Belajar Dari Lemari

Yang butuh motivasi, butuh jalan keluar, putus asa, mencari kebahagiaan dan arti hidup
Post Reply
User avatar
Adek
astacala.org geek
Posts: 858
Joined: Fri Feb 18, 2005 1:47 pm
Location: North Pole
Contact:

Belajar Dari Lemari

Post by Adek »

Sharing tulisan dari seorang mentor..
mudah-mudahan bisa membuat kita belajar juga..

Salam hangat dari utara,
enamdua

-
Sebenarnya sudah sejak awal saya kuliah S3 di Swedia, saya bertanya, mengapa setiap masuk ke divisi saya, saya merasa environment nya sedikitgloomy. Berbeda dengan divisi lain yang main entrance nya terdapat sofa yang empuk, meja santai, gambar-gambar karikatur atau bahkan foto Professor, researcher, dosen dan PhD students/candidate di divisi tersebut,main entrance di divisi saya adalah lemari besar berwarna putih dengan tumpukan paper dan buku-buku. Walaupun tidak bisa dikatakan kotor juga, karena semua buku dan kertas tersebut diatur sesuai dengan file-file dengan sub judulnya.

Belakangan saya mengerti bahwa lemari besar itu adalah library dari kepala divisi yang kebetulan menjadi supervisor saya. Dan barulah saya tahu juga bahwa buku dan paper tersebut adalah koleksi buku-bukunya ketika menamatkan bachelor di Stockholm School of Economics dan Master dan Doktornya di Chalmers. Waktu saya tanyakan, mengapa lemari besar itu menganga di pintu utama, spiritnya adalah ketika kita mulai masuk dalam divisi ini, culture yang terbentuk adalah paper-paper-dan-paper sedari awal. Saya jadi ingat, minggu pertama masuk kuliah, sambil mengambil course, kita “dipaksa” untuk membuat abstract. Hampir 4 bulan pertama kerjaan saya membuat abstract yang revisinya lebih panjang dari abstract nya. Pada waktu yang sama saya juga diberi set data survey. Sambil mengirim data, prof saya bilang “coba nih data ente bikin apa dah, ane mau lihat”..Pendek kata : menulis, membaca, menulis, membaca..dan berhitung.

Nah, kembali ke masalah lemari putih di atas (iya, kalimat kedua paragraph pertama), pendek kata lemari itu begitu special buat Prof saya, semua bahan literature, jurnal-jurnal lama, buku catatannya waktu kuliah S1, S2, S3 semua ada di situ. Dokumen-dokumen saat dia “meniti karir” hingga sekarang menjadi editor di salah satu jurnal dan Chair di salah satu organisasi keilmuan. Dia begitu bangga dengan lemari itu seperti sesorang bangga dengan barang memorabilia. Beberapa bulan yang lalu, karena aturan dari Departemen di mana furniture lama harus diganti, perombakan ruangan, dsb. Lemari-lemari putih itu ahirnya harus mengalah dan diganti dengan furniture baru.

Setelah isinya dipindahkan , saya jadi ingat kalau sekat mushola , yang memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan di Chalmers kondisinya saat ini begitu kekrep (reyot). Beli sekat baru? Ide yang bagus! IKEA memang tidak begitu jauh dari kampus. Tapi karena saya sendiri saat ini juga "terpaksa" sebagai bendahara Chalmers Islamiska Forening (CIF):) saya tahu betul membeli furniture baru saat ini seperti membelanjakan uang ketika APBN defisit, hampir tidak mungkin. Melihat budget yang ada mustahil bin mustahal kecuali ada donatur.

Atas dasar itu, saya beranikan diri bertanya,

“Boleh gak ya kalau lemari-lemari itu saya pindahkan ke MUSHOLA di student Union?”.

Saya berpikir bahwa saya terlalu risk lover bertanya hal itu, karena Profesor saya saat ini juga menjadi ketua ta’mir salah satu gereja terbesar di Gothenburg. Masa mudanya ketika seharusnya mengikuti wajib militer di Swedia diganti dengan pelayanan gereja yang ndilalah tidak jauh dengan tempat tinggal saya sekarang. Sebuah komposisi yang (menurut saya) sangat langka di Swedia yang cenderung tidak religious; seorang professor tapi masih begitu beragama. Plus saya juga tahu dia sangat mencintai lemari-lemari putih itu. Dan, lemari itu saya minta untuk ditaruh ke..mushola?

Ternyata saya tidak membutuhkan bulan, hari atau jam mendapatkan jawabannya.

“Oh iya, tentu saja, ambil saja.”

Dia malah menyuruh saya mengambil semua lemari itu walaupun saya hanya butuh 2-3 lemari saja (ada 8 pc semuanya). Ketika hari pemindahan datang, saya memang prefer hari Jumat ketika ruangan dalam kondisi mulai sepi. Tapi tetap saja..Hari Jumat adalah “hari nasional” teman-teman Pakistan dengan pakian tradisional nya. Jadi bisa dibayangkan, divisi saya yang memang agak jarang mahasiswa asingnya, sore itu kedatangan orang-orang berwajah Asia Selatan, beberapa orang menggunakan baju khas, panjang sampai lutut. Karena lemari-lemari tersebut cukup berat merekapun berkoordnasi dan berkomunikasi dengan bahasa Urdu,
"kiri..kiri...angkat..." Cukup gaduh di koridor yang ternyata lebih ramai daripada yang saya perkirakan karena mereka menjemputnya lebih awal. Tapi beberapa orang administrasi dan professor saya sendiri justru melepas “proses pengambilan barang” tersebut dengan senyum…Alhamdulillah.

Lesson learned nya, pertanyaan menjadi cukup trivial bagi saya,
“Kalau saya dalam posisi professor saya, apakah saya juga rela melakukan hal yang sama?”
Seorang asing, agamanya lain, mengambil salah satu barang yang dia senangi?
Terlalu banyak anjuran yang menyuruh kita shodaqoh, beramal baik dan ikhlas, tapi menurut saya, tiba waktunya amal baik itu untuk umat beragama lain kita akan berpikir jauh lebih berkali-kali lipat. Selalu timbul atau dibarengi dengan pertanyaan, jangan-jangan….jangan-jangan….

Sedikit berkelakar saya juga menanyakan hal yang sama ke teman Pakistan ketika sekarang lemari itu sudah berdiri rapi dalam mushola –nampak mentereng dan masih bagus--, “Kalau kamu jadi dia, kira-kira kamu rela gak ngasih barang ini, dan teman saya hanya membalas dengan senyuman.

Menurut saya beragama dan keputusan memeluk agama itu suatu proses interaksi demand-dan supply. Tidak serta-merta orang mendengar adzan setiap hari kemudian dia menjadi Muslim, tidak serta merta setiap hari mendegar lonceng gereja seorang menjadi Nasrani. Toh Islam juga mengajarkan kita berpikir dan meretrospeksi; bagaimana dengan anak-anak Nabi Nuh? Bagaimana dengan istri Nabi Luth? Bagaimana dengan ayah Nabi Ibrahim? Bagaimana –bahkan-Abu Tholib? Mereka tidak hanya hidup dalam masa kenabian, tapi bahkan tidak putus-putusnya para Nabi yang hubungannya dengan Allah laksana tanpa batas mendoakan mereka agar berTauhid. Ketika Allah tidak berkehendak, ya tidak terwujud. Singkatnya adainvisible hand yang benar-benar itu adalah prerogative Allah SWT sementara da’wah hanyalah tools.

Ada seorang teman Swedia yang menikah dengan orang Philippines, sebelum menikah si calon istri bilang “kamu boleh nikah sama aku, tapi minimal kamu beragama dong..dan jangan Islam”. Singkat cerita saat ini keduanya termasuk paling sering datang di halal bihalal warga Indonesia dan si istri memakai jilbab. Logikanya jika hal yang sama sebaliknya terjadi di sekeliling kita, seharusnya kita juga tidak kaget, karena justru itu menunjukkan Allah maha kuasa yang bisa membolak-balikkan semua keadaan. Sehingga tugas kita “hanyalah” bagaimana kita berusaha konsisten dan mendidik keluarga kita sebaik mungkin dengan nilai-nilai agama serta memperkenalkan bahwa dunia itu tidak semuanya sama dan homogen; perlu kedewasaan berpikir dan bertindak. Justru pertanyaannya adalah bagaimana agama yang kita anut coexist dengan kondisi yang ada di sekililing, dengan standar yang sama-sama bagusnya : timely, disiplin, bersih, jujur, terutama ketika kita tidak mayoritas.

Selain itu, saya juga percaya bahwa kualitas beragama kita juga akan memiliki pola creative destruction-‘ala Schumpeter. Atinya kita akan semakin terpacu belajar agama ketika kita juga distimulus dari luar, mencoba untuk bertanya dan membuka tabir-tabir ilmu agama karena perbedaan dan tantangan dari luar. Hal ini akan membuat kita tidak lagi menjadikan Islam sebagai agama turunan dengan kualitas iman dan islam yang ala kadarnya.

Lemari putih..Saya yakin mulai Maghrib kemarin si Lemari putih itu akan senang di tempatnya yang baru, menjadi sandaran buat mukena dan Al Qur’an, mendengarkan adzan 5 kali sehari dan alunan Al Qur’an, sekaligus berhasil menampar kami-kami di sini bahwa berbagi dan memberi akan lebih utama pada barang yang kita cintai dan kepada sesama tanpa melihat agamanya.

Wallahu a'lam bishowab

Ibrahim Kholilul Rohman
“Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover." -Mark Twain-
--
http://lailiaidi.blogspot.com
Post Reply