibujuk Tholo untuk makan. Repot juga kalo Mbelek tidak mau makan, busa-busa tenaga Mbelek jadi loss power dan kami busa kehilangan porter handal. Hehehehe…

Packing selesai, semua orang membawa full tank water 5 liter untuk perjalanan menuju puncak sampai turun ke Pos I Linggarjati Cibunar. Total persediaan kami adalah 20 liter. Setelah melihat peta dan jalur, kami pun berangkat menuju Pos berikutnya Paguyangan Badak dengan target ke pos 3, Blok Arban. Pergerakan waktu itu cukup siang, kira-kira sekitar pukul 13.00. Kami berjalan cukup lama hingga akhrnya kami menemukan simpang, setelah berorientasi, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tholo dan Mbelek lalu disusul aku lalu Ngomple. Selagi berjalan aku merasakan ada yang aneh, G.Ciremai terletak di sebelah utara, namun kami terus berjalan ke Barat dan semakin lama semakin ke Barat. Ditambah lagi jalan tidak lagi mendaki melainkan menurun. Something’s wrong..!!! aku memutuskan berhenti dan melakukan track posisi GPS. Ngomple ternyata juga merasakan hal yang sama. Ternyata setelah berorientasi dan mem-plot koordinat dari hasil tangkapan satelit GPS, kami memang terlalu melenceng ke Barat. Well, keputusan tidak dapat langsung diambil saat itu sebab Tholo dan Mbelek berada jauh di depan. Aku dan Ngomple terus turun mengikuti jalan dan akhirnya bertemu dengan Tholo dan Mbelek yang saat itu lagi duduk. Ternyata disana terdapat sebuah kuburan yang dikeramatkan, disana juga terdapat gapura pintu masuk menuju kuburan tersebut. Hari sudah semakin gelap, malam sudah mulai menyapa kami. Tholo orang yang sangat optimis, dia masih memiliki keyakinan bahwa ini jalan yang benar dan akan terus berjalan mengikuti jalan, sebab untuk kembali ke jalan yang tadi adalah pekerjaan yang membuat malas semua orang. Target adalah mencari tempat camp sebab sebentar lagi matahari akan berpamitan pada kami. Setelah berjalan cukup jauh, tidak kami temukan tempat yang memadai untuk mendirikan camp, maka dieksekusilah sebuah tempat ditengah jalan untuk diratakan dan diperluas agar flysheet merah itu dapat berdiri. Jadilah kami nge-camp ditengah jalan pada malam itu.

Tholo kembali menjadi chef, sedangkan Ngomple mengaktifkan HT dan mencoba berhubungan dengan frekuensi yang diberikan oleh penjaga pos Palutungan. Karena tidak dapat nyambung, dicoba frekuensi yang lain dan ternyata ada yang sampai ke Sumedang. Cukup lama mencoba berhubungan dengan daerah sekitar G. Ciremai (Kuningan atau Cirebon) tidak memberikan hasil yang diharapkan. Alhasil mencoba mencari informasi dari HT pun dihentikan dan kami berempat makan malam lalu tidur, saat itu bulan bersinar terang menyinari camp.

Selasa, 31 Juli 2007

Pagi hari yang malas…Rasanya malas sekali bergerak…Kira-kira pukul 10.00 baru melakukan pergerakan di camp. Tholo memasak dibantu oleh Mbelek, sedangakan Ngomple turun untuk mengecek jalur. Waktu itu aku ngapain ya?? Beberapa saat kemudian Ngomple kembali dan ternyata dibawah ada pos II Simpang Lima jalur Apuy. Haaahh…?? Wah kita melenceng ke jalur apuy. Tapi menurut Ngomple, jalur nya mengarah kearah camp, dan itu artinya jalan balik. Seperti biasa, Tholo yang selalu optimis tidak percaya kalau harus kembali ke jalan yang sama. Mereka, Ngomple, Mbelek dan Tholo kembali mengecek jalur dan akhirnya menetemukan jalur pendakian. Setelah makan kami pun beres-beres dan packing. Tapi entah kenapa hari itu rasanya malas bergerak. Packing satu barang, trus duduk ngobrol, ngarokok dan ngemil. Kira kira pukul 14.00 baru kami bergerak menuju jalur pendakian yang tadi ditemukan. Sungguh pergerakan yang santai, wakakakakaa..

