Sharing : Sebuah Catatan Perjalanan

Berbagi ilmu dan teknik penulisan
Post Reply
User avatar
Gejor
astacala.org addict
Posts: 529
Joined: Wed Mar 30, 2005 5:10 pm
Location: Jakarta
Contact:

Sharing : Sebuah Catatan Perjalanan

Post by Gejor »

Catatan perjalanan yang mengagumkan.
Interaksi dan pengamatan yang dilakukan oleh penulisnya sungguh luar biasa sehingga menghasilkan catatan perjalanan seperti ini.
Vietnam, Sebuah Catatan Perjalanan
Oleh: Seno Gumira Ajidarma


* * *

Saya kira tadinya mudah saja pergi ke Mongolia. Buktinya tidak. Karena suatu persoalan teknis, saya tiba-tiba saja terdampar di Vietnam. Sebenarnya di kepala saya sudah berdengung angin berpasir Gurun Gobi diiringi musik Kitaro, namun bagai dilontarkan dalam sebuah tabung, mendadak di sinilah saya — Saigon: jalanan yang serabutan, Honda bebek, sepeda, Yamaha bebek, sepeda, cyclo, bunyi klakson terus-menerus, bunyi klakson terus-menerus, sepeda, cyclo, sepeda lagi, sepedamotor, sepedamotor, sepedamotor, sekali-sekali BMW, salip-menyalip sambil masih terus-menerus membunyikan klakson. Barangkali ini negeri komunis, tapi jalanan itu sungguh ‘liberal’.

Seolah-olah siapapun bisa meluncur ke mana pun, dari segala arah ke semua arah. Dalam satu hari saja, saya melihat tiga adegan tabrakan. Di siang hari bolong itu, orang-orang bertengkar di jalanan. Saigon, dengan segala akar metropolisnya, telah mendapat nama baru semenjak pasukan Vietnam Utara dan Viet Cong merebutnya pada April 1975, yakni Ho Chi Minh City — artinya, menjadi komunis. Kini, Vietnam masih tercatat sebagai negeri miskin.

Toh begitu mendarat, dan menukar uang, saya langsung jadi ‘jutawan’. Saya menukar uang 300 dollar AS, dan jadi kaget menerima tumpukan uang 3.300.000 Dong dalam pecahan kecil. Mana di kios money changer itu saya dikerumuni orang lagi! Saya membawa uang seperti membopong setumpuk buah-buahan. Dalam hati saya berkata, “Welcome to Vietnam…”

Vietnam di kepala saya adalah Vietnam dalam film-film Hollywood. Jauh sebelum saya membayangkan suatu hari akan menginjaknya, saya sudah akrab dengan nama-nama seperti Saigon, Quang Tri, Da Nang, Hue, atau Hanoi — kini saya menyusurinya.

Begitu tiba di Saigon, diterpa terik matahari membara, saya tahu bahwa memang tidak ada gunanya mencari sesuatu dalam kenyataan yang ada di dalam film, karena film adalah film, bukan kenyataan.

Namun karena cantelan saya satu-satunya cuma film-film itu, saya tetap merasa njomplang, merasa memasuki dunia yang lain sama sekali. Orang-orang Vietnam bukan tidak tahu tentang citra negeri mereka di dunia Barat, maka dengan segera otak dagang mereka menciptakan kaos-kaos oblong bertuliskan Apocalypse Now! atau Miss Saigon atau Tintin in Vietnam.

Ho Chi Minh City barangkali memang kota yang serba kemrungsung, orang-orang tak sabar untuk hanya menunggu. Mereka menyerbu, menggali, membuka kemungkinan. Kalau orang-orang tahu kita orang asing, dari pagi sampai malam selalu ada saja yang ditawarkan, siapa tahu salah satunya nyantol jadi uang. Namun jika seseorang menyusuri negeri ini, dari Selatan ke Utara, maka akan terasa betapa semakin ke Utara dinamika perburuan uang ini makin lama makin berkurang — minimal lain gayanya. Ritme bicara yang keras menghentak-hentak di Selatan, menjadi lebih lembut di Utara, lebih berlagu dan lebih halus nadanya. Di telinga saya yang tak paham bahasa Vietnam, seperti perbedaan nada orang bicara di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Ruang Tamu di Trotoar

Kereta api merayapi gunung, menembus kabut, memperlihatkan pemandangan teluk: perahu dan nelayan bercaping — ini memang pemandangan khas Vietnam. Dalam kartupos, dalam berbagai benda seni yang dijual di toko-toko, kita akan selalu melihat citra perahu dan orang bercaping. Sambil memandang hujan, hamparan sawah yang begitu luas, dan pegunungan yang membiru, saya bertanya-tanya: bagaimana caranya alam menterjemahkan dirinya dalam kebudayaan manusia?

Kereta api Vietnam bagi saya terasa istimewa. Bukan karena mewah, tapi karena ketertibannya. Kereta api Vietnam yang terbaik boleh dibandingkan dengan kereta api Senja Ekonomi. Meski begitu, walaupun panas dan sumpek, untuk setiap tiket yang kita beli, terjamin adanya tempat duduk dan ransum. Tidak ada karcis berdiri. Ransum dihidangkan dengan gaya pelayanan di pesawat terbang, meski tentu saja tidaklah sama hidangannya. Kalau kita orang asing, sendirian pula di rimba orang-orang yang cuma ngomong Vietnam, kita harus sigap melirik kiri kanan. Misalnya saja harus cepat-cepat menadahkan kotak plastik ransum itu, ketika seorang ‘petugas kuah’ menuangkan kuah ke kiri dan ke kanan sepanjang gerbong.

Ketika malam tiba, TV di gerbong menyala. Ada dua TV di setiap gerbong kelas ekonomi (kelas satu berkabin, tapi tidak ber-AC), yang saling memunggungi di tengah gerbong. Film-film yang diputar dari kelas B, tapi yang –aduh– sungguh bebas sensor. Ketika sampai pada adegan-adegan seronok, semuanya berlangsung bebas dan habis-habisan, di bawah sorot mata penumpang segala umur. Saya sendiri malu melihat adegan-adegan itu, lantas pura-pura tidur, membenamkan topi hadiah Vietnam Railway sampai menutupi mata. Toh saya mengalami kejutan: jangan-jangan memang salah menganggap yang begituan sebagai barang terlarang.

Orang-orang Vietnam ini senang sekali bercengkerama di trotoir. Dari kota ke kota, sepanjang hari kita akan melihat sejumlah orang berkumpul di muka rumah, dengan meja dan kursi-kursi yang pendek, makan minum sambil ngobrol — rasa-rasanya hampir setiap saat: pagi, siang, dan malam. Selalu ada orang masak, orang makan dan minum, tertawa sana-sini. Suatu ketika saya ‘numpang ke belakang’ di rumah seorang Vietnam di tepi jalan, dan barulah saya mengerti mengapa mereka begitu getol nongkrong di luar. Rumah itu gelap, bagaikan lorong, dari depan sampai ke belakang, dan hal ini kemudian saya temukan berkali-kali. Yah, lain padang lain belalang. Di Vietnam, agaknya, luar rumah adalah bagian dari dalam rumah.

Menghirup Udara Malam

Seringkali saya berpikir, keinginan untuk bersantai ini cukup ngotot. Di Da Nang misalnya, sebuah kota kecil yang sepi, barangkali sebesar Klaten, bertebaran apa yang disebut ‘karaoke’. Kata karaoke, yang selalu ditulis ‘kara-oke’, saya beri tanda kutip, karena selain tak terlihat orang menyanyi –meski memang terdengar lagu-lagu– juga karena cuma merupakan semacam tempat minum remang-remang yang terbuka. Tempat seperti ini banyak sekali, mungkin hampir sepanjang jalan, penuh dengan anak-anak muda fashionable — tapi yang di tempat parkirnya berjajar-jajar sepeda!

Agak lain tentu saja Ho Chi Minh City — barangkali malah yang disebut hiburan malam adalah unggulan kota ini. Hampir setiap kali naik cyclo, yang mana saja, pertanyaan satu ini selalu muncul, “You want lady?” — dan kadang-kadang ini setengah dipaksakan, barangkali karena dipikir siapalah yang mampu menolaknya?

Suatu malam, setelah seharian memotret semenjak dinihari, saya bermaksud mencari segelas bir, sekadar supaya lebih gampang tidur. Jadi saya lambai sebuah cyclo. Belum apa-apa si tukang cyclo, seorang anak muda, mungkin masih 20-an, sudah bertanya, “You want lady?” Saya katakan padanya, saya cuma mencari bar yang murah untuk minum segelas bir. Eh, dia langsung ngoceh. “Saya sudah bekerja lima tahun sebagai cyclo-driver,” katanya, “I know everything in this city. You want massage? I know nice pretty lady. Very young. You can do everything you want.” Pada kalimat terakhir ini tangannya bergerak-gerak memperagakan, seperti memegang-megang. Astaga. Lantas ia bilang, ia tahu sebuah ‘little nice green bar’. Maka kami pun ke sana. Saya sudah curiga ketika cyclo ini berhenti di sebuah lorong yang gelap. Dari kerumunan orang main kartu, datang seseorang yang langsung membuka gembok sebuah pintu. Lho, bar kok dikunci dari luar, pikir saya. Si tukang cyclo menggamit saya masuk.

Ruangan itu memang temaram kehijau-hijauan, tapi sama sekali tidak seperti bar. Cuma ada sebuah sofa, dan dari balik tirai tipis, saya lihat kamar mandi. Wah, ini jebakan, pikir saya, dan langsung berbalik ke arah pintu. Namun sudah ada tiga wanita secantik Gong Li mencegat saya di pintu itu. “No, no, no, no,” kata saya. Dan wanita-wanita ini dengan manjanya bertanya, “No? No? Why?” Pertanyaan mereka sangat logis. Sudah secantik itu, sudah sewangi itu, dengan bahu terbuka dan belahan rok yang dahsyat, kok masih tidak mau?

Si tukang cyclo tidak habis pikir, dia bawa lagi saya ke tempat lain. Dikiranya ini cuma soal selera. “Sudahlah,” kata saya, “balik ke hotel.” Saya tidak jadi minum bir, dan syukurlah tetap bisa tidur. Setelah peristiwa ini, setiap kali ada orang mendekati saya dengan wajah penuh arti, belum-belum saya sudah bilang, “No! No! No lady!”

Tapi, pada malam lain, seorang bocah yang berusaha menawarkan segala hal, mendesak, “You want lady?” Seperti biasa, saya jawab, “No!” Eh, masih disambung lagi, “You want boy?” Busyet. Memangnya ada tampang? Saya tertawa geli. Si bocah juga tertawa, rupanya dia malu sendiri.

Sambil berjalan sendirian menyusuri jalanan Saigon pada pukul 24.00 itu, saya tidak habis pikir, seorang bocah menawarkan yang begitu-begitu…

Bagai Naga Tergugah

Saya tadinya memasuki Vietnam dengan hati yang kosong, perasaan yang rawan, dan kepala yang butek karena segala macam tetek-bengek di tanah air. Saya berjalan dari kota ke kota, dari hotel ke hotel, dari warung ke warung, menyeberangi gunung dan ngarai tanpa berpikir, seperti memasuki sebuah dunia yang hanya merupakan gumpalan awan putih, sampai suatu ketika langkah saya tertahan di tepi sebuah sungai, sekian puluh kilometer di luar kota Hanoi.

Saya sedang duduk di tepi sungai, memperhatikan seorang penangkap ikan mengambil ikan besar yang menggelepar di jalanya, ketika ada gadis kecil mendekati saya dengan matanya yang berbinar. Entahlah apa yang dia katakan, tapi wajahnya yang murni membuat saya tersenyum padanya. Gadis kecil itu, seperti anak-anak Vietnam lain, mengenakan caping.

Ia tertawa-tawa sambil memegang lengan saya, mengelus-elusnya. Saya tatap matanya, saya tidak tahu persis mesti bicara dengan cara bagaimana, jadi saya pegang tangannya — dan sesuatu berdesir di dada saya. Ia tertawa lagi. Kemudian menjauh, dan berlari, menghilang dalam kerumunan orang-orang berjualan.

Seorang nenek tua yang menjual emping sebesar tampah tersenyum, sembari memandang saya dengan penuh pengertian. Nenek itu juga mengucapkan sesuatu, lantas menepuk pundak saya, kemudian pergi dan menghilang. Entah bagaimana perasaan saya saat itu. Saya cuma merasa, saya tidak perlu lagi khawatir dengan persoalan seberat apa pun.

Dalam hati saya bertanya-tanya, bagaimanakah caranya semua pertemuan ini diatur, bagaimana caranya orang-orang ini datang kepada saya dan menghidupkan kembali kepercayaan saya kepada hati manusia.

Di Taman Lenin, Hanoi, saya melihat seorang gadis remaja mengeja buku pelajaran bahasa Inggris. Saya perhatikan bagaimana matanya menancap ke buku itu, bagaimana bibirnya bergerak-gerak mengeja, dan betapa khusyuk ia di bangku itu, sementara sepedanya tersandar di sebuah pohon. Pemandangan ini, memang, mewakili semangat Vietnam — kita bagaikan melihat semangat kebangkitan.

Saya memotret suasana di tepi Sungai Saigon, di antara orang-orang latihan tai-chi pada pukul 05.00 pagi, dan melihat semangat kerja yang sangat militan. Arus pekerja mengalir diantar kapal penyeberangan, begitu pintu ferry terbuka, menghamburlah mereka memenuhi kota.

Embargo perdagangan AS sudah dicabut, dan hubungan diplomatik dipulihkan. Tentu bukan hanya ini yang membuat Vietnam bagaikan naga tergugah, melainkan terbukanya peluang untuk meraih mimpi-mimpi yang sudah lama diangankan, sembari mengusir mimpi buruk — tak ada seorang Vietnam pun bergairah jika diajak bicara tentang perang.

Masyarakat Vietnam bagaikan sejumlah pelari yang melakukan start di jalur ekonomi, tapi seolah-olah dengan jarak lomba yang cuma 100 meter. Lihatlah bagaimana setiap orang membangun hotel. Meski cuma memiliki rumah seluas rumah BTN tipe 21, tetap dibangun tujuh tingkat ke atas.

Ini menciptakan atmosfir yang ajaib. Kadang-kadang rumah tipe 21 yang tujuh tingkat itu terletak di tengah sawah.

Wanita Berbusana Menerawang

Kata orang, wanita Vietnam itu erotik. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Saya pernah melihat gambar-gambar cetak saring yang bagus dari wanita-wanita Vietnam, di sebuah art gallery di Ho Chi Minh City, gambar-gambar yang sungguh erotik dan sensual, namun yang membuatnya adalah seorang seniman Perancis.

Wanita Vietnam, agaknya, punya cara sendiri untuk menampilkan erotisisme. Ketika mula-mula datang, saya tidak ngeh, bahwa busana kaum wanita Vietnam itu banyak yang menerawang, sehingga ‘kapal terbang’ mereka ini banyak yang transparan, kelihatan samar-samar. Lama-lama saya sadari, bahwa memang kebanyakan wanita muda Vietnam, dari Selatan sampai Utara, bergaya busana seperti itu.

Namun yang paling belakangan saya sadari adalah: ternyata bukan hanya ‘kapal terbang’ di atas itu yang nampak menerawang, melainkan juga ‘kapal selam’ bagian bawah! Terutama jika mengenakan busana tradisional ao dai. Busyet. Saya kira tadinya itu tidak sengaja, tapi setelah melihat hal yang sama bahkan pada seragam lembaga-lembaga resmi seperti Vietnam Airlines, saya baru sadar bahwa itu cara wanita Vietnam menampilkan erotisisme.

Membayangkan sejumlah laki-laki Vietnam, saya tersenyum sendiri, kaum laki-laki Vietnam ini pasti berbahagia dengan wanita-wanita mereka.

Toh harus dicatat, bahwa wanita-wanita Vietnam ini tidak cuma bermodal sensualitas. Sudah menjadi legenda, betapa gerilya wanita Vietnam sama besar sumbangannya dengan kaum pria. Melihat lorong-lorong persembunyian mereka di Cu Chi, yang begitu sumpek dan panas, saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan, apalagi dengan beban tambahan seperti melahirkan bayi dan lain sebagainya.

Kaum wanita Vietnam ini pastilah wanita-wanita yang hebat, tanpa harus kehilangan kewanitaannya. Dengan cara lain saya mengenal hal ini, ketika seorang gadis kecil mendayung sampan bambu yang saya sewa untuk memasuki sebuah ceruk di tengah laut di Ha Long. Ia begitu kecil, wajahnya begitu manis di bawah caping, tapi ia mendayung dengan kukuh.

Hujan deras, laut bergelombang, saya pikir kami pasti akan tenggelam, namun kami berhasil mencapai gua yang menembus ke ceruk itu, yang segera menampakkan salah satu keajaiban alam.

“Beautiful?” Ia bertanya. “Like you,” jawab saya — dan ia tersenyum, sama sekali tidak malu-malu. Gadis itu hidup bersama keluarganya di atas sebuah perahu, yang nampak juga tertambat di lorong gua. Rasanya sampai sekarang saya masih harus selalu memahami kembali, bahwa cara hidup orang itu memang bermacam-macam. Juga di Vietnam.
User avatar
Bolenk
astacala.org addict
Posts: 571
Joined: Sat Feb 10, 2007 7:48 am
Location: Nomaden
Contact:

Re: Sharing : Sebuah Catatan Perjalanan

Post by Bolenk »

nice info gan..
Last man standing..
Post Reply