Sehari Menjelajahi Bandung Purba
{nl}
Saat termangu melihat Bandung yang disesaki gedung dan permukiman, tiba-tiba kami teringat cerita kuncen Bandung, almarhum Haryoto Kunto mengenai keberadaan Telaga atau Danau Bandung yang juga disebut Situ Hiang.
[more]
{nl}
Berbekal sedikit jiwa petualang, kita bisa menelusuri peninggalan Bandung Purba dalam satu hari. Dengan buku panduan bertajuk Geowisata: Menjelajahi Bandung Purba – Cihideung, Tagog Apu, Saguling. Sebuah perjalanan singkat bisa kita lakukan, membawa kita kembali ke zaman batu jutaan lampau sekaligus mendatangi lokasi-lokasi yang termuat dalam legenda Sangkuriang.
Ternyata buku petunjuk ini merupakan hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Balitbang Energi dan Sumberdaya Mineral yang berada di bawah naungan Departemen Energi dan Sumber daya Mineral.
Secara sederhana, geowisata bisa dimaknai sebagai usaha memanfaatkan secara maksimal potensi sumberdaya geologi dalam bingkai kegiatankepariwisataan sehingga dapat dinikmati wisatawan.
Upaya sosialisasi geowisata memang diperlukan untuk membantu industri pariwisata dengan menawarkan wisata alternatif berupa kekayaan alam kebumian (geologi) sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar tanpa merusak kelestarian lingkungan.
Seusai membaca buku tersebut, penulis sontak terpikat dengan tawaran petualangan yang cukup menantang. Lagi pula seluruh lokasi geowisata bisa ditelusuri dalam sehari yang berarti penghematan dari segi waktu dan biaya.
Yang lebih menggoda, beberapa lokasi geowisata itu dipercaya masyarakat memiliki kaitan langsung dengan legenda Sangkuriang. Jadi bisa dikatakan, perjalanan ini memadukan kajian ilmiah geologi dengan kisah dongeng cinta terlarang.
Setelah mendapatkan peta perjalanan dan menentukan waktu yang tepat, penulis pun memulai petualangan sehari menjelajahi Bandung Purba. Agar lebih praktis, perjalanan kali ini menggunakan sepeda motor dengan ditemani seorang sahabat.
Waktu keberangkatan sengaja dilakukan lebih pagi. Hal ini untuk menghindari kemacetan yang selalu menyergap Kota Bandung setiap akhir pekan. Di tengah dinginnya udara, motor bebek yang kami tumpangi melaju kencang ke arah utara. Setelah melewati Terminal Ledeng kami berbelok ke kiri menuju Jln. Sersan Badjuri. Tujuan pertama yang hendak dicapai adalah The Peak, sebuah kawasan hunian mewah di kawasan Bandung Utara.
Setiba di lahan parkir sebuah kafe di sana, kita bisa melayangkan pandang ke selatan untuk menyaksikan panorama Bandung Raya seutuhnya. Tampaklah jelas Bandung berada di dalam cekungan lembah yang dikelilingi rangkaian bukit dan pegunungan.
Saat termanggu melihat Bandung yang disesaki gedung dan permukiman, tiba-tiba kami teringat cerita kuncen Bandung, almarhum Haryoto Kunto mengenai keberadaan Telaga atau Danau Bandung yang juga disebut Situ Hiang.
Menurutnya, 6.000 tahun lalu kawasan Bandung adalah sebuah telaga yang terbentuk akibat tersumbatnya aliran Sungai Citarum oleh letusan Gunung Tangkuban Prahu Purba. Lama-kelamaan air telaga itu surut kering dan berubah menjadi daratan.
Di lokasi berketinggian 1.210 m dpl ini, kita bisa menyaksikan dengan jelas morfologi kas daerah Danau Bandung yang dulu terendam air. Sungguh luar biasa, tak terbayangkan betapa luas dan dalamnya danau raksasa itu.
Setengah berseloroh kami membatin, bilakah Bandung kembali ditakdirkan tenggelam dan menjadi telaga? Kami tak berani menebak, namun sepakat jika tatanan alam dihancurkan manusia, bencana alam akan segera menjelma.
* * *
Tujuan selanjutnya Curug Cimahi yang terletak di kawasan Cihideung, yang menghubungkan Bandung, Cimahi dan Lembang. Sepanjang perjalanan terpampang potret alami lereng dan lembah pegunungan yang dihiasi aneka tanaman hias di sisi jalanan.
Tatkala melewati kaki Gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang, kami terkenang kisah Sangkuriang – Dayang Sumbi yang menjadi salah satu cerita legenda termasyhur dari tanah Parahyangan.
Dikisahkan, dengan terpaksa Dayang Sumbi menerima pinangan Sangkuriang, yang tak lain anak kandungnya sendiri, asal syaratnya dibuatkan danau beserta perahu untuk berbulan madu dalam tempo satu malam.
Dengan bantuan jin, Sangkuriang menyanggupinya. Ia segera membendung sungai untuk membuat danau serta menebang pohon untuk membuat perahu. Namun berkat pertolongan dan kuasa Tuhan, segala maksud dan usaha Sangkuriang tak pernah terwujud.
Sebelum fajar penyingsing, Dayang Sumbi memukul-mukulkan alu penumbuk padi sehingga ayam jantan berkokok menandakan datangnya pagi. Sangkuriang sungguh kecewa karena pekerjaannya belum selesai.
Merasa semuanya sia-sia, Sangkuriang melampiaskan kemarahannya dengan menendang perahu buatannya hingga tertelungkup. Kelak, menurut cerita legenda, perahu itu berubah menjadi Gunung Tangkuban Prahu. Sedangkan danau buatannya kemudian dikenal sebagai Danau Bandung. Sisa pohon yang berupa tunggul kayu diberi nama Bukit Tunggul dan tumpukan ranting pohonnya berubah menjadi Gunung Burangrang.
Setelah menempuh sekitar 20 menit perjalanan, tibalah di pintu gerbang Curug Cimahi. Untuk mencapai pusat air terjun dan aliran sungainya, kita mesti menuruni ratusan anak tangga yang dikelilingi rimbunan pepohonan. Sesampainya di dasar lembah yang teduh dan sejuk, kita langsung disambut gemuruh air yang meluncur deras dari puncak tebing. Mata pun seolah tak pernah bosan memandangi air terjun yang berketinggian 97 m ini.
Hal lain yang mencuri perhatian ialah keberadaan tebing-tebing yang berdiri kokoh di sekitar air terjun. Ternyata, berbagai macam batuan yang menyusun tebing itu berasal dari lelehan lava letusan gunung berapi Sunda dan Tangkuban Perahu Purba.
Setiap akhir pekan, objek wisata ini cukup ramai dikunjungi wisatawan lokal. Rombongan keluarga biasanya berdatangan untuk “botram”, sedangkan pasangan muda-mudi lebih suka menikmati suasana yang romantis.
Sebenarnya, kami merasa betah dan ingin berlama-lama di tempat ini. Tapi lokasi geowista lainnya telah menunggu. Kami terpaksa beringsrut dan meniti anak tangga yang menanjak. Keringat bercucuran, napfas pun agak tersengal.
* * *
Tengah hari segera menjelang. Terik matahari makin terasa menyengat. Kami meluncur meninggalkan Curug Cimahi, menuju Tagog Apu-Padalarang yang didominasi perbukitan kapur yang tandus. Memasuki persimpangan pintu tol Padalarang, perjalanan agak tersendat oleh kesemrawutan lalu lintas yang bagaikan benang kusut yang sulit terurai. Motor kami harus bergerak lincah di antara impitan kendaraan lainnya.
Selepas Situ Ciburuy, perjalanan baru benar-benar lancar. Bukit-bukit kapur mulai terlihat jelas. Warung penjual kerajinan tangan, peuyeum gantung, serta galeri batuan marmer berjejeran di pinggir jalan.
Lokasi yang harus kami temukan adalah Gunung Pabeasan. Namun hal itu tak mudah dilakukan. Keterbatasan informasi menyebabkan kami sulit menemukan jalan masuk yang terselip di antara pabrik-pabrik batu kapur dan marmer. Mungkin karena salah jalan kami tak bisa mencapai kaki bukit apalagi mendakinya. Kami hanya bisa memotretnya dari kejauhan. Bukit kapur yang berdiri megah itu menyimpan misteri dan sejarah panjang geologis.
Dalam sebuah bukunya, Haryoto Kunto, pernah mengutip temuan Dr. HRP Koesoemadinata yang memaparkan pada Zaman Miosen, sekitar 15 sampai 20 juta tahun lalu, wilayah Bandung bahkan Pulau Jawa berada di bawah permukaan laut.
Masih menurut Koesoemadinata, hal ini dibuktikan dengan temuan fosil di perbukitan batu kapur sebelah barat Padalarang, berupa terumbu binatang koral, binatang bersel satu (foraminifera), dan ganggang laut.
Boleh saja Anda berkerut kening dan tak memercayainya. Namun secara ilmiah hal itu telah dibuktikan penelitian para pakar ilmu kebumian yang berusaha mengetahui sejarah pembentukan bumi lewat kesaksian batu-batu.
Kawasan bukti kapur di Tagog Apu memang tak subur, namun tetap memberikan berkah tersendiri. Batuan gamping yang termasuk formasi Rajamandala ini dimanfaatkan sebagai bahan tambang oleh industri dan masyarakat.
Berdasarkan sejarah kejadiannya, kawasan ini terbagi dalam reef crest, back reef, dan front reef. Di daerah reef crest biasanya batuannya padat dan kerangka koralnya padat sehingga sesuai bagi industri marmer yang membuat tegel lantai.
Sedangkan daerah front reef ataupun back reef umumnya mempunyai batuan berlapis dan retak-retak. Kondisi ini disukai penambang batu tradisional karena relatif lebih mudah dihancurkan sebagai bahan kapur tohor. Setelah terkumpul dalam jumlah banyak kapur tohor itu kemudian dibakar dalam tungku raksasa. Setelah berubah menjadi pasir tohor barulah bisa diolah sebagai bahan dasar cat, pembersih air, obat, mi, pupuk tanaman, dll.
Setelah puas mengintip aktivitas pabrik-pabrik batu kapur dan para penambang yang perkasa, kami pun meneruskan perjalanan. Selama melewati kawasan perbukitan ini kita menjumpai kekhasan daerah pertambangan. Kekhasan yang dimaksud adalah truk-truk tua yang membawa batu-batu sebesar gajah dari perbukitan menuju pabrik. Truk-truk yang merayap perlahan itu kerap membikin cemas kendaraan di belakangnya yang takut kejatuhan batu.
Saking asyiknya berkendara di jalanan yang penuh tikungan, lokasi geowisata selanjutnya yaitu Gua Pawon terlewati cukup jauh. Dengan terpaksa kami harus memutar haluan kembali.
Namun Gua Pawon cukup santer terdengar belakangan ini. Para pakar sejarah, antropolog, geologi, sosiologi, dll. bekerja sama untuk membiarkan dan meneliti keberadaan gua yang diperkirakan berumur jutaan tahun itu.
Maklum, di Gua Pawon ini ditemukan beberapa artefak, tulang binatang, cangkang siput, pecahan buah kenari, pecahan keramik, dan lain-lain berdasarkan bukti-bukti itu gua ini kemungkinan pernah menjadi tempat hunian manusia purba.
Di mata orang awam seperti kami, Gua Pawon memiliki karaktetistik yang unik. Gua yang terletak di lerang bukit ini memiliki pintu masuknya yang besar. Di dalamnya terdapat beberapa ruag bertingkat yang cukup lapang dan lembab.
* * *
Sepengetahuan kami, dahulu gua ini sering dipergunakan sebagai tempat persinggahan para pecinta alam yang sedang berpetualang. Terkadang gua ini pun dijadikan ajang latihan naik atau turun tebing dengan bantuan tali. Yang cukup mengganggu ialah bau tum-pukan kotoran ribuan kelelawar yang menjadikan Gua Pawon sebagai sarangnya. Namun masyarakat sekitarnya sering memanfaatkan kotoran itu sebagai pupuk tanaman.
Setelah beristirahat sejenak sambil menikmati tiupan angin yang sepoi-sepoi, kami segera meneruskan perjalanan. Tak terasa matahari telah condong ke arah barat. Gumpalan awan menghadirkan mendung di angkasa.
Motor kami pacu dengan cukup kencang. Tinggal dua lokasi geowista yang belum kami kunjungi, yaitu Sanghiang Tikoro dan Bandung Saguling. Di dalam hati kami terus berdoa agar Tuhan menunda turunnya hujan.
Setelah menemukan tulisan PLTA Saguling yang terpampang di pertigaan Rajamandala, kami berbelok kiri. Jalanan yang menuju pusat bendungan telah sepi. Sepanjang perjalanan kami hanya berpapasan dengan beberapa kendaraan.
Motor bebek yang kami tumpangi kepayahan melahap tanjakan. Namun kami sedikit terhibur dengan keindahan pemandangan alam yang didominasi hutan, perkebunan, lereng dan lembah perbukitan.
Lega rasanya setelah berhasil mencapai pusat bendungan Saguling. Kekaguman menyeruak, tatkala melihat kemegahan berbagai bangunan dan fasilitas pembangkit listrik yang kini dikelola PT Indonesia Power ini.
PLTA Saguling yang terletak di hulu Sungai Citarum merupakan satu dari tiga PLTA yang berada di daerah aliran Sungai Citarum. Dua lainnya adalah Bendungan Cirata dan Bandung Jatiluhur.
PLTA yang berjarak sekitar 30 km sebesar barat Bandung ini atau 100 km arah tenggara Jakarta ini mulai dibangun Agustus 1981. Luas areal waduknya yang mencapai 6.176 ha telah menenggelamkan 31 desa di Kab. Bandung.
Namun pengorbanan masyarakat yang terpaksa berimigrasi bedol desa tidaklah sia-sia. Setelah diresmikan 24 Juli 1986 oleh Presiden Soeharto, PLTA Saguling mampu membangkitkan daya listrik700 MW dan energi listri rata-rata 2.156 juta Kwh per tahun.
Sayangnya, PLTA Saguling kini sepi kunjungan wisatawan. Padahal di akhir tahun 80-an dan awal 90-an, kawasan ini masih dikenal sebagai objek wsata cukup yang diminati wisatawan, terutama rombongan keluarga.
Sampai saat ini, penulis masih menyimpan foto masa kecil bersama keluarga dengan latar belakang pintu air Bendungan Saguling yang mengalir deras seperti air terjun. Namun kini hal itu sulit terwujud karena minimnya debit air.
Sambil menghabiskan waktu, kami sempat berkeliling melihat-lihat fasilitas yang dimiliki PLTA Saguling. Di antaranya, waduk dan pintu air, tangki pendatar, pipa raksasa, turbin generator dan transformator utama.
Mendekati petang, kami mendatangi lokasi geowisata terakhir yaitu Sanghyang Tikoro yang letaknya berdekatan dengan Saguling. Lokasinya memang tersembunyi sehingga kerapkali luput dari perhatian wisatawan.
Penulis sempat kesulitan menemukan Sanghyang Tikoro. Setelah bertanya pada petugas saatpam di kantor Pusat Listrik Tenaga Air Saguling, barulah kami menemukan lokasinya yang berada di belakang kantor tersebut.
Nama Sanghyang Tikoro sering dihubungkan dengan legenda Sangkuriang, khususnya berkaitan dengan Danau Bandung. Istilah Sanghyang berarti Dewa, sedangkan Tikoro adalah tenggorokan, sehingga keseluruhan berarti tenggorokan dewa.
Dalam legenda diceritakan pula suatu saat jikalau lubang Sanghiang Tikoro tersumat oleh sebatang lidi saja, kawasan Bandung Raya akan kembali tergenang air seperti dalam legenda Sangkuriang.
Sebenarnya Sanghyang Tikoro adalah sebuah gua berbahan dasar batugamping yang bagian bawahnya dilalui aliran air Sungai Citarum yang deras. Panjang gua bawah tanah itu 162 m dengan kedalaman sekitar 1,5 di musim kemarau.
Tak jauh dari Sanghyang Tikoro, ke arah hilir aliran Sungai Citarum, terdapat lokasi yang sering digunakan olah raga arum jeram. Lokasi ini sangat cocok sebagai ajang lathan bagi pemula karena arus air dan jeramnya tidak terlalu berbahaya.
Akhirnya selesai sudah perjalanan sehari menjelajahi Bandung Purba. Tuntas sudah segala keingintahuan kami.
Penulis : Dicky Risyana
Sumber : Open Subscriber