Mohon masukan, kritik, saran, caci-makinya(bila perlu) dong tentang tulisan yang ada di halaman depan. Tapi dari sisi teknis penulisan ya, kalau soal isi, monggo di komentarin di tkp nya langsung.
Bolenk wrote: Perjalanan Si Bolenk (Episode 2 : Gunung Tujuh)
Menuju Gunung Tujuh
Pagi ini kami mulai berkemas. Berbeda dari hari-hari sebelumnya yang sering mendung, cuaca hari ini cukup cerah. Mentari yang bersinar sedari tadi belum sanggup mengusir hawa dingin yang telah menyelimuti dataran tinggi Kerinci semalaman. Meskipun sudah selesai berkemas, tetap saja tak ada yang mau mandi di antara kami bertiga (saya, Memet, dan Arnan). Padahal kami terakhir kali mandi sudah dua hari yang lalu.
Sebelum berangkat, kami menyantap sarapan pagi yang telah disiapkan oleh tuan rumah. Menu di keluarga itu selalu sederhana, tapi nikmatnya luar biasa. Bayangkan, hanya dengan lauk kentang goreng-sambal yang dipadu dengan kol rebus sebagai sayurnya, kami bertiga dibuat ketagihan. Padahal perut masih kenyang. Jadi ingat pengalaman setiap kali dijamu makan oleh warga desa ketika dalam perjalanan di Jawa, menunya selalu sederhana, tapi sangat lezat.
Waktu masih pukul setengah sembilan pagi ketika kami pamit untuk berangkat. Dari rumah Pak Kadus, perjalanan masih satu kilometer lagi menuju pintu gerbang taman nasional. Danau Gunung Tujuh berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Untuk masuk kawasan tersebut, setiap pengunjung dipungut biaya Rp 3.000,00 sebagai biaya retribusi.
Pemandangan selama perjalanan menuju batas taman nasional didominasi oleh sawah dengan Gunung Kerinci berdiri gagah di seberangnya. Beberapa ekor kerbau tampak sedang merumput. Ada yang sedang membajak sawah, ada yang sedang menarik gerobak, ada juga yang sedang berendam di sungai. Pemandangan seperti ini banyak kita temukan dalam lukisan-lukisan di rumah makan Padang. Mungkin dari sinilah inspirasinya.
Memasuki taman nasional, pengunjung akan menyusuri jalan setapak berbatu yang di kelilingi oleh ladang sayur. Sesekali akan bertemu gerobak yang membawa hasil panen atau keperluan ladang yang ditarik oleh kerbau. Dari batas taman nasional hingga ke Pos 1, di sepanjang jalan akan beriringan dengan aliran Sungai Ulu Jernih. Sungai yang melintasi Desa Pelompek ini berasal dari Danau Gunung Tujuh. Sesuai namanya, sungai ini memang jernih, juga dingin.
Setelah setengah jam perjalanan, terdapat sebuah pos mirip menara pemantau. Tempat ini biasa disebut Shelter 1. Kondisinya lumayan buruk.
Setelah ini, jalur pendakian mulai curam. Semakin jauh perjalanan, kondisi hutan juga semakin lebat. Vegetasi hutan di sekitar danau ini sedikit berbeda dengan yang ditemukan di Gunung Kerinci. Di sini hutannya lebih basah, dan lebih lebat. Jalur pendakian menuju danau hanya butuh waktu tiga jam untuk mencapai puncak. Di puncak gunung ini terdapat Shelter 2. Kondisi shelter tersebut sudah hancur, yang tertinggal hanya berupa sebidang tanah kosong.
Dari Shelter 2 menuju danau hanya butuh waktu sepuluh menit menyusuri jalan yang menurun.
Danau Gunung Tujuh : Danau Indah Tertinggi di Asia Tenggara
Begitu menemukan danau, kami begitu terpesona. Bagaimana tidak, di depan kami telah berdiri danau yang begitu luas. Uniknya, kalau dilihat dari lanskapnya, daerah sumber air bagi danau ini termasuk kecil, tetapi danau ini tidak pernah surut.
Danau ini dinamakan Gunung Tujuh karena dikelilingi tujuh puncak gunung, yaitu : Gunung Selasih (2.230 mdpl), Gunung Hulu Sangir (2.330 mdpl), Gunung Lumut (2.350 mdpl), Gunung Madura Besi (2.418 mdpl), Gunung Jar Panggang (2.469 mdpl), Gunung Hulu Tebo (2.525 mdpl), dan yang paling tinggi adalah Gunung Tujuh (2.735 mdpl).
Menurut informasi yang kami dapat sebelumnya dari internet, danau yang berada pada ketinggian 2.000 mdpl -sesuai angka yang ditunjukkan GPS kami- ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Sekeliling danau yang luasnya 960 hektar ini merupakan hutan tropis yang masih sangat lebat. Ketika kami berkunjung ke sana, sering terdengar suara sekumpulan kera yang sangat keras dari seberang danau.
Konon, di lokasi ini terdapat penunggu danau, bernama Lbei Sakti dan Saleh Sri Menanti. Mereka sering terlihat dalam wujud harimau. Cerita ini kami peroleh dari orang tua yang ditemui di Dusun Ulu Jernih, tempat kami menginap. Bahkan, ketika di perjalanan, kami diberi nasehat oleh seorang nenek untuk memetik dedaunan hijau dan diselipkan di telinga, untuk memberi tanda kepada penunggu di sana, katanya. Kami juga dinasehati, jika mencium bau jeruk purut agar segera turun. Itu artinya “sang nenek” lagi lewat, dan itu artinya bahaya.
Luas danau ini juga membuat terpesona. Begitu luas danau yang terlihat, tetapi itu belum keseluruhannya. Danau ini berbentuk huruf C, ada lekukan di tengah danau.
Melihat pemandangan ini, saya jadi teringat ketika dalam perjalanan baru memasuki Sungai Penuh, seminggu yang lalu. Waktu itu kami masih tertidur pulas dalam kendaraan, dan cuaca agak berkabut. Ketika terbangun, terlihat ada perairan yang terhampar begitu luas di depan kami. Laut! Ada sedikit kepanikan saat itu. Setahu saya, dalam perjalanan ini tidak seharusnya melewati laut. Kami mengira Kota Sungai Penuh telah terlewati ketika kami masih tertidur pulas, dan sudah sampai di Provinsi Bengkulu, pesisir barat Sumatra. Ternyata, setelah bertanya kepada seorang ibu yang terbangun oleh kepanikan kami, perairan yang terlihat itu adalah Danau Kerinci. Danau yang begitu luas. Dan kami pun tersenyum malu-malu. Apalagi ketika si ibu bertanya: ”Mahasiswa mana, Dik?”.
Memori Damai di Danau Gunung Tujuh
Danau Gunung Tujuh ini masih sangat alami. Airnya jernih. Kita bisa memandang sampai ke kedalaman tujuh meter. Sungguh jernih. Di sekeliling danau terdapat bangkai pohon tumbang.
Posisi shelter atau tenda berada di dekat aliran keluar air danau. Hati-hati jika berenang atau bermain di aliran tersebut, selain airnya lumayan deras, sekitar sepuluh meter dari titik tersebut terdapat air terjun setinggi kurang lebih dua puluh meter.
Kami tiba di danau sekitar pukul dua belas siang. Cuaca saat itu mendung dengan sedikit gerimis. Hawa dingin memaksa untuk bergerak lebih cepat mendirikan tenda. Ketika tenda telah beres, saatnya bersantai. Saya mengisi waktu dengan memancing ikan, Memet dan Arnan memilih tidur di dalam tenda.
Sore itu, yang kami lakukan hanyalah bermalas-malasan di dalam tenda. Menikmati hangatnya sleeping bag sembari sesekali memandang ke arah danau yang ditutupi kabut tebal. Menjelang senja, hujan mulai turun mengguyur danau. Kicau burung dan jeritan-jeritan kera dari seberang danau kini hilang dikalahkan nyanyian hujan.
Hawa dingin semakin masuk ke dalam tenda.Trangia menjadi senjata ampuh kami, sambil menyeduh segelas kopi hangat. Sementara di luar sana, di atas danau, sebuah perahu kecil terlihat mendekat ke tepian. Tak jauh dari tenda kami. Dua orang penumpang perahu tersebut sepertinya adalah nelayan. Mereka basah, diguyur hujan.
Keesokan harinya, cuaca begitu cerah. Sangat kontras dengan sehari sebelumnya, ketika kami baru tiba. Perlahan tapi pasti, puncak gunung di seberang danau mulai bermandikan sinar matahari pagi. Lambat laun, garis bayangan matahari mulai turun. Akhirnya gunung tersebut sepenuhnya terkena sinar matahari dari sisi timurnya. Sampai kemudian garis bayangan tersebut menyentuh air danau, mulai menghangatkan perairan yang ternyata sangat dingin di malam hari.
Kami pun tak mau ketinggalan untuk mengabadikan momen tersebut. Arnan, yang paling muda diantara kami bertiga, segera berlari, berdiri di atas batu besar di pinggir danau. Sudah bisa ditebak, minta difoto. Akhirnya, kami memulai hari itu dengan berfoto ria, di atas batu besar di tepian danau, yang tampak seperti batu karang.
Sementara kicau burung semakin terdengar ramai.
Seharian, kami menghabiskan waktu berkeliling danau dengan menggunakan perahu nelayan yang ditambatkan tak jauh dari tenda. Sesampainya di titik yang tadinya kami kira sebagai ujung dari danau ini, ternyata itu baru setengahnya saja. Di tepi danau, terdapat beberapa rumah sementara yang digunakan oleh nelayan untuk menginap dan sebagai gudang penyimpanan mereka. Semacam gubuk.
Ketika sedang mengarungi danau, kami sempat bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan. Sayangnya, kami tidak sempat berbincang dengan nelayan tersebut. Nelayan tersebut juga sepertinya terburu-buru hendak pulang.
Ketika gerimis turun, kami sempat berteduh di salah satu gubuk tua yang sudah tak dihuni lagi. Gubuk itu begitu sederhana. Luasnya hanya sekitar 4x4 meter. Ada perapian di tengahnya, yang sudah lama tak dipergunakan. Di dekat gubuk, terdapat tanaman labu jepang yang tumbuh liar. Saya memetik dua buahnya yang sudah matang.
Hutan di sekeliling danau ternyata masih sangat lebat dan belum terjamah. Di ujung danau masih terdengar suara sekawanan kera saling bersahutan. Berbagai jenis burung cantik dengan warna mencolok dan cerah juga sering terlihat terbang melintasi danau.
Suasana saat itu begitu sepi. Tidak ada orang di sana. Hanya ada kami bertiga. Semuanya tenang. Kicau burung, desir angin, dan gemercik air danau terdengar seperti melodi yang indah. Sesekali terdengar suara kera bersahutan dan di iringi suara air terjun di kejauhan. Semua begitu tenang. Begitu tentram. Begitu damai.
Esok harinya, kami masih sempat sekali lagi berkeliling danau, sebelum akhirnya pulang menuju Desa Pelompek. Kami kembali dengan perasaan puas. Memori damai di danau yang belum dikelola tersebut begitu membekas di hati saya.