Menyisir Punggungan Demi Punggungan Tanpa Beban Berarti

Related Articles

Tanggal 27 Juli 2022, angkatan Jemari Bumantara berangkat ke kawasan Cagar Alam Gunung Simpang. Terdapat 20 personil yang berangkat, dengan Anggota Muda (AM) sebanyak tujuh orang, yaitu aku, Bokerti (AM-023-JB), Mak Gayung (AM-19-JB), Gie (AM-020-JB), Icip (AM-002-JB) yang surprisingly bisa ikut operasional dengan jadwalnya yang padat, Mick Jagger (AM-023-JB), dan Damot (AM-004-JB). Kami akan menetap disana selama lima hari empat malam. Konsep dari kegiatan ini adalah menganalisis keberadaan macan tutul di kawasan cagar alam dengan mengobservasi adanya jejak, cakaran, dan feses macan tutul, maupun rantai makanannya seperti musang, luwak, babi hutan, unggas, tikus, dan trenggiling.

Perjalanan dimulai dari sekretariat sekitar pukul 05.30 WIB menggunakan truk TNI. Tujuan kami adalah Kampung Cilondok, kampung yang paling dekat dengan pintu rimba Cagar Alam Gunung Simpang. Perjalanan kami pagi itu menyenangkan. Kami melewati jalan tol dan keluar di pintu gerbang Tol Soreang. Kemudian melewati kelak-kelok Ciwidey, diiringi dengan semburat cahaya mentari pagi. Tak sampai dua jam perjalanan, kondisi kami di dalam truk sudah kacau. Jalanan mulai jelek dan truk berguncang-guncang. Semakin dekat dengan Kampung Cilondok, jalan semakin berbatu. Badan kami terlempar-lempar dan berbenturan dengan kursi kayu yang ada di dalamnya. Perjalanan chaos itu dipenuhi gelak tawa dan obrolan lucu, membicarakan betapa menantangnya medan yang kami lewati. Kulihat Kak Fel, Bang Adam, dan Bang Husin masih bisa tertidur, mereka duduk di atas tumpukan carrier. Itu menjadi pengalaman yang unik untukku.

Suasana sebelum melewati jalan bebatuan
Suasana saat melewati jalan bebatuan

Di lapangan, kami dibagi menjadi dua tim. Ada tim desa, yang akan melakukan sosiologi pedesaan dan akan menetap di kampung, kemudian tim hutan yang akan observasi langsung di lapangan. Anggota tim desa terdiri dari Mick Jagger, Damot, Kak Fel, Bang Yayat, Bang Della, Bang Jokowi, Bang Gian, dan Bang Tablo, sisanya menjadi tim hutan.

Di hari pertama, target kami adalah menuju titik camp 1. Sesampainya kami di Kampung Cilondok sekitar pukul 10.00 WIB, kami ramah tamah dengan Pak Jono (abah yang akan menampung kami selama berkegiatan di sana), Teh Dewi (salah satu pemilik warung di sana) yang sudah pernah kutemui saat survei, dan warga lain disana. Kami beristirahat sembari menunggu polisi hutan yang menyertai kami di kegiatan ini, Pak Madni dan Pak Mumu. Setelah kami makan siang dan semua personil sudah lengkap, tim hutan pun berangkat memasuki rimba.

Seluruh personil tim hutan berswafoto sebelum memasuki pintu rimba
Tim hutan memasuki pintu rimba

Bukti pertama dari keberadaan satwa yang kami temui di perjalanan adalah feses luwak. Sebelumnya kami tebak-tebakan dulu dengan Kang Kuy (penggiat macan tutul yang mendampingi kami), kira-kira feses hewan apa yang kami temukan. Pada akhirnya kami dijelaskan mengenai bentukan dan karakteristik feses luwak tersebut. Bentuk fesesnya seperti tumpukan bebijian karena luwak juga memakan bebijian. Tak jauh dari titik itu, kami kembali menemukan feses luwak. Dan untuk beberapa hari ke depan pun, kami banyak menemukan feses luwak. Secara, luwak adalah salah satu rantai makanan macan tutul (mangsanya), maka kami tidak boleh melewatkan data tersebut. Di tengah perjalanan juga, kami menemukan banyak cakaran di tanah dan jejak macan tutul. Kami melewati jalan setapak yang berlumpur, jadi beberapa jejak tercetak dengan jelas di tanah. Macan tutul ternyata melewati jalan setapak yang juga dilewati manusia untuk sekadar melintas. Ia cenderung mencari jalan yang mudah dilewati, sama seperti manusia. Namun, ketika mencari mangsa, puncakan adalah tempat yang disenanginya. Untuk mencapai puncakan pun, mereka mencari punggungan yang mudah untuk dilewati. Beberapa jejak yang cukup dalam kami temui terbentuk di tanah dan akan bagus bila di cetak, sayangnya kami teralihkan. Tidak terbesit di pikiran kami untuk mencetak jejak menggunakan gypsum. Kami hanya fokus mencatat data dan hendak cepat-cepat sampai di titik camp 1, karena agenda di hari itu memang hanya fokus untuk sampai di titik camp 1 mengingat kami hanya punya waktu sedikit sebelum hari mulai gelap.

Pak Madni dan Pak Mumu menjadi penunjuk jalan kami ke titik camp 1. Gerimis turun ketika kami tiba di camp 1 sehingga flysheet langsung dipasang. Aktivitas camp hari itu berjalan santai. Malamnya kami melakukan evaluasi dan briefing di depan api unggun. Diskusi kami dalam briefing agak alot karena harus menentukan skenario terbaik untuk esok hari agar observasi berjalan efektif dan efisien. Kami membuka peta dan berdiskusi, berusaha menentukan jadwal seefektif mungkin. Yang menjadi pertimbangan terpenting adalah area penyisiran, titik kemah, dan tenaga. Apakah kami sebaiknya observasi sambil berpindah camp? Kami rasa observasi seperti itu tidak akan optimal seperti pada saat perjalanan menuju camp 1. Kami diharuskan observasi sambil membawa carrier yang lumayan berat. Bagiku, itu tidak efisien. Atau apakah kami sebaiknya menetap di camp 1 saja? Sehingga ketika observasi selesai kami harus menghabiskan tenaga dan waktu untuk kembali ke camp? Setelah beberapa pertimbangan, hasil diskusi kami saat itu adalah besok kami akan fokus pindah titik kemah terlebih dahulu di pagi hari sembari mengobservasi secara sekilas, kemudian sesampainya di camp 2 kami akan dipecah menjadi 2 tim untuk menyisir punggungan yang berbeda. Setelah observasi selesai, kedua tim akan kembali ke camp 2. Skenario seperti ini memungkinkan kami dapat menyisir lebih banyak wilayah. Aktivitas camp nantinya diserahkan kepada penanggung jawab camp, sehingga tim penyisir dapat fokus melakukan observasi. Selesai menentukan Tim A dan Tim B untuk observasi dan skema untuk esok hari, kami pun menutup hari itu dengan beristirahat.

Keesokan harinya, aktivitas berjalan sesuai dengan hasil briefing semalam. Kami start dari camp 1 sekitar pukul 08.00 WIB. Baru saja berjalan beberapa meter dari titik camp, Bang Andre menemukan jejak macan yang lumayan terlihat jelas. Selama perjalanan, kami menemukan banyak cakaran macan tutul di tanah. Awalnya kukira cakaran di tanah sama dengan cakaran di pohon. Ternyata sangat berbeda. Ciri-ciri cakaran di tanah adalah tanah bekas cakaran lebih bersih dibanding sekitarnya dan kalau itu cakaran macan, ada daun-daun yang menumpuk di satu sudut.  Ada dua tujuan macan tutul membuat cakaran di tanah, antara menandai teritorinya atau tempat dia buang air. Kami sampai di camp 2 sekitar pukul 11.00 WIB. Sebenarnya, di tempat itu sudah ada bangunan kecil bertingkat 2 yang sepertinya dipakai sebagai pos jaga. Pak Madni dan Pak Mumu menawarkan kami untuk membangun camp di bangunan tersebut. Kami sepakat. Akhirnya bangunan tersebut kami gunakan untuk bermalam selama dua hari ke depan.

Setelah beristirahat sejenak, kami melakukan packing barang-barang yang akan dibawa selama observasi. Aku menjadi tim A bersama dengan Icip dan Mak Gayung. Pendamping yang menemani tim A adalah dua bestie ini Bang Andre dan Bang Cules, ditambah dengan Pak Mumu. Punggungan yang kami lewati landai. Penemuan pertama kami adalah cakaran di pohon puspa. Posisi pohon tersebut berada di punggungan sempit dengan kanan dan kiri lembahan. Beberapa meter dari pohon tersebut, terdapat feses luwak yang sudah cukup kering. Menurutku, menarik bahwa ada feses luwak di dekat cakaran macan tutul. Kamu bisa membayangkan skenario si macan tutul ini memangsa luwak saat sedang membuang kotorannya. Selama perjalanan, kami juga menemukan beberapa cakaran di tanah. Ketika melewati pertigaan jalur, kami kembali menemukan cakaran di pohon puspa. Kata Kang Kuy, yang saat itu sedang mendampingi tim B, kalau sedang ada di pertigaan jalur, coba cek pohon-pohon disekitarnya karena ada kemungkinan terdapat cakaran macan. Katanya, macan tutul senang menandai teritorinya di pertigaan jalur. Setelah itu, kami kembali menemukan feses luwak. Tak jauh dari posisi feses itu, terdapat tempat landai yang cukup nyaman, jadi kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kami terus menyusuri punggungan sampai hari mulai gelap.

Sekitar pukul 19.00 WIB, kami memutuskan untuk kembali ke camp 2 sembari observasi malam. Di perjalanan kembali ke camp, kami sempatkan sebentar untuk mengheningkan cipta wkwk. Kami mencari posisi yang pas untuk beristirahat, kemudian mematikan headlamp untuk menikmati keindahan bintang-bintang yang bertebaran di langit, pemandangan yang tidak bisa kamu dapatkan di riuhnya perkotaan. Kebetulan, posisiku sangat enak untuk tiduran, jadi aku bisa melihat keindahan langit malam itu dengan nyaman. Sunyi. Tidak ada perbincangan. Kami semua fokus menikmati kelap kelip bintang yang bertaburan. Pemandangan ini terakhir kudapatkan saat Gunung Hutan di Puncak Masigit seminggu yang lalu, itu pun aku hanya bisa melihat samar-samar dari dalam bivak alam. Kami tiba di camp terlebih dahulu sebelum Tim B. Sambil menunggu, kami membuat minuman hangat, kemudian dilanjutkan dengan makan malam setelah kedatangan tim lainnya. Dalam evaluasi dan briefing malam itu, kedua tim memaparkan hasil temuannya selama observasi. Kami berdiskusi bersama mengenai hasil-hasil temuan yang menarik, seperti Tim B yang melihat musang ketika observasi malam. Hari itu pun berakhir, tetapi aku sulit tertidur. Aku memejamkan mata, tetapi tidak bisa tertidur sampai pukul 01.30 WIB. Sebenarnya saat itu juga aku merasa lapar, jadi aku bangun dan menuju shelter logistik untuk mengambil sebungkus madu dan botol tumbler Bang Timi yang masih terisi penuh dengan air matang dari sekre. Ternyata, sebungkus madu dan beberapa teguk air matang lumayan mengganjal perut untuk akhirnya aku bisa tertidur.

Hari ke-3 di hutan. Agenda kami di hari itu masih berfokus pada observasi. Tim A dan Tim B briefing jalur terlebih dahulu sebelum melakukan observasi. Pendamping tim ditukar. Jadi, saat itu tim A didampingi oleh Kang Kuy, Kang Yoga (sobat Kang Kuy), Bang Timi, Pak Mumu, dan Abah Sendar. Kami berangkat menyisir punggunan sekitar pukul 09.40 WIB. Banyak sekali yang kami temukan di hari itu, bukan hanya cakaran dan feses, tetapi juga insight-insight baru dari Kang Kuy. Penemuan pertama kami di kawasan punggungan adalah bekas gesekan babi hutan di pohon. Aku baru melihat yang seperti itu. Kulit pohon bagian bawah tersapu bersih oleh babi hutan. Maksudku, si babi hutan ini ternyata cukup barbar sampai kulit pohon pun bersih terkelupas. Tak jauh dari pohon tersebut ada bekas babi hutan mencari makan (nyacing). Bentukannya adalah lubang yang dangkal, anggaplah seperti kubangan. Si babi ini menggali tanah ke segala arah, jadi di sekitar lubang itu akan ada tanah-tanah bekas galian yang tidak merata. Tak jauh dari sana pun, ada cakaran unggas di tanah. Cakaran ini adalah bekas unggas membuang kotoran, menggesekkan badannya, atau bekas ia mencari makan. Ukuran cakaran tanah unggas lebih kecil dari cakaran macan. Berbeda juga dengan cakaran macan, daun-daun bekas si unggas membuat cakaran berserakan di sekelilingnya, sementara cakaran macan lebih rapi karena hanya terkumpul di satu sudut.

Di perjalanan, kami juga menemukan feses musang. Feses ini bentuknya berbeda dari feses luwak kemarin. Isinya sama-sama bebijian, namun biji dalam feses musang lebih besar. Bentukan bijinya seperti buah pinang, tetapi ukurannya lebih kecil dan sangat keras. Aku penasaran karena fesesnya tidak lembek dan hanya seperti kumpulan bebijian. Akhirnya kupegang dan kucoba cium bau fesesnya. Baunya malah seperti kue dan tidak mengganggu. Kuminta Icip untuk ikut mencium bau fesesnya dan dia setuju bahwa baunya enak dan tidak mengganggu. Lanjut lagi, di perjalanan, kami mencicipi batang pisang dan intinya. Entah siapa yang mengambil batang pisang dengan ukuran batangnya yang lumayan tebal tersebut, tapi sepertinya itu ulah Pak Mumu. Rasanya seperti bengkuang tetapi lebih lembut dan semakin lezat jika dicocol sambal. Perjalanan berlanjut, Kang Kuy melipir membuka jalur menuju tempat terbuka. Terdapat pohon tumbang yang cukup besar di sana. Aku mengikutinya dari belakang. Katanya, pohon tumbang itu masih baru dan tempat itu berpeluang besar menjadi tempat transit bagi macan ketika sedang melakukan jelajah, sekaligus tempat untuk berjemur. Macan tutul suka dengan tempat terbuka seperti yang sedang kami tapaki saat itu untuk berjemur di bawah matahari. Tak jauh dari lokasi pohon tumbang, kami menemukan cakaran di pohon puspa di pinggir jalur di punggungan landai. Yang menarik adalah di depan pohon puspa tersebut ada pohon rasamala yang jaraknya lebih dekat ke jalur, tetapi si macan lebih memilih mencakar di pohon puspa karena pohon rasamala kulit kayunya lebih mudah mengelupas dan tidak kokoh seperti pohon puspa.

Selama observasi beberapa hari ini, aku masih sulit membedakan cakaran dengan rekahan alami di pohon. Walaupun jika dibandingkan secara langsung, memang terlihat jelas perbedaan antara cakaran dan rekahan. Cakaran memiliki kedalaman yang lebih daripada rekahan. Selain itu, ujung rekahan berakhir membentuk sudut, sedangkan cakaran tidak. Setelah mengambil data, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami juga menemukan beberapa lubang trenggiling yang dekat dengan sarang semut. Ada lubang yang terletak di bagian bawah pohon, seperti di film-film hewan yang menjadikan bagian bawah pohon sebagai sarang/tempat persembunyian. Ada juga lubang yang ia buat di tanah, seperti lubang trenggiling yang kami temukan di sebelah lubang semut. Banyak juga lubang-lubang tikus yang kami temukan. Bentukan lubangnya kecil, beberapa kali aku mencoba mengukur secara kasaran dengan memasukkan kayu ke dalam lubang tersebut. Rata-rata ukuran lubangnya berkisar antara 15-25 cm. Selain itu, lubang tikus juga ternyata bisa berbentuk bulat rapi, saking rapinya, tampak seperti lubang buatan manusia. Kami juga menemukan istana wkwk. Ada sarang semut yang tingginya hampir sepinggang manusia.

Hari sudah mulai gelap. Kami mulai menyalakan headlamp dan bersiap untuk observasi malam sembari menuju kembali ke camp. Ada beberapa hal yang sangat menarik ketika kami kembali ke camp. Kami melihat musang sebanyak dua kali dan jaralang (masih sejenis musang). Musang yang pertama hanya dilihat oleh Kang Kuy dan Pak Mumu karena ia langsung kabur ketika disorot lampu tembak. Katanya, ukuran musang tersebut sangat besar. Tak lama setelah musang tersebut kabur, kami mendengarnya bersuara di tengah kesunyian hutan. Suaranya hampir sama seperti kucing. Kata Kang Kuy, musang akan sering bersuara di saat musim kawin. Musang yang kedua berdiam cukup lama di sebuah cabang pohon sehingga kami semua mendapat kesempatan untuk melihatnya. Matanya memantulkan cahaya ketika disorot dengan lampu tembak. Headlamp kami semua dalam keadaan mati sehingga musang ini tidak merasa terancam dan betah berdiam di cabang pohon yang sedang ia tapaki. Ia berjalan mondar mandir di antara dahan dan ranting. Beberapa menit telah berlalu dan selama itu kami terus memperhatikan gerak-gerik musang tersebut. Tak lama kemudian, ia berlalu menuju pohon yang lain. Setelah meninggalkan musang, di tengah jalan kami kembali berhenti untuk memberi kabar lewat handy talkie. Sembari menunggu Icip memberi laporan kabar dan posisi koordinat kami kepada tim lain, aku membuka obrolan dengan Kang Kuy. Aku bertanya tentang owa jawa, apakah ia pernah terlibat dalam observasi owa jawa. Aku teringat obrolan tentang owa jawa bersama Bang Bolenk di sekre. Katanya, ia pernah melihat owa jawa di Kampung Cimonyong dan menurutnya owa jawa adalah primata yang sangat lucu. Yang paling kuingat dalam obrolanku dengan Kang Kuy adalah hewan primata khususnya monyet ekor panjang (macaca) yang biasanya memakan buah kondang. Nah.., hewan terakhir yang kami temui dalam observasi hari ini  adalah jaralang. Kebetulan, ia sedang berdiam di cabang pohon kondang yang jaraknya sangat dekat dengan kami, mungkin sekitar 10 m di atas kami. Ekornya yang kemerahan terlihat menjulang ke bawah. Setelah semua pertunjukan itu, kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju camp.

Kali ini, Tim B sampai lebih dulu dari kami, tetapi pendamping mereka (Bang Andre dan Bang Cules) masih asik mengejar rasa penasaran mereka. Di punggungan yang mereka sisir, terdapat banyak jejak macan. Mereka membawa pulang banyak gypsum hasil mencetak jejak yang mereka temukan. Total terdapat empat gypsum jejak yang mereka cetak. Mereka juga menemukan feses macan di sana. Sepertinya, observasi mereka hari itu diwarnai kegirangan. Seperti biasa, kami makan malam bersama, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi dan briefing. Briefing malam itu kembali alot. Kami merasa bahwa kami sebaiknya pindah lokasi karena wilayah itu sudah cukup terjangkau dari observasi kami selama dua hari. Pak Madni memberi kami saran antara pindah ke daerah Gunung Kuda yang harus ditempuh dengan motor selama 30 menit atau ke daerah Patok Besi, wilayah peralihan antara Cagar Alam Gunung Simpang dan Cagar Alam Gunung Tilu yang katanya merupakan jalur keluar masuk satwa di sana. Pilihan kami jatuh ke daerah Patok Besi.  Baik ke Gunung Kuda maupun Patok Besi, kami tetap harus kembali ke Kampung Cilondok terlebih dahulu. Ada beberapa alasan kami menghindari Gunung Kuda. Yang pertama, kami akan membutuhkan banyak motor untuk sampai di sana sehingga otomatis membutuhkan biaya tambahan. Yang kedua, wilayah Gunung Kuda sudah sempat dimasuki oleh tim survei, jadi kami sudah punya bayangan seperti apa wilayah yang akan kami sisir nanti, sementara kami tidak punya gambaran untuk wilayah Patok Besi sehingga pastinya akan lebih menarik jika tempat itu ditelusuri. Lokasi sudah ditentukan. Esok hari, kami harus kembali ke Kampung Cilondok untuk mengakses pintu rimba menuju Patok Besi, sekaligus mengisi kembali logistik kami yang sudah sangat menipis. Malamnya, kami berusaha berkabar dengan tim desa karena kami manuver total dari ROP yang telah kami buat. Sinyal di camp kami masih kuat untuk berkabar melalui Whatsapp, tetapi apa daya, sinyal di Kampung Cilondok sangat lemah sehingga kabar kami tidak sampai ke tim desa.

Keesokan harinya, tim desa terkejut melihat kami keluar dari pintu rimba. Berangkat dari camp pada pukul 07.00 WIB dan sampai di Kampung Cilondok sekitar pukul 10.00 WIB. Sesampainya kami di Kampung Cilondok, aku mengajak Icip membeli minuman dingin di warung Ibu Trail (sebut saja ibu trail karena ada banner motor trail di depan warungnya). Tak lama kemudian, orang-orang juga ikut jajan di sana, kami berkumpul sambil mengenyam jajanan. Setelah bersantai sejenak, kami langsung menyiapkan makan siang dan membeli logistik yang kami butuhkan untuk di Patok Besi nanti. Perjalanan kami tinggal semalam lagi. Setelah kami makan siang di rumah Abah Jono, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Patok Besi. Kali ini Pak Mumu tidak ikut dan digantikan oleh Abah Jono. Kami berangkat dari rumah Abah Jono sekitar pukul 14.00 WIB, melewati jalan setapak yang lumayan jauh menuju kebun teh. Kami sempat lewat di pinggir sungai. Airnya jernih dan terlihat segar. Bahkan abang-abang berwacana mandi di sini sepulang dari Patok Besi nanti. Kami terus menyusuri kebun teh sebelum masuk ke pintu rimba. Di tengah jalan, aku menemukan satu feses luwak yang masih baru. Bentuknya sama seperti feses luwak yang kami temukan di hari-hari sebelumnya, tetapi feses yang ini berbentuk gumpalan dan dalamnya berwarna hijau. Kami juga menemukan feses karnivor yang sudah kering. Ukurannya kecil dan di dalamnya ada rambut-rambut dan gigi dari mangsa si karnivor ini. Kami terus berjalan menuju punggungan 1680. Di persimpangan, kami menemukan feses karnivor yang cukup besar. Ada potensi feses tersebut milik macan tutul. Buatku, ini penemuan feses macan perdana karena aku belum menemukan feses macan sejak observasi hari pertama. Rasanya cukup puas akhirnya bisa melihat feses macan secara langsung yang biasanya hanya kulihat di foto-foto observasi yang terdahulu. Saat itu, hanya ada aku, Icip, dan beberapa abang yang lain ketika kami menemukan feses macan, sisanya sudah mendahului di depan. Aku dan icip kemudian mengambil data dan mengambil feses tersebut untuk sampling. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan sampai ke titik camp.

Observasi hari terakhir dimulai pada sore hari menjelang malam, yaitu sekitar pukul 17.00 WIB. Pada observasi kali ini, kami menemukan beberapa trap unggas yang bentuknya cukup menarik. Dedaunan dibentuk kotak dengan umpan diletakkan di tengahnya. Selain itu, kami juga menemukan jejak babi hutan dan banyak bekas babi hutan nyacing. Observasi malam itu berdurasi singkat dan hari itu diakhiri dengan evaluasi dan briefing seperti biasa.

Main-main di sungai sepulang dari Patok Besi
Berswafoto ketika keluar dari pintu rimba (tak lama setelah foto ini diambil, Bang Andre menemukan feses karnivora di batu yang kami naiki, saat itu pun ada elang sedang berputar-putar di atas kami)
Berswafoto di atas truk TNI bersama Abah Jono (pojok kanan atas)
Angkatan Jemari Bumantara dengan Teh Dewi (paling kanan)
Keindahan Kampung Cilondok

Perjalanan Wajib kali ini sangat seru. Kami banyak belajar tentang tanda-tanda keberadaan hewan di hutan. Kalau bukan saat itu, kapan lagi sih kami bisa berkegiatan di cagar alam? Perijinan kegiatan kami ke pihak BKSDA pun lumayan sulit untuk tembus, hal seperti ini belum tentu bisa terulang kembali. Akan tetapi, cukup tahu saja bahwa sekalipun di cagar alam, masih banyak sampah-sampah seperti botol, bungkus kopi, dan bungkus mi instan yang masih berserakan. Bahkan di observasi hari ke-3 bersama Kang Kuy, ia menemukan balon gas berbentuk helikopter. Balon tersebut kemungkinan terbang dari perkotaan, entah sengaja dilepas atau tidak, kemudian gasnya habis dan turun di kawasan cagar alam. Kang Kuy pun mengambil sampah balon itu dan ternyata ia selalu mengumpulkan sampah-sampah balon ketika menemukannya di hutan. Katanya, itu tugas dari Kang Ganthar (senior Kang Kuy, penggiat macan tutul juga dan pernah memberi kami materi tentang macan tutul di sekre sebelum kami berangkat ke Cagar Alam Gunung Simpang) untuk menghitung banyak sampah balon yang ia temukan. Padahal, di bayanganku, selevel cagar alam harusnya bisa lebih bersih dan lebih asri. Entahlah, sepertinya aku harus main-main ke kawasan suaka alam yang lain kalau ingin punya perbandingan. Untuk teman-teman pembaca, ayo dong buang sampah pada tempatnya, kurangi juga pemakaian plastik yang sulit terurai, karena yang hidup di bumi bukan cuma kita. Mereka hewan-hewan sudah hidup lebih lama di bumi dibanding kita. Kita hanya pendatang, tetapi berani memutus rantai kehidupan mereka yang hidup lebih lama di muka bumi ini.


Tulisan Oleh: Fiorenza Laila | AM-010-JB

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Sarasehan Pencinta Alam 2017: Pencinta Alam Menyelamatkan dan Memulihkan Ekosistem Pulau Jawa

Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Astacala Telkom University menyelenggarakan seminar nasional dalam kegiatan bertajuk Sarasehan Pencinta Alam 2017 dengan tema “Pencinta Alam Menyelamatkan dan Memulihkan Ekosistem Pulau Jawa”

Harapan dari Dusun Tangsi Jaya

Bagi sebagian besar anggota Astacala, kawasan selatan Bandung bisa dibilang sudah tidak asing lagi. Salah satunya adalah kawasan di sekitar Kecamatan Gunung Halu dan...

Ully Sigar Rusady – Penyanyi Sekaligus Aktivis lingkungan

Siapa yang tidak mengenal penyanyi konservasi alam kondang, Ully Sigar Rusady, yang kini lebih suka dipanggil Ully ‘Hary’ Sigar Rusady. Hary adalah nama sang...