Mendaki Gunung Sumbing Melalui Dusun Cepit

Sekilas Gunung Sumbing 

Gunung Sumbing berada di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya masuk wilayah 3 kabupaten yakni Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Memiliki ketinggian 3371 mdpl, Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ke-2 di Jawa Tengah dan juga tertinggi nomor 3 di Pulau Jawa setelah Semeru (3676 mdpl) dan Slamet (3428 mdpl). Ada empat jalur yang bisa dilewati oleh para pendaki untuk menuju puncak Sumbing, yaitu jalur pendakian via Cepit Parakan (Temanggung), Bogowongso (Kalijajar, Wonosobo), Garung (Wonosobo) dan Kaliangkrik (Magelang). Dari empat jalur yang ada, jalur pendakian via Cepit Parakan lebih sering dilewati warga atau para peziarah untuk berziarah ke Makam Ki Ageng Makukuhan yang berada di dasar kawah. Memang pendakian via Cepit terkenal sebagai jalur yang sepi dibandingkan dengan jalur Garung atau lainnya, namun pemandangan yang disuguhkan tak kalah cantik dengan jalur lainnya. Mendaki melalui Cepit sangat disarankan bagi para pendaki yang menyukai suasana hening dan sepi. Tetapi hanya terdapat 2 sumber mata air, yaitu di pos 1 atau aula dan juga di pos 4.

Perizinan

Perizinan untuk melewati jalur ini dapat dilakukan di basecamp Cepit yang dijaga oleh Pecinta Alam Pagergunung (PALPAG) dengan membayar retribusi sebesar Rp. 8.000 untuk pengelolaan dan kebersihan Gunung Sumbing itu sendiri. Di sini pendaki bisa beristirahat sejenak ataupun bermalam, serta tersedia juga fasilitas MCK.

Jalur pendakian Gunung Sumbing via Cepit Parakan, Kab. Temanggung :

1. Titik Start (7°19’12″ LS , 110°06’21″ BT)

Titik start pendakian di RSU Kristen Ngesti Waluyo

Kami memulai pendakian dari titik start di Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar pukul 11.00 WIB. Kemudian dilanjutkan long march melewati jalan beraspal sejauh kurang lebih 7 km menuju ke basecamp (7°20’43″ LS , 110°5’25″ BT)  pendakian yang berada di dusun Cepit, Pagergunung Bulu, Temanggung. Perjalanan ini sebenarnya bisa dipersingkat dengan menaiki ojek lokal yang disediakan oleh warga dari Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo sampai dengan basecamp dengan membayar Rp. 20.000 untuk sekali jalan atau menumpang pikap pembawa sayur hasil pertanian yang hanya ada pada pagi hari, akan tetapi pada kesempatan ini kami lebih memilih untuk berjalan kaki karena saat kami tiba matahari sudah berada tepat di atas kepala. Perjalanan dari titik start menuju ke basecamp memakan waktu 2-3 jam jika berjalan kaki. Dengan diselingi makan siang di Desa Gondosuli, maka total waktu perjalanan dari titik start sampai ke basecamp, yaitu sekitar 5 jam.

Kami cukup terkesan di sepanjang perjalanan menuju ke basecamp, dimana di sana terdapat banyak masjid dengan jarak yang tidak terlalu jauh yang menandakan bahwa masyarakat sekitar merupakan kelompok masyarakat yang agamis. Tidak hanya itu saja, warga sekitar pun sangat ramah kepada para pejalan atau pendaki yang melintas. Kita berjalan sejauh kurang lebih 17,5 km atau karvak pada peta, dari basecamp hingga ke menara pandang yang memerlukan waktu tempuh selama 1 jam. Medan jalan yang dilalui cukup menanjak dan menguras cukup banyak sisa-sisa tenaga dikala itu. Tetapi lelah sirna seketika saat kita memandang sekitar, tampak paras cantik Sindoro walau kadang tertutup kabut tebal.

Gerbang masuk dusun Cepit. Terdapat basecamp pendakian tepat sebelum gerbang tersebut.

2. Pos 1 Aula (7°21’12″ LS , 110°04’60″ BT)

Setelah mencapai menara pandang, kami melanjutkan perjalanan menuju aula. Di sini kami sudah memasuki batas hutan yang ditandai dengan banyaknya pepohonan pinus, serta jalur setapak yang cukup bersahabat. Aula ini sengaja dibangun untuk para pendaki dan peziarah untuk tempat beristirahat. Tempat ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai lokasi kamp karena cukup luas serta juga terdapat tiga ruangan kecil yang dapat dipakai untuk memasak bahkan tidur jika kondisinya tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda. Di aula ini juga terdapat sumber mata air yang jernih yang dapat kita minum langsung. Setelah sudah cukup melepas lelah perjalanan dapat dilanjutkan menuju pos 2 dengan vegetasi yang masih sama.

Pos 1 berupa aula sering dijadikan kamp sebelum memulai pendakian.

3. Pos 2 (7°21’34″ LS , 110°4’53″ BT)

Setelah sudah cukup melepas lelah, perjalanan dapat dilanjutkan menuju pos 2 dengan trek yang  terbilang cukup melelahkan. Tenaga yang telah terkumpul mulai kembali terkuras. Karena rute yang akan dilewati masih cukup panjang maka kami harus sedikit mempercepat langkah. Matahari siang itu tampak malu-malu menampakkan dirinya. Kebetulan kami mendaki di bulan saat hujan sering kali turun, sehingga awan tebal sering mengiringi perjalanan kami.

Beristirahat di pos II

4. Pos 3 (7°21’52″ LS , 110°4’47″ BT)

Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 dapat ditempuh dengan waktu 1 jam berjalan santai. Di sini mulai terlihat perbedaan batas vegetasi antara hutan pinus dengan hutan belantara yang ditumbuhi pepohonan heterogen. Layaknya pos-pos pendakian pada umumnya, di pos 3 ini juga tersedia area yang cukup landai dan lapang untuk dijadikan kamp sementara. Setelah beristirahat sebentar untuk mengisi tenaga yang terkuras, kami melanjutkan kembali perjalanan.

Pos III batas vegetasi hutan pinus dengan hutan heterogen

5. Pos 4 Watu Kasur

Tak jauh dari pos 3 kami telah sampai di pos 4 bernama Watu Kasur. Lelah terbayar sudah, setelah melewati hutan belantara kami disuguhkan dengan panorama indah punggungan yang dipenuhi dengan bebatuan sejauh mata memandang. Sudah tidak ada lagi hutan belantara yang ada hanyalah rerumputan dan bebatuan yang terjal sepanjang jalan menuju ke puncak. Trek bebatuan ditambah dengan hujan dan kabut semakin membuat licin langkah kaki, tak jarang kaki ini terpleset ketika menginjak bebatuan yang berlumut.

Trek dari Watu Kasur menuju kawah Sumbing

6. Kawah (7°22’46″ LS , 110°4’29″ BT)

Setelah melewati trek bebatuan terjal dengan waktu tempuh 4-5 jam kami pun sampai di kawah Gunung Sumbing. Gunung Sumbing merupakan gunung api aktif bertipe stratovolcano, tak heran jika di puncaknya ada kawah indah yang bisa kita kunjungi dimana di tengah tengahnya terdapat kawah aktif dengan aroma belerang yang menusuk hidung. Dan jika kita melipir sedikit kearah Barat laut akan ditemui makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar, di sana setiap tahunnya rutin diadakan ritual pada hari ke-20 bulan Ramadhan atau yang biasa masyarakat jawa sebut malam selikuran. Dari anak-anak sampai lanjut usia mendaki ke sini untuk melakukan ziarah. Menurut informasi, Sumbing terakhir meletus pada 1730. Nampaknya sekarang ia tengah tertidur lelap sehingga tidak menunjukkan aktifitasnya sebagai gunung berapi yang masih aktif. Sayang sekali cuaca waktu itu sedang tidak mendukung sehingga pemandangan di sekitar kawah dengan tebing yang memesona tertutup oleh kabut.

Team pendakian Gunung Sumbing

 

Tulisan oleh Damai Laksmi Laksikasari (AM-017-Lentera Cakrawala)

Foto oleh Tim Pendakian Gunung Sumbing 2017


Sumber Acuan

Beberapa sumber acuan yang digunakan untuk data Gunung Sumbing ini adalah peta BAKOSURTANAL 1:25000 lembar 1408-511 Kaliangkrik dan 1408-513 Parakan, serta catatan perjalanan pendaki yang penulis dapat dari perambah google.

Informasi Sumber Air

Jika kalian memilih mendaki Gunung Sumbing via Cepit maka kalian harus bisa mengatur penggunaan air dengan baik karena kita hanya akan menemui 2 sumber air yaitu pada Pos 1 (Aula) dan Pos 4 (Watu Kasur). Jadi manfaatkan sumber mata air yang ada dengan baik dan benar, jangan lupa menjaga kebersihan sumber mata air yang telah disediakan oleh alam dengan tidak membuang sampah sembarangan ya.

Informasi Transportasi:

Stasiun  Kiaracondong – Stasiun Lempuyangan : Kereta ( Rp87.500/orang)

Halte transjogja (SMPN 5 Yogyakarta – Terminal Jombor)  : Transjogja (Rp 3.500/orang)

Terminal Jombor – Terminal Magelang : Bus (Rp10.000/orang)

Terminal Magelang  – RSK Ngesti Waluyo (15.000/orang)

Basecamp : Dusun Cepit Pagergunung Bulu, Temanggung. Kontak : 085878606717 (PALPAG)

 

One thought on “Mendaki Gunung Sumbing Melalui Dusun Cepit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *