Sepuluh Hari di Kampung Laut Nusa Kambangan
Bagaimanapun juga mendapatkan stigma tidaklah menyenangkan, terlebih jika itu bukanlah suatu kebenaran. Dan meski sudah terbukti salah, entah kenapa orang lebih banyak mengingat sesuatu yang sifatnya praduga daripada yang telah terbukti sebagai fakta. Kabar miring bisa berhembus dengan mudah seperti virus sars dan mengendap lama layaknya virus hepatitis, susah lenyap dari ingatan.
Mungkin itu pula yang dialami oleh Nusa Kambangan, sebuah pulau yang berada di perairan selatan Pulau Jawa ini. Akibat bercokolnya kompleks penjara di pulau tersebut –beberapa bahkan berkategori SMS (Super Maximum Security)-, Nusa Kambangan akhirnya mendapatkan label dari masyarakat sebagai pulau penjara. Sebagian bahkan menyebutnya sebagai Alcatraz Indonesia, satu pulau yang isinya pembunuh sadis, koruptor kelas kakap, dan penjahat skala besar lainya. Maka tidak heran akhirnya menimbulkan kesan seram dan suram.
Sedang pada kenyataannya area kompleks penjara hanyalah sebagian dari luasnya wilayah pulau ini. Dan yang mungkin tidak banyak orang tahu, Nusa Kambangan adalah pulau yang berpenghuni. Ada penduduknya. Sekali lagi penduduk, dan bukan narapidana.
Di sebelah barat pulau tinggalah sekelompok masyarakat yang sudah sejak lama menetap di sini, berada di dalam wilayah Kecamatan Kampung Laut yang termasuk bagian dari Kabupaten Cilacap. Dan berbeda dari kabar tentang Nusa Kambangan yang angker dan menyeramkan, ternyata masyarakatnya begitu ramah dan bersahaja.
* * *
Awal tahun 2011 lalu selama hampir sepuluh hari saya berkesempatan untuk tinggal bersama penduduk Desa Klaces. Tidak penuh selama sepuluh hari tepatnya karena sebagian waktu saya habiskan keluar masuk hutan dan menelusuri gua. Saya bersama beberapa anggota Astacala yang lain sedang mengadakan ekspedisi pemetaan gua-gua di Nusa Kambangan.
Desa Klaces ini adalah satu dari empat desa yang ada di Kecamatan Kampung Laut. Masyarakatnya banyak yang bermatapencaharian sebagai nelayan, ada juga sebagian yang berprofesi menjadi petani. Konon katanya masyarakat desa ini adalah keturunan dari prajurit Mataram Islam dahulu. Oleh satu sebab, mereka akhirnya meninggalkan Pulau Jawa dan menetap di tempat ini. Meski begitu, karena letak geografisnya yang dengan wilayah Jawa Barat, ada juga penduduk yang berbahasa Sunda di sini.
Untuk menuju Desa Klaces, bisa berangkat dari Sleko untuk kemudian menumpang perahu omprengan selama hampir dua jam perjalanan. Perahu ini memang menjadi salah satu transportasi utama bagi warga untuk keluar masuk pulau. Bermacam barang kebutuhan pokok terlihat memenuhi perahu.
Meninggalkan Dermaga Sleko, perjalanan perahu melintasi selat yang memisahkan Pulau Nusa Kambangan dengan Pulau Jawa. Kondisi perairan lumayan tenang, tidak banyak terlihat gulungan ombak yang tinggi. Beberapa kali kami berpapasan dengan perahu perahu nelayan di sana. Sekitar satu jam terakhir perjalanan, perahu memasuki kawasan hutan mangrove. Terlihat beberapa jenis unggas hilir mudik diantara rimbunnya pohon-pohon bakau.
Dari salah seorang warga kami diberitahukan mengenai sebuah pantangan yang harus diperhatikan oleh para pendatang. Setiap pendatang diharapkan agar tidak tidur siang pada hari pertama mereka sampai di pulau, pamali katanya. Dan entah karena kebetulan atau tidak, Muron, salah seorang kawan saya yang hobinya tidur, menderita muntah muntah yang cukup parah karena tidak sengaja melanggar pantangan ini. “Jangan tidur mulu kau Nak!”
Mayoritas rumah warga di Klaces sudah merupakan bangunan permanen. Namun karena berada di daerah rawa, ketika laut pasang air dipastikan akan menggenangi halaman rumah warga. “Banjir” ini biasa terjadi menjelang malam tiba. Di Klaces sudah ada jalan paving block yang membelah bagian dalam desa dan tersambung ke luar menuju Motehan yang berada di bagian lain pulau.
Di Klaces saya tinggal di rumah Pak Narsid. Rumah Pak Narsid gampang saja untuk ditemui, terletak persis di depan SMA Kampung Laut. Pria yang sudah berusia cukup berumur ini sehari-hari bekerja sebagai penjaga sekolah, menyambi sebagai petani dan kadang kala pencari ular.
Karena kebiasaanya blusukan mencari ular, beliau bisa dikatakan sudah hafal betul dengan kondisi geografis pulau ini. Hampir setiap sudut pulau sudah pernah dijelajahinya. Pak Narsid pula lah yang menjadi guide penunjuk kami dalam mencapai lokasi beberapa gua yang akan kami petakan.
Karakteristik Nusa Kambangan bagian barat di mana kami berkegiatan adalah daerah karst, sehingga banyak terdapat gua di daerah sana. Beberapa bahkan sudah terkenal sebagai tujuan wisata religi, seperti Gua Masigit Sela, Gua Maria, dan Gua Putri. Pada hari hari tertentu, para peziarah akan ramai berkunjung ke gua-gua tersebut. Banyak di antaranya adalah untuk memanjatkan doa-doa untuk permintaan tertentu. Selentingan kabar yang terdengar bahkan tersebutlah nama seorang jenderal yang sosoknya sering muncul di pemberitaan media. Yang sedikit disayangkan oleh para penduduk, makin hari semakin banyak saja orang dari luar daerah pulau yang mengaku-aku mendapat wangsit sebagai juru kunci gua-gua ini.
Oleh warga sendiri, keberadaan gua di wilayah ini ada yang dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Dari dalam gua dipasang paralon yang akan menyalurkan air dari dalam ke daerah pemukiman. Sedikit menjawab problema daerah pesisir yang biasanya kesuliatan mendapatkan air bersih.
Bertatapan dengan “Si Mata Hitam”
Sore itu gerimis mendadak turun. Cahaya matahari tersaput mendung, suasana berubah menjadi lebih gelap. Sementara itu saya sedang duduk sendirian di luar gua, anggota tim yang lain sedang melakukan penelusuran di dalam. Sudah sekitar satu jam ini saya tidak beraktivitas apa-apa, hanya duduk termenung di atas sebongkah batu yang lumayan besar. Mau berteduh dalam gua pun tak bisa, tak ada helm nyangkut di kepala.
“Kreeek…”
Tiba-tiba ada suara remah ranting yang terinjak. Asalnya suara dari atas gua, sekitar sepuluh meter dari tempat saya duduk. Karena pepohonan dan tumbuhan perdunya lumayan lebat, tidak terlihat si empunya pembuat suara.
“Krek… Kreeeekk.”
Saya memicingkan mata, mencoba lebih fokus melihat sumber suara. Dan di antara rasa kaget, panik dan tentunya takut, terlihat sorot tajam mata dari sesosok makhluk yang berwarna hitam. Tanpa pikir panjang saya pun berdiri dan berlari masuk ke dalam gua. Tanpa senter, helm, ataupun perlengkapan penelusur lainnya, saya menerobos kegelapan gua.
Beberapa kali langkah kaki tersandung oleh bebatuan, namun saya tak perduli. Logika berpikir sudah tidak tersisa, yang ada di pikiran waktu itu adalah menjauh sejauh-jauhnya dari makhluk yang ada di luar tadi. Jantung berdegup kencang, adrenalin meningkat dengan pesat. Golok tebas pun telah tergenggam dengan erat di tangan kanan. Saya benar-benar telah siap untuk kemungkinan terburuk, yang saya tidak tahu apa itu.
Detik demi detik, menit demi menit akhirnya berlalu. Setelah merasa aman, sambil beringsut pelan saya pun menuju pintu keluar. Melirik kiri kanan, memastikan kondisi sekitar bahwa tidak ada yang sedang berkeliaran. Ketika itu hujan sudah berhenti, suasana pun lebih terang. Saya menghela nafas lega, rasa takut sudah lumayan sirna.
“Di hutan memang masih ada macan. Banyak yang sudah pernah melihatnya langsung”, begitu kata Pak Narsid usai mendengar cerita saya barusan.
Walau begitu, karena kejadiaannya yang begitu cepat, hingga saat ini saya tidak pernah yakin apa yang saat itu saya lihat, apakah benar macan atau hanya babi hutan. Menjadi satu pengalaman tak terlupakan tentunya.
Sebenarnya hutan di Pulau Nusa Kambangan tergolong kaya. Banyak hewan liar yang berhabitat di sini. Ular, kancil, babi hutan hingga macan tutul tidak jarang terlihat oleh warga. Cerita tentang narapidana pelarian yang dimangsa hewan liar pun bisa jadi merupakan kenyataan, bukan sekedar gimmick yang sengaja disebar aparat guna menambah kesan angkernya pulau penjara.
Sayangnya kondisi hutan telah banyak mengalami kerusakan. Makin menyedihkan karena proses kerusakan hutan masih berlangsung hingga kini. Pembalakan dan perambahan liar masih saja terjadi.
Medio 2000-an awal sempat ada proyek penanaman pohon pisang besar-besaran oleh salah seorang pengusaha. Ratusan hektar hutan dibabat guna menyediakan lahan budi daya. Sayang akhirnya proyek ini gagal, hanya meninggalkan lahan lahan kosong yang telah gundul. Pada akhirnya lahan ini dimanfaatkan warga menjadi areal persawahan dan tambak ikan.
* * *
Menjelang malam hari, mesin diesel di rumah rumah mulai dinyalakan. Dari sinilah listrik bagi para penduduk diperoleh karena belum ada sambungan listrik dari PLN yang menjangkau Kampung Laut. Ada juga beberapa panel surya, namun daya listrik yang dihasilkan tidaklah seberapa. Itu pun juga tergantung dengan intensitas cahaya matahari yang ada.
Pembangkit tenaga diesel ini pun terbatas waktu operasionalnya, tergantung literan solar yang dipunya. Biasanya dinyalakan sore hingga menjelang tengah malam.
“Nggak enaknya ya kalau lagi nonton film belum selesai, ehh solarnya udah abis. Jadi penasaran,” kelakar Pak Narsid kepada saya malam itu.
Masyarakat sendiri sempat meminta kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) agar kabel aliran listrik PLN bisa melintas di kawasan Pulau Nusa Kambangan untuk menuju ke Kampung Laut. Karena melihat kondisi yang ada, kawasan Lapas adalah satu-satunya akses yang mungkin dilalui oleh kabel PLN. Namun belum mendapatkan respon yang positif dari pihak terkait.
* * *
Matahari sudah sepenggalah tingginya, sekitar pukul delapan pagi. Bangunan sekolah mulai ramai oleh siswa berseragam putih abu abu. Sekolah memang belum masuk, masih menunggu kedatangan guru dari daratan utama Pulau Jawa tiba. Para guru ini diangkut oleh kapal yang memang dikhusukan untuk operasional transportasi mereka. Begitu jam sekolah usai, menggunakan kapal yang sama para pengajar garis depan ini dipulangkan lagi ke Pulau Jawa.
SMA Kampung Laut menjadi satu satunya sekolah menengah atas di Pulau Nusa Kambangan. Walau begitu, keberadaan sekolah ini sangat disyukuri masyarakat. Sebelumnya mereka harus pindah ke Pulau Jawa jika ingin meneruskan sekolah ke taraf lebih tinggi.
Dengan keadaan yang ada, bagi siswa di sini lulus ujian akhir nasional adalah suatu prestasi yang luar biasa. Dan perihal ujian akhir nasional, sepertinya ini adalah kebijakan pemerintah yang patut diperdebatkan. Bagaimana mungkin tingkat penilaian kelulusan menggunakan standar yang sama di seluruh pelosok Indonesia tanpa melihat kualitas dan kondisi sekolah yang ada. Bandingkan saja kondisi sekolah di Jakarta dengan di ujung Pulau Seram sana, tentu jauh berbeda.
Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar yang berbeda. Sekolah di lingkungan perkotaan, minimal secara fasilitas pasti lebih baik daripada yang berada di daerah. Bahkan terkadang di daerah yang termasuk pelosok, kebutuhan yang paling penting (tenaga pengajar) jumlahnya tidak memenuhi, dan kalaupun ada juga tidak qualified karena keadaan yang memaksa. Maka begitu tidak adil jika pemerintah menetapkan standar kelulusan dengan menggunakan penilaian yang sama.
* * *
Bunyi diesel yang memekakkan telinga memberi tanda bahwa perahu yang akan kami tumpangi telah tiba. Nakhoda pun segera merapatkannya ke dermaga. Carrier, pelampung, helm, dan segenap peralatan lainya segera berpindah ke dalam perahu.
Pada akhirnya perpisahan memang tak bisa ditolak. Kami harus kembali ke Bandung, sementara para penduduk Kampung Laut pun harus melanjutkan roda kehidupan mereka sehari-harinya. Satu per satu kami berpamitan dengan Pak Narsid sebagai tuan rumah kami di sana. Beliau bersama istri bahkan meluangkan waktunya untuk melepas kepergian kami.
Sepuluh hari mungkin waktu yang teramat singkat, tapi saya yakin selama sepuluh hari tersebut ada pembelajaran yang kami dapatkan. Tentang kesederhanaan, tentang keramahan, tentang kerendah-hatian. Tentang kehidupan. []
Tulisan oleh Wisnu Angga Firdy
Foto dari Dokumentasi Time Ekspedisi Nusa Kambangan