Ternyata benar, jalur pendakian yang kami temukan itu adalah jalur Apuy sebab disepanjang perjalanan kami melewati pos-pos jalur Apuy yaitu Tegal Wasawa, Tegal Jamuju, dan Saghyang Rangkah. Di Saghyang Rangkah kami memutuskan untuk mendirikan camp, saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 20.00 Tidak disangka kami melenceng ke jalur Apuy dan informasi koordinat yang tadinya salah print jadi berguna dalam perjalan ini. Malam ini, aku dan Ngomple yang memasak makan malam. Di luar camp, Mbelek sudah membuat api unggun yang lumayan besar. Makan malam dan tidur ditengah dinginnya malam saat itu yang marasuk hingga ke dalam SB yang malam ini menjadi tidak seberapa hangat. Tentu saja malam menjadi sangat dingin, sebab kami sudah berada diketinggian yang cukup tinggi dan esok hari kami akan melakukan perjalanan ke puncak Ciremai

Rabu, 01 Agustus 2007, Akhirnya Muncak Euy

Kami akan melakukan pergerakan lebih awal sebab kami tidak ingin kemaleman sampai puncak. Heran juga, meskipun rasanya sudah mempercepat pergerakan, tapi camp selesai dibongkar dan packing selesai adalah sekitar pukul 11.00. Ditambah lagi ada satu peristiwa dimana air yang dipacking Ngomple bocor, jadinya dia membongkar packingan lagi dan menjemur SB, baju dan dalaman yang basah terkena air. Huahahahaa….jadilah kami menunda pergerakan hingga sekitar pukul 12.00

Saat itu persediaan air tinggal 10 liter, dan seperti yang sudah diprediksikan, Mbelek sang porter handal tetap membawa full tank water 5 liter (sungguh mulia) 5 liter sisanya dibagi menjadi beberapa botol 600 ml. Maka dimulailah pergerakan dengan target operasi adalah puncak G.Ceremai. Seperti biasa, jalan menuju puncak sudah sangat nge-track. Setelah memasuki vegetasi cantigi suasana gersang, terik dan panas matahari menemani disetiap langkah satu demi satu. Sesekali dan berkali kali aku duduk untuk beristirahat dan kulihat sebuah pemandangan yang indah, sebuah hasil karya agung “Bos besar di atas sana” Oke, tidak boleh berlama lama duduk disini, Mbelek dan Tholo sudah jauh di depan, dan tidak enak juga dengan Ngomple yang di belakangku nungguin, padahal dia termasuk tipe cowok-cowok pedaki pada umumnya (suka berjalan cepat), kalau terus berhenti nungguin aku pasti akan terasa lebih capek buat dia (disuruh jalan deluan gk mau sihh…) Hehehe, akhirnya terus melangkah dan melangkah…sampai juga di pertigaan jalur Apuy dan Palutungan. Jalan lagi, nge-track lagi…dan sampai juga kami di Goa Walet, disana kami berkumpul lagi dengan Mbelek dan Tholo. Untuk mencapai Goa Walet harus turun dari jalur pendakian sekitar 40 meter. Setelah meletakkan carrier, aku bergegas ke bawah. Tholo dan Mbelek nampak sudah puas bermain-main di goa lebih memilih menunggu dijalur pendakian bersama Ngomple. Entrance goa Walet cukup besar namun tidak panjang, sejujurnya aku tidak sempat masuk lebih dalam ke Goa karena tidak memiliki peralatan pendukung seperti senter dan helm. Di sekitar goa terdapat dataran yang cukup luas dan terdapat banyak sekali arbei hutan.

Time to go…!!! Ketinggian waktu itu adalah sekitar 2850 meter dan sebentar lagi puncak akan kami raih. Oyeeehh….Dan akhirnya penantian itu pun datang…Puncak Ciremai kami datangg….!!! Aku tiba di puncak sekitar pukul 16.00 dan disana angin berhembus sangat kencang…dipuncak kami dapat memandang dua buah kawah dan pemandangan kota Cirebon, dan pucuk pucuk gunung menjulang di sebelah selatan, ddari sana juga tampak puncak G. Slamet. Cool..!!! Setelah puas foto-foto dan nye-nack, kami pun mencari jalur turun ke Linggarjati. Oh ya, Puncak yang kami taklukkan adalah puncak 3 dan puncak 2, sedangkan puncak 1 tidak kami raih karena faktor waktu yang sudah menjelang malam, pukul 17.00 memaksa kami untuk segera turun ke titik yang lebih aman dan baik untuk mendirikan camp.

Setelah memastikan jalur yang menuju desa Linggarjati, kami menuruni jalan yang sangat terjal, meskipun kami sudah keluar dari vegetasi cantigi dan mulai memasuki hutan, jalan yang sangat terjal terus menemani kami. Setelah cukup jauh dan malam sudah semakin dingin, akhirnya kami mendirikan camp di sebuah tanah yang cukup luas dan datar, tampat itu bukanlah sebuah pos, namun tempat ini kerap dijadikan tempat beristirahat sebab banyak sekali sampah yang menghiasi tempat tersebut. Kira-kira pukul 20.00 kami mendirikan camp, masak dan membuat api. Chef adalah Tholo again dibantu dikit oleh aku. Ngomple sudah tidur dan Mbelek tetap bersama api buatannya. Malam yang sunyi, namun sedikit terobati oleh dentuman lagu dari radio yang tidak pernah lelah mengusir kesunyian yang senyap saat kami berada di camp. Malam itu nampak garing, mungkin karena capek, malam itu terasa lebih kalem dari malam-malam sebelumnya. Pukul 00.00, masakan telah tersedia …akhirnya makan juga…

Kamis, 02 Agustus (Goes to Linggarjati)

Pukul 12.30 pergerakan menuju desa Linggarjati. Rencananya kami berharap dapat bangun lebih pagi dan bergerak lebih pagi sehingga kami dapat ke Bandung hari ini, namun seperti yang telah menjadi kebiasaan, siang hari ternyata lebih nyaman melakukan pergerakan (huahahahaa). Jalur Linggarjati sungguh jalur yang sangat curam, sepanjang jalur adalah jalur yang edan..!!! gk ada mulus mulusnya, jalur batu batuan besar dengan tanah yang miring, akar kayu yang menyerupai tangga menghiasi jalur Linggarjati, otomatis pergerakan turun harus lebih hati-hati. Jalur turun seperti ini sungguh membuat kaki sakit karena pegel…!!! Tidak terasa hari mulai sore dan perut sudah kembali meronta ronta minta diisi. Sekitar pukul 17.00 kami sampai di Pos I Cibunar. Banyak air melimpah kami manfaatkan untuk bersih-bersih dan gosok gigi (karena hemat air, sejak dari Cigowong tidak pernah gosok gigi, iyaakss…!!!) Bongkar-bongkar, trus masak mie 5 bungkus…lumayan untuk mengganjal rasa lapar.

Selepas azan Magrib kami melanjutkan perjalanan ke desa Linggarjati, beberapa saat kemudian kami tiba di desa Linggarjati. Disana kami memutuskan menginap di sebuah warung, Pak Saman nama pemilik warung itu. Kami diperbolehkan tidur di Musolah dekat warung, disana juga terdapat 2 WC dan 2 kamar mandi. Setelah puas ngobrol dengan Pak Saman, Mbelek memesan makan malam untuk kami berempat. Karena diserang rasa kantuk yang sangat kuat, aku tidur deluan. Entah jam berapa aku terbangun dan sayup-sayup terdengar suara Tholo lagi menelepon seseorang, entah siapa, tapi yang pasti cewek sebab sesekali terdengar sedikit rayuan gombal. Kwakakakaa…pengen nge-godain tapi rasa kantuk ini lebih menarik jadi aku memilih tidur saja dan membiarkan Tholo untuk lebih busa berekspresi. Semangat ya Thol..!!!

Jumat, 03 Agustus 2007

Selamat pagiii desa Linggarjati…!!!! Mandi mandi, trus packing dan sarapan..Pukul 10.00 kami pamit dengan Pak Saman dan istri menuju museum Linggarjati. Museum Linggarjati terletak tidak jauh dari warung Pak Saman, berjalan kira-kira 5 menit kami pun sampai di museum yang terkenal itu. Bangunannya terawatt dan bersih, lumayan menambah pengetahuan sejarah yang sudah keropos ini.

Puas menikmati peninggalan sejarah, kami segera bergerak menuju Cilimus. Menurut penduduk disana, dari Cilimus juga terdapat bus yang menuju Bandung. Dari desa Linggarjati terlihat G.Ceremai yang menjulang tinggi, hari sangat cerah dengan langit yang biru memperlihatkan keindahan dan kegagahan G.Ceremai. Selamat tinggal G. Ciremai…!! Angkot membawa kami ke terminal Cilimus dan dari sana kami mengisi perut lagi, kupat tahu, sambil menunggu bus yang menuju Bandung. Menunggu cukup lama di warung kupat tahu, akhirnya bus ke Bandung yang emang jarang muncul di Cilimus itu tidak datang juga, kami putuskan untuk ke Cirebon dan dari sana baru ke Bandung

Dari Cirebon naek bus AC-ekonomi ongkos Rp 20.000, kami dianter sampai di perempatan Jl. Buah batu dengan Jl.Pelajar Pejuang. Hari itu sudah beranjak malam, rasa lelah menyelimuti seluruh badan. Sampai di sekre, makan lalu langsung tidur.

Sabtu, 04 Agustus 2007

Entah pukul berapa Mbelek dan Tholo bangun dan segera mempacking peralatan mereka untuk segera bersiap menuju stasiun Kiaracondong menuju Jogja, sedangkan Ngomple tidak tidur. Aku berencana ikut ke Jogja, sebenarnya malaaasss….banget, tapi berhubung sudah janjian sama Ayis yang sudah berada di Jogja saat itu, ya aku berangkat juga deh…dengan susah payah dan apa adanya, aku pun packing seadanya trus jam 05.00 kami berempat bergerak menuju stasiun Kiaracondong, goes to Jogja.

Dari sini, berakhirlah perjalananku bersama tiga kawan dari Mapasadha. Untuk semuanya, Arrigatto. []

Oleh Vonny Pinontoan

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Keelokan Sisa Kerajaan Kupu-kupu

Bantimurung sekarang ini lebih mirip sisa-sisa kerajaan kupu-kupu (kingdom of the butterfly) meski tetap saja masih jadi primadona wisata. Ribuan pelancong terus menikmati keelokan...

Luas Segara Anakan Menyusut

{nl}        Pada tahun 1903 luas Segara Anakan mencapai 6,450 hektare, tetapi pada tahun 1992 luasnya tinggal  1.800 hektare. Bahkan hasil studi yang dilakukan...

Tim SAR Masih Cari Mahasiswa UGM yang Hilang di Gunung Semeru

{nl}     Andika Listiono Putra (20), mahasiswa jurusan Administrasi Negara (AN), Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) hilang di Gunung Semeru, Jawa...