Kebulatan Tekad untuk Citatah 48
Tebing Citatah 48 adalah salah satu tebing di kawasan Citatah yang biasa digunakan sebagai tempat berlatih bagi para pamanjat tebing di seputaran Bandung. Tebing yang memiliki jenis batuan limestone atau sering disebut dengan karst ini berlokasi di Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Dengan tinggi total dari ground atau tanah adalah 48 meter, maka karena itulah tebing ini sering disebut sebagai Tebing Citatah 48. Setiap akhir pekan atau di kala liburan, akan ada banyak pemanjat yang biasanya bergelantungan di dinding-dindingnya.
![Tebing Citatah 48](http://dev.astacala.org/wp-content/uploads/2012/12/citatah48_1.jpg)
Hari Raya Idul Adha atau yang sering disebut sebagai lebaran haji tahun 2012 beberapa waktu lalu, pikiran saya hanya tertuju pada satu hal : bagaimana saya bisa ikut dua acara sekaligus dengan waktu yag hampir bersamaan dengan jarak yang berjauhan. Itulah yang saya pikirkan saat itu. Pada satu sisi saya sudah berjanji akan membantu dalam keberlangsungan sebuah acara pernikahan di Bekasi sampai selesainya acara, dan di sisi lain saya juga ingin ikut merayapi Tebing Citatah 48 di Padalarang bersama para A’ers (panggilan bagi anak-anak Astacala). Akhirnya saya membulatkan tekad supaya sabtu sore berikutnya bisa segera kembali ke Bandung untuk menuju lokasi tebing. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung memasukkan sepatu panjat di antara baju batik dan celana kain untuk acara nikahan dalam daypack saya.
* * *
Singkat cerita, Sabtu malam 27 Oktober 2012, usai acara pernikahan yang saya ikuti, saya sudah tiba di Tebing Citatah 48 setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari Bekasi. Entahlah, saat itu saya tidak merasakan lelah meskipun malam sebelumnya hanya tidur sekitar dua jam saja. Mungkin karena tekad dan keteguhan hati untuk memanjat di tebing ini belum berubah, lelah saya saat itu kalah dengan riangnya hati untuk bisa memanjati batuan tegak tersebut.
Tebing Citatah 48 merupakan tempat pendidikan lanjut panjat tebing angkatan saya di Astacala, di mana saya diajarkan banyak hal tentang teknik pemanjatan tebing. Tebing bertinggi 48 meter ini sekarang sudah tidak bebas dipanjat kapan saja karena merupakan tempat latihan resmi Kopassus TNI. Untuk memakai tempat ini harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pusat Pendidikan Latihan Pasukan Khusus atau Pusdipassus yang berada di Batu Jajar, Bandung Barat. Surat izin kegiatan pun harus diajukan jauh hari sebelumnya, kurang lebih sekitar 1 bulan karena akan melalui proses yang lama.
Karena dikuasai oleh pihak militer, tebing ini bisa dibilang memiliki kekurangan sekaligus kelebihannya tersendiri. Di satu sisi menyebabkan para pemanjat menjadi kesulitan dalam mengurus perizinan dan menembus birokrasi, sedangkan di sisi yang lain tebing ini menjadi sulit pula dijamah oleh mesin-mesin pencari batu kapur. Jika dilihat dari lokasi-lokasi di sekitar tebing ini, akan terlihat banyak penambangan batu kapur yang sangat mengancam keberadaan kawasan karst ini yang notabene adalah bukti-bukti sejarah keberadaan tataran Sunda. Jika saja tidak digunakan sebagai tempat latihan militer, mungkin Tebing Citatah 48 ini sudah tidak ada lagi, hanya berupa onggokan-onggokan bebatuan yang akan menjadi bahan bangunan.
* * *
Malam itu, sesampainya di lokasi tebing, saya menjumpai 10 orang partner panjat saya yang terdiri dari 7 A’ers yang mana mereka itu adalah Acong, Monov, Cirit, Memet, Kiting, Maringga, Gianto, dan 3 rekan lainnya yang bernama Roland (anggota Mapala Iwapalamika Banjarmasin, Kalimantan), Arif (mahasiswa baru IT Telkom yang tertarik dengan panjat tebing), dan Eca (teman Monov dari Jakarta) sedang beristirahat untuk menanti datangnya makan malam yang sedang dibeli di sebuah warung. Makan bareng khas Astacala yang sering disebut “kuluk-kuluk” pun segera dilakukan malam itu setelah makanan itu tiba. Tidak lama kemudian, Ayis bersama Hasnan (anggota Unit Selam UGM) juga datang dari Bandung ke lokasi tebing.
Sejak datang dari pagi hari sampai menjelang malam, rekan-rekan saya ini telah mencoba 4 jalur sport dari sekitar 17 jalur yang ada. Mendengar cerita tersebut semangat saya secara tiba-tiba langsung naik untuk mencengkeram lekukan batuan ini. Acong langsung saya ajak sebagai partner untuk ngetop pada tebing yang berada di hadapan saya ini, tetapi dia mengajukan syarat supaya saya yang menjadi leader terus-menerus sampai top atau puncak tebing. Tanpa berpikir panjang sambil memandangi jalur crack sampai di puncak tebing yang agak serong ke kiri di bawah terangnya sinar rembulan malam itu, saya langsung menyutujui syaratnya karena dalam hati saya sudah bertekad “Aku pasti bisa!”.
Malam itu juga saya masih saja memandangi jalur crack yang menuju puncak tebing dengan tugu komando berbentuk pisau belati raksasa untuk menghitung berapa pitch yang akan saya pakai. Saya dapatkan perencanaan 3 pitch sampai puncak : pitch 1 berjarak sekitar 20 meter dari ground, pitch 2 sekitar 15 meter kemudian, dan selanjutnya pitch 3 atau top sekitar 13 meter.
* * *
Pagi itu, Minggu 28 Oktober 2012, saya yang tertidur lelap terbangun oleh suara perbincangan dari seseorang yang saya kenal dan tidak ada semalam. Ternyata ada A’er lainnya yang datang. Dialah Singo, yang baru saja datang dari rumahnya di Bekasi untuk bergabung dan ingin bernostalgia di tebing yang terdapat jalur pemanjatan over hang yang bentuknya mirip “pantat sapi”. Sebuah nostalgia yang beberapa hari sebelumnya diwacanakan oleh para A’ers di forum diskusi website Astacala.
Sekitar pukul 8 pagi sesaat setelah sarapan, saya dan rekan-rekan saya menundukkan kepala dengan kedua tangan serta menggerak-gerakkan badan untuk memulai pemanasan sebelum memanjat. Selesai pemanasan, Acong sebagai belayer mulai mengurai tali kernmantel agar tidak kusut. Sedangkan saya langsung mempersiapkan kebutuhan peralatan artificial climbing untuk merayap secara vertical. Akhirnya, sekitar pukul 9 pagi saya mulai pemanjatan dengan pemasangan runner pertama pada jalur yang sudah saya rencanakan semalam. Sementara 12 orang rekan saya yang lain bersiap-siap untuk memanjat jalur sport di bagian tebing yang lain.
Beberapa menit kemudian saya mulai merayapi tebing ini memasang satu demi satu pengaman yang sudah saya siapkan. Di sebuah cerukan datar di ketinggian 20 meter, saya memasang dua cowstail dan backupnya menggunakan simpul pangkal pada tali kernmantel yang terhubung simpul delapan ke harness saya. Saya sudah aman sampai di pitch 1. Saya kemudian berteriak, “Cong, belay off!”, sebagai aba-aba bahwa posisi saya di pitch 1 sudah aman dan Acong sebagai belayer bisa melepaskan alat belay dari harnessnya.
Saat itu juga mata saya langsung mencari celah-celah tebing atau lubang tembus untuk saya jadikan pengaman pemasangan sistem hanging belay. Saya mulai dari memasang pembelokan tali di atas kepala saya agar posisi belay lebih enak. Kemudian saya pasang simpul delapan setelah tali melalui alat belay di pinggang saya untuk back up jika tangan saya tidak kuat menahan Acong jika seandainya ia fall secara tiba-tiba.
Tidak lama kemudian setelah mendapatkan komando “bellay on” dari saya, Acong langsung naik menyusul sambil melakukan cleaning pengaman-pengaman yang saya pasang sebelumnya. Sesampainya di pitch 1, peralatan yang dicleaning Acong diberikan kembali untuk saya gunakan selanjutnya pada pemanjatan menuju pitch 2 yang berada sekitar 15 meter di atas pitch 1. Sambil menunggu selesainya adzan duhur, dengan teknik dan cara yang sama saya dan Acong akhirnya sudah berada di pitch 2 untuk kemudian bersiap melanjutkan ke pitch terakhir, yaitu puncak tebing. Sekitar 40 menit kemudian saya dan Acong sampai pada tempat ditancapkannya belati raksasa Kopassus, yang menandakan itu adalah puncak dari Tebing Citatah 48.
Di bawah tugu komando tersebut kami berbincang tentang jalur pemanjatan yang sudah dilalui selama kurang lebih 3,5 jam ini. Kami istirahat sejenak untuk menghabiskan bekal yang dibawa sambil merapikan alat untuk dibawa turun ke bawah melalui jalur jalan kaki lewat samping kanan tebing. Dari puncak tebing ini, memang ada jalan setapak yang memutar untuk menuju ke bawah, jadi tidak perlu lagi menuruni tebing ini mengikuti jalur memanjat sebelumnya.
Sekitar 15 menit kemudian kami sampai di dasar tebing dan saya masih melihat beberapa rekan panjat yang mencoba jalur sport masih menikmati pemanjatannya. Tak lama kemudian, makan siang yang disuguhkan oleh keluarga Stipen pun datang. Stipen adalah seorang warga Citatah yang sejak akhir tahun 90-an sudah menjadi sahabat Astacala karena sering bermain panjat tebing bersama dan banyak berbagi ilmu tentang pengetahuan-pengetahuan panjat tebing. Makan siang yang lezat dengan masakan khas rumahan ala Citatah disertai sambal mantap membuat tenaga saya pulih kembali.
Pemanjatan sore itu itu pun berakhir sekitar pukul setengah enam. Tercatat 3 jalur sport dan 1 jalur gym di jalur pantat sapi dilakukan. Saat perjalanan pulang, saya mengingat sekitar 1 tahun yang lalu di Tebing Citatah 125 -salah satu tebing di kawasan Citatah-, itu adalah terakhir kalinya saya memanjat dengan sistem pemanjatan artificial multi pitch. Selain itu saya juga mengingat perjalanan 28 jam pulang pergi dari Bandung ke Bekasi, kemudian kembali ke Bandung lagi, untuk mencapai puncak Tebing Citatah 48 ini. Dua hari sebelumnya saya masih bimbang karena belum ada tekad yang bulat untuk melakukannya. Saya merasakan bahwa kalau sudah ada tekad yang bulat disertai keteguhan hati untuk menjalaninya, maka segala masalah atau rintangan yang dikhawatirkan akan bisa dilalui satu per satu tanpa terasa.
Keep fight and keep climbing!!! Astacala!!!
Tulisan oleh Widi Widayat
Foto dari Dokumentasi Astacala
Mantap gan….. ASTACALA!!!!!
Mantab,
sepertinya ada cerita sampingannya nih, mungkin belum dipublish saja.
ditunggu.
@59 : sampingannya cuma bantuin nikahan kakaknya temen kosan doang kok mas. jadi ga’ penting buat di publish.hehe..
Kayaknya gw kenal tuh sm belayernya..
😀
Emang mas widi ada cerita samping apaan sich??? Aq cemburu loch…..
udh bikin aku cemburu.. jadi aku ama yg lain aj dechh..
pelanggaran kerassss bungggg
@SOND CANTIK JILID 2 A.K.A SIGONK (SIGIT FATHOMI A-073-KA) : GW MASIH NORMAL GONK!!!
asu ketauan dech klo sya kw…,, (ssstt.. ojo sebut2 jeneng oi..)
lu bego’ sih.. emailnya saja masih pake nomer anggota lu, ya ketahuan lah.gw kan punya account wordpress di sini, jadi bisa check cuk.hwakakaka…
ihhh pari memang hebat bisa tau itu sigonk 3>
Yang lain aj itu sopo?? RT : udh bikin aku cemburu.. jadi aku ama yg lain aj dechh..
husss husss klo di org comment nya yang rada bermutu….
tapi mank siapa par sampingannya?