Sungai Bawah Tanah

Sungai Bawah Tanah Terancam

Dulu, hampir tidak ada yang mau melirik tanah gersang dengan batuan karst. Bagaimana tidak, untuk lahan pertanian saja sering tidak optimal. Lahan tersebut dianggap kurang produktif. Orang akan berpikir ulang jika hendak membeli lahan gersang dengan dipenuhi bukit karst, karena nilai ekonomisnya yang kecil. Wajar saja jika kemudian harga lahan tidak mahal, bahkan murah.

Namun belakangan ini, lahan dengan kandungan karst banyak diincar. Karst ternyata memiliki nilai ekonomi lumayan. Selain sebagai bahan baku semen, bahan industri dan juga sebagai bahan untuk pembuatan pupuk serta keperluan lainnya.

Nilai ekonomi yang lumayan tersebut, membuat penambangan batu karst kian marak. Sayangnya, penambangan sering tidak mengikuti aturan yang berlaku. Jika dibiarkan terus menerus, bisa membahayakan masyarakat di kemudian hari.

Menurut dosen Fakultas Geografi UGM, Drs Eko Haryono MSi, dampak buruk terhadap penambangan batu karst tersebut memang tidak bisa langsung dirasakan. Namun secara perlahan, dari waktu ke waktu, terjadi pengurangan debit air sungai bawah tanah. Selain itu, sungai bawah tanah mudah tercemar, sebagai akibat mudahnya air di atas permukaan langsung menuju aliran sungai bawah tanah.

Eko yang juga dikenal sebagai peneliti karst mengatakan, batu karst memang memiliki potensi ekonomi. Namun dalam penambangannya, harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Saat ini, ada rambu-rambu pemerintah terkait dengan penambangan karst ini. Dalam Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 1456 tentang Pengelolaan Kawasan Karst yang dibagi dalam tiga klas. Untuk Klas I merupakan kawasan yang tidak boleh ditambang, Klas II merupakan kawasan yang boleh ditambang, namun telah sesuai dengan Amdal. Sedangkan Klas III merupakan kawasan yang boleh ditambang, tetapi memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

Sungai Bawah Tanah

Kawasan karst Klas I ini, menurut Eko, memiliki fungsi yang besar, karena sebagai tangkapan sungai bawah tanah. Kalau di kawasan ini ditambang, maka akan mengakibatkan proses tangkapan air menjadi tidak berjalan baik. Fungsi tangkapan menjadi hilang karena penambangan telah menghancurkan epikarst atau permukaan karst.

“Di permukaan ini banyak tanah yang berfungsi menyimpan air. Penambangan karst yang tidak sesuai aturan menghilangkan fungsi tanah untuk menyimpan dan menyaring air. Jika tanah ini hilang, maka air akan langsung menuju sungai bawah tanah, karena karst tidak memiliki kemampuan menyimpan air, karena banyak terdiri lubang-lubang. Lubang terbesar adalah goa,” kata Eko.

Jika permukaan karst sudah rusak, maka saat terjadi hujan lebat, maka air langsung menuju sungai bawah tanah. Padahal sebelumnya air tersebut ditahan lebih dulu di permukaan, untuk kemudian mengalir secara perlahan ke sungai bawah tanah. “Hilangnya permukaan karst ini, mengakibatkan berkurangnya debit air di bawah permukaan, khususnya ketika tidak terjadi hujan,” katanya.

Karena itu, Eko mengingatkan, zone epikarst ini memiliki peran penting. Dari kajian yang dilakukan, zone ini menyumbang 70 persen air yang mengalir ke sungai bawah tanah. Air tersebut dialirkan secara bertahap. Penghilangan zone ini membuat air tersebut langsung menuju sungai. Ketika tidak terjadi hujan, maka debit air sungai menyusut, karena hilangnya kontinyuitas suplai air dari permukaan karst. “Padahal saat ini, sungai bawah tanah di Gunungkidul, menjadi sumber air minum yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),” ujarnya.

Sungai bawah tanah yang sudah dimanfaatkan untuk air minum tersebut di antaranya sistem Bribin, Baron, Seropan dan Moraban. Untuk saat ini, kontinyuitasnya memang belum terasa terganggu. Namun jika penambangan karst tersebut kian merebak, dan semakin banyak permukaan karst yang rusak, maka suplai air secara kontinyu mulai terganggu. Padahal rakyat di Gunungkidul saat ini kebanyakan mengandalkan air hujan yang datangnya hanya beberapa bulan saja di musim penghujan.

Penyuplai Air

Dijelaskan pula, salah satu penyuplai air bawah tanah adalah luweng, yakni lubang besar dengan arah vertikal yang langsung menuju sungai bawah tanah. Ada sekitar 30 persen air sungai bawah tanah yang disuplai melalui luweng. Air yang melalui luweng tidak lebih dulu disaring, tapi langsung mengalir ke bawah. Air yang kotor pun bisa langsung dibawa ke sungai.

Dengan hancurnya permukaan karst, membuat air banyak mengalir lewat luweng. Hancurnya permukaan karst membuat banyak air yang langsung mengalir ke sungai. Padahal air tersebut bisa saja tercemar dan kotor.

Diakui Eko, untuk menghentikan penambangan yang tidak sesuai dengan ketentuan ini memang tidak mudah. Terhadap persoalan tersebut, nampaknya pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) dengan mengakomodasi isi Kempen ESDM tentang karst. Dengan demikian, PP tersebut akan mengikat lebih luas, tidak hanya bidang pertambangan tapi juga bidang lainnya.

Memelihara Luweng

Setiap kawasan karst banyak terdapat luweng. Pencemaran air di sungai bawah tanah banyak, karena air melewati luweng ini. Pencemaran ini dapat diminimalkan dengan menanggulangi masuknya bahan pencemar ke dalam sungai air bawah tanah.

Menurut Eko, pemeliharaan mulut luweng dilakukan dengan membuat bronjong dan menanami rerumputan dan pohon di sekeliling mulut ponor. Pembuatan bronjong dilakukan untuk menghindari hilangnya tanah di sekitar mulut ponor pada saat musim hujan. Penanaman rumput dan pepohonan dimaksudkan agar pencemar yang akan masuk ke luweng dapat tersaring lebih dahulu. Pemeliharaan mulut luweng juga dimaksudkan untuk menghindari tersumbatnya luweng, karena menyebabkan tergenangnya air sehingga banjir di sekitar luweng.

Erosi tanah yang terjadi di sekitar luweng akan menyebabkan keruhnya air sehingga menurunkan kualitas air sungai bawah tanah dan mata air. Mengendalikan erosi dilakukan dengan membuat tataan batu penangkap sedimen di lereng-lereng bukit dan mempertahankan hutan di puncak-puncak bukit. Mempertahankan sebagian hutan juga akan menyediakan rumah (habitat) bagi satwa. Saat ini di kawasan karst terjadi gangguan lahan pertanian oleh kera ekor panjang akibat punahnya habitat alamnya.

Dengan sistem ini, maka sisa pupuk dan pestisida dapat tercuci pada saat hujan dan terbawa bersama aliran air serta masuk ke dalam sungai bawah tanah melalui luweng. Untuk menjaga luweng tersebut, maka limbah dan sampah harus dibuang di tempat yang mempunyai lapisan tanah, sehingga air dapat tersaring oleh tanah sebelum masuk ke sungai bawah tanah. []

Sumber : Kedaulatan Rakyat

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *