Pintu Gerbang Itu Bernama Rumah
Sudah lebih dari 3 bulan sejak dilepas dari Jakarta menuju daerah penugasanku sebagai Pengajar Muda 8 Indonesia Mengajar, di Bima, tepatnya di Dusun Baku, Kecamatan Lambu. Dusun yang tak banyak orang tahu, dusun yang tak banyak orang pernah pergi ke sana, dusun tanpa listrik dan minim sinyal telepon seluler, dusun tempatku mengajar dan belajar, sebuah dusun yang tak henti-hentinya memberikanku perenungan dan pembelajaran tentang misteri sebuah kehidupan, memberikanku gambaran tentang kondisi nyata sebuah negeri yang bernama Indonesia.

Setelah paruh semester mengajar di SDN Inpres Baku, aku yang menyelesaikan kesarjanaan di bidang Teknik Telekomunikasi mulai terbiasa dengan dunia mengajar, menyampaikan ilmu dan berhadapan dengan anak-anak.
Kali ini aku ingin menceritakan tentang dua murid yang menurutku memiliki benang merah hidup yang cukup sama;

Erlan
Yang pertama bernama Erlan atau lebih dikenal dengan nama Tora. Saat hari pertama mengajar di kelas 6, aku sempat kaget ada murid yang bernama Erlan, karena dalam catatan yang sempat kutanyakan kepada guru kelas 5 tidak ada nama itu muncul. Aku semakin kaget ketika melihat perilakunya yang sering keluar masuk kelas, susah duduk di kursi, tidak pernah mau mendengarkan penjelasan guru, dan berbagai hal lainnya, perilakunya sangat menonjol dan mengganggu proses belajar mengajar. Di mas awal, aku bersikap tegas kepadanya, memintanya berperilaku sama dengan teman lainnya. Tetapi alhasil ia tidak pernah mengindahkan semuanya dan bahkan nyaris tidak ada perubahan. Lalu aku mencoba bertanya kepada guru kelas 5 tentang track record anak tersebut, dan hal yang sangat mengagetkan adalah kenyataan bahwa ternyata Erlan memiliki masalah terkait keluarganya.
Ketika kelas 4 SD, ibunya pergi ke Malaysia dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian ayahnya menikah lagi dan “menitipkan” Erlan kepada saudaranya di desa sebelah, sementara ayahnya pergi merantau ke desa lain dengan ibu tirinya. Saat pindah ke desa sebelah, Erlan juga pindah ke sekolah terdekat dengan tempat tinggal barunya. Ketika berada di tempat barunya, Erlan tidak mau sekolah, bahkan kabarnya dia tidak seceria saat berada di kampungnya sendiri, Baku.
Pasca 1,5 tahun kepergiannya, dua minggu menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) Erlan kembali lagi ke Baku tinggal dengan kakeknya (Erlan lebih suka memanggilnya bapak) dan mengatakan ingin sekolah lagi di SDN Inpres Baku. Walaupun datang tanpa rapor, pihak sekolah mengizinkannya. 1,5 tahun tidak sekolah, tak adanya figur di rumah, kesendirian selama 1,5 tahun itu, kondisi keluarga yang bermasalah menjadi pukulan tersendiri bagi Erlan.
Sejak mendengar hal itu, aku mencoba mengerti kondisinya dan akhirnya aku memutuskan untuk berubah menjadi lembut kepadanya, apabila ia berkeliaran hilir mudik di kelas asalkan tidak mengganggu temannya, maka aku tidak pernah menegurnya. Selain itu aku juga sering memberikan pujian kepadanya, baik secara lisan maupun tulisan (menuliskan pesan cinta / pesan semangat di buku tugasnya) pada setiap gerak-geriknya yang menurutku baik, seperti menjawab pertanyaanku atau berperilaku lebih baik. Dan ternyata hasilnya cukup ajaib, hatinya menjadi lebih lembut. Itu tercermin dari perilakunya yang lebih bisa diatur, lebih menghargai guru, mau berpartisipasi aktif dalam proses belajar, dan beberapa hal lain.
Kembali aku teringat sebuah kata bijak, “Mungkin murid-murid kita akan lupa mata pelajaran yang telah kita ajarkan, tetapi mereka tidak akan pernah lupa pada emosi yang kita bawa saat mengajar”.
Anak Kedua, Marati
Anak kedua bernama Marati. Ia sekarang duduk di kelas 2. Setahun lalu ia adalah anak yang sangat periang. Ketika udara dingin masih menusuk kulit, jalan-jalan masih sepi, anak-anak lain masih sibuk mandi atau sarapan, ia sudah berjalan kaki menyusuri jalan menuju ke sekolah yang kira-kira perlu ditempuh selama 40 menit. Ia berjalan sembari menebar senyum ke orang yang ditemuinya. Sesampainya di sekolah, masih sangat sepi, anak-anak lain masih banyak belum hadir. Tanpa diminta oleh siapapun, Marati bergegas mengambil sapu untuk menyapu kelas. Selesai itu ia tidak diam, ia masih mengambil ember dan menyiram bunga di depan kelasnya. Saat belajar, ia terlihat sangat antusias, sering maju mengerjakan soal di papan. Singkat kata, Marati termasuk yang paling cepat menyerap pelajaran. Sebenarnya saat itu bapaknya pergi ke Malaysia, dan beberapa waktu yang lalu bapaknya kembali ke Indonesia.
Hinggga pada sekitar 3 bulan lalu bapak dan ibunya bercerai, entah apa alasannya. Ternyata hal itu menjadi pukulan tersendiri untuknya, saat ini dia sudah tidak seceria dulu, menyapu kelas hanya jika disuruh. Menangkap pelajaran pun menjadi hal yang sangat sulit untuknya, bahkan di rumah dia sering murung sendirian. Sayang tak banyak interaksiku dengannya, tapi setidaknya mulai kubicarakan hal itu kepada guru yang lain.
Hidup Memang Tentang Seni Menghadapi Masalah
Dari cerita di atas, terlihat bahwa kondisi keluarga memiliki pengaruh sangat besar terhadap anak. Kondisi ekonomi memang penting bagi keluarga, tetapi kehadiran orang tua utuh di tengah-tengah keluarga menjadi hal yang utama. Jangan-jangan alih-alih memperbaiki kondisi keluarga dengan sudut pandang utama ekonomi ternyata malah memperburuk kondisi keluarga, kurang terpantaunya kondisi anak, mulai rapuhnya hubungan suami istri, dan akhirnya keluarga pun menjadi rapuh.
Karena minimnya pendidikan dan masih mudanya usia menikah (bahkan ada pula yang menikah di bawah 17 tahun) membuat beberapa warga di Dusun Baku yang mengalami masalah dengan ekonomi memilih untuk pergi ke Malaysia, ketika ekonomi mulai membaik ternyata kembali muncul masalah lain, hidup hedonis, perempuan / laki-laki idaman lain, dan permasalahan lain yang mungkin muncul.
Sebenarnya pergi ke Malaysia untuk bekerja bukanlah hal yang salah apalagi jika memang mampu menjadi solusi sebuah permasalahan, tetapi perlu dipikirkan dampak jangka panjang dan perlu adanya komitmen bersama dengan keluarga tentang kepergian tersebut.
Indonesia sering didengung-dengungkan mengalami bonus demografi, tetapi jika kondisi pendidikan tak diperbaiki, orang tua tak hadir dalam mendidik anak, alhasil pemuda tersebut akan kembali melakukan hal yang tidak jauh beda dengan para “senior” mereka dan kondisi bangsa ini pun tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.

Ya! Kuncinya Ada di Pendidikan!
Ketika ditelisik lagi, ternyata kunci pendidikan itu bukan hanya dari pemerintah yang membuat kurikulum yang tepat, bukan hanya juga dari guru yang berada di depan murid, bukan hanya juga dari kepala sekolah yang melakukan pengelolaan sekolah dengan baik. Ternyata kunci pendidikan itu ada pada diri kita semua yang telah mengenyam pendidikan.
Masing-masing kita memiliki komunitas pendidikan terkecil, yaitu keluarga. Jika kita menginginkan pendidikan yang rajin membaca maka kita pun harus rajin membaca dan perlu mulai menerapkannya di dalam lingkup keluarga. Jika kita ingin pendidikan yang anaknya memiliki semangat belajar tinggi maka kita juga harus memiliki semangat belajar tinggi dan perlu mulai menerapkannya di dalam lingkup keluarga. Jika kita ingin pendidikan yang anaknya menjadi berkarakter positif maka kita juga harus belajar berkarakter positif dan mulai menerapkannya di dalam lingkup keluarga. Dengan itulah kita dapat memanfaatkan bonus demografi Indonesia, dengan itulah kita semua dapat mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Ternyata memang benar kata orang bijak bahwa pintu gerbang utama pendidikan itu bernama rumah, dimulai dariku, kamu, dan kita semua.
Kita Semua Dapat Ambil Bagian untuk Memperbaiki Pendidikan Bangsa Ini
Terima kasih pada Bapak dan Ibu karena sudah hadir dalam banyak aktifitasku, hadir dalam membentuk karakterku, hadir dalam banyak keputusan hidupku. Kesabaran dan keteguhan kalian dalam membentukku laksana minum obat dalam kondisi sakit, pahit tapi menyembuhkan.
Ah, memang terlalu banyak hal terdekat kita yang perlu disyukuri, “hanya” perlu memandangnya dari sisi yang lain bahkan mungkin dari tempat yang lain. []
Tulisan dan Foto oleh Muhammad Catur Saifudin
mantap…oemar bakrie!!! Viva ASTACALA!!!