Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Yang butuh motivasi, butuh jalan keluar, putus asa, mencari kebahagiaan dan arti hidup
Post Reply
User avatar
Adek
astacala.org geek
Posts: 858
Joined: Fri Feb 18, 2005 1:47 pm
Location: North Pole
Contact:

Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Adek »

Salah satu posting tentang seri belajar lain dengan metode benchmarking yang sama.
Versi awalnya ada disini dan sempat menjadi highlight di kompasiana. Silahkan jika ada tambahan.

enamdua
--
Belajar dari Cina dan India: Memaknai Nasionalisme

Kebetulan saya tidak sedang berada di tanah air semenjak beberapa saat yang lalu. Dan banyak hal yang baru pertama kali dilihat, yang berbeda dengan yang saya temui selama hidup Indonesia. Dan sering kali hal - hal tersebut saya diskusikan dengan rekan-rekan di Indonesia, baik di mailist list, forum diskusi, dll. Namun terkadang ada sesuatu yang mengganjal yang saya rasakan. Beberapa kali respon yang saya baca justru negatif, hingga tuduhan tidak nasionalis, dsb dan hal lain yang tidak saya duga akan didapatkan dari berbagi informasi biasa, yang tujuannya sekedar menambah wacana.

Hal ini sedikit banyaknya menjadi pertanyaan bagi saya. Sebagai contoh ketika sedang berdiskusi topik bekerja di suatu negara di mancanegara, tiba - tiba mucul respon seperti "seburuk apapun negri kita... Ya itu tetap negri kita yang harus kita bangun" atau "cinta tanah air sebagian dari iman", atau "jangan sampai kayak manohar*, giliran udah sengsara di negri orang baru deh", atau ketika sharing mengenai berita, "Selangkah lagi WNI Tak Perlu Visa Untuk ke Eropa", terdapat komentar seperti, "pariwisata indonesia akan turun, karena lebih murah berwisata ke eropa dari pada dalam negri sendiri."

Saya heran. Sungguh. Benar - benar heran. Nah agar keherananan itu tidak menjadi hal yang negativ, saya putuskan untuk menulis.

Pertama, membangun negri tidak selamanya harus berada di negri yang kita bangun. Lebih lanjut, tidak bekerja dan berada ditanah air tidak berarti membuat seseorang tidak cinta tanah airnya.

Dalam kasus visa diatas, menurut saya ada sisi positif yang sebenarnya jelas bisa dilihat. Salah satunya, warga manca negara akan berpotensi tambah banyak berkunjung ke indonesia. Mengapa bisa begitu? karena makin bertambah kesempatan untuk mereka untuk mendapat informasi tentang indonesia, semakin sering bertemu dengan orang indonesia asli, bertukar informasi. Sebagai contoh, beberapa kali saya berdiskusi dengan traveller manca-negara dan mencari tau apa yang mereka tau tentang Indonesia. Dan not surprise, umumnya masih sebatas Indonesia banyak teroris, dan yang tidak toleran. Menyedihkan memang. Namun saya tidak heran, karena itu yang umumnya mereka dapat di media lokal mereka. Kita seharusnya bisa berkaca pada malaysia, singapura, dll mereka sudah lebih dikenal pariwisatanya, dan terlebih penting penerimaan dan asumsi positif yang didapat secara umum.

Contoh lain, seperti yang diungkapkan seorang rekan, akan banyaknya daerah-daerah yang sangat besar potensi wisatanya namun masih sulit dijangkau, baik dari darat, laut, maupun udara dan minim fasilitas. Kemudahan untuk mengakses daerah potensi wisata tersebut, akan bisa ditingkatkan salah satunya dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung disana. Karena pada umumnya daerah-daerah seperti itu sedikit lebih mahal untuk dikunjungi karena masih minimnya transportasi, sehingga wisatawan international-lah (yang memiliki kecenderungan untuk membelanjakan budget lebih besar) yang berpotensi besar untuk mempercepat pengembangan area wisata itu, yang pada akhirnya sekaligus mengembangkan ekonomi rakyat sekitar.

...
...

Kedua, kebetulan beberapa waktu yang lalu kebetulan saya membaca artikel "India's Leading Export: CEOs". Saya sempat beberapa kali berdiskusi ringan juga dengan kawan-kawan mengenai ini, yang memang tidak ada habisnya, baik mengenai sepak terjang mereka didunia kerja atau dikampus, begitu juga jika berbicara tentang Cina.

Dan memang setidaknya itu juga yang saya lihat di swedia. Seorang kawan pernah bercerita, ia heran kok tetangga kamar sebelah (yang rekan indihe) berganti-ganti wajahnya...ternyata selidik punya selidik, oalah..ternyata kamar untuk 1 orang diisi ber-6 :) Juga saya tidak pernah melihat rekan dari cina yang tidak membawa makan siang ke kampus, pun selalu paling lama pulangnya, walaupun sudah tidak ada kelas, tinggal di study room