Mereka yang Terpaksa Hidup di Tengah Ancaman
Siang yang panas awal Agustus 2006 di tepi Sungai Karang Mumus yang membelah Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Anak-anak berlarian di deretan beranda rumah kayu yang berimpitan. Di bagian belakang yang menghadap sungai tampak deretan jamban dan tempat mandi terbuka.
Pada siang yang panas itu warga mandi. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, jongkok berjejer di tempat mandi dan jamban. Mereka mengguyur tubuh dengan air sungai yang coklat keruh kehitaman. Di antara mereka, seorang perempuan tua memetik kangkung untuk lauk makan siang itu.
Saat musim kemarau, permukaan air Karang Mumus, anak Sungai Mahakam, itu surut. Airnya yang coklat keruh kehitaman berbau karena sungai itu menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga, limbah domestik, bahkan aliran air dari pasar-pasar yang berada di tepi sungai.
Meskipun demikian, perubahan musim itu tak membuat perilaku dan kebiasaan penduduk yang tinggal di sepanjang aliran sungai juga berubah. Mereka tetap menggunakan air sungai untuk mandi, menggosok gigi, mencuci pakaian dan makanan.
Gatalkah? “Tidak, karena airnya tidak hitam. Kalau sudah hitam dan baunya busuk, kami tidak akan mandi dengan air sungai,” ujar seorang pemuda. Sambil bersiul-siul dia terus mengguyur tubuhnya meski permukaan sungai meruapkan aroma tak sedap.
“Kami tetap pakai air sungai karena bisa dijernihkan dengan obat,” ujar Erlisa, perempuan yang telah tujuh tahun tinggal di tepi Karang Mumus.
Bubuk penjernih (kaporit) dibeli dari pedagang keliling. Bubuk itu mengendapkan lumpur sehingga air terlihat jernih. Warga pun merasa tenang menggunakan air untuk berbagai keperluan sehari-hari.
Dipakai untuk minum? “Tidak Mas. Kalau air minum, kami gunakan air PDAM Samarinda yang dibeli Rp 3.000 per drum,” ujar Erlisa. Satu drum berisi 200 liter air bersih dari PDAM cukup untuk minum dan memasak selama lima hari. Untuk kebutuhan air bersih, warga mengeluarkan uang Rp 18.000 hingga Rp 45.000 setiap bulan.
Sesungguhnya, mereka tahu air Sungai Karang Mumus sudah tercemar limbah rumah tangga. Pemerintah Kota Samarinda juga telah meminta warganya tidak menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci.
Arsip berita di koran-koran tentang Karang Mumus nyaris selalu bercerita tentang pencemaran sungai, kemiskinan warga, dan ancaman banjir saat musim hujan. Sekitar 241.000 orang dari 590.000 jiwa penduduk kota yang hidup di daerah aliran sungai (DAS) itu ibarat hidup di tengah ancaman penyakit dan bencana alam.
Saat musim kemarau ini permukaan air sungai surut karena berkurangnya pasokan air dari sumbernya di hulu. Itu merupakan petunjuk telah terjadi gangguan pada ekosistem di daerah hulu.
Pusat Penelitian Sumber Daya Air Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman menyebutkan, luas hutan yang tersisa kini cuma 260 hektar atau 0,8 persen dari luas DAS Karang Mumus yang 32.400 hektar.
Penebangan hutan yang berlangsung puluhan tahun berkontribusi besar terhadap kerusakan hutan atau kawasan bervegetasi di DAS yang panjangnya 34 kilometer itu. Idealnya, luas kawasan hutan DAS untuk menunjang tata air sekitar 30 persen atau 9.720 hektar.
Ketika ekosistem DAS terganggu, air hujan tidak terserap tanah dan mengalir berlimpah ke sungai sehingga kadang membanjiri daerah sekitarnya. Lagi pula, saluran bawah tanah atau drainase Kota Samarinda yang bermuara di Karang Mumus dangkal akibat endapan lumpur yang jarang dikeruk.
Karang Mumus bermuara ke Sungai Mahakam yang permukaan airnya dipengaruhi pasang surut air laut. Ketika pasang naik, air Karang Mumus tidak mengalir ke muara karena terhalang oleh air Sungai Mahakam. Jika itu terjadi, air pun meluap dan membanjiri permukiman di sekitar sungai.
Ketika banjir datang, rumah penduduk warga digenangi air dan merusak peralatan dan harta benda yang ada di dalamnya. Pada tahun 1998 tercatat 30 persen dari 718 kilometer persegi luas Kota Samarinda kebanjiran akibat luberan air Karang Mumus dan jebolnya tanggul Waduk Benanga di kawasan utara kota.
Waduk Benanga berada di hulu Karang Mumus. Saat bencana itu terjadi, empat warga tewas dan ribuan orang diungsikan.
Ancaman yang muncul dari Karang Mumus bukan hanya banjir. Hampir setiap tahun, terutama pada musim kemarau, kondisi lingkungan sungai itu berada pada titik kritis. Tidak sedikit korban jatuh akibat berjangkitnya wabah muntaber, penyakit kulit, dan penyakit lainnya akibat buruknya kualitas air yang mereka gunakan.
Surutnya air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan sudah menjadi ritme keseharian Erlisa dan warga lainnya. Sulit dan mahalnya lahan untuk tempat tinggal memaksa mereka bertahan tinggal di tepi sungai. Banyak di antara warga di aliran Karang Mumus adalah karyawan perusahaan swasta, pegawai negeri, atau buruh pasar.
Pemerintah Kota Samarinda berencana merelokasi semua warga di bantaran Karang Mumus, tetapi baru sebagian yang terealisasi. Hasilnya, bantaran di antara Jalan Pangeran Suryansyah?Jalan M Salim dan Jalan Tongkol?Jalan Pesut bebas dari permukiman penduduk.
“Kami pernah diberi tahu akan dipindahkan, tetapi sampai sekarang belum ada realisasi,” ujar Erlisa. Ia tak keberatan dipindahkan ke tempat lain, dengan harapan mendapat tempat tinggal yang lebih layak ketimbang rumah kayunya di tepi sungai. []
Penulis : Ambrosius Harto
Sumber : Kompas Online, Edisi 14 Agustus 2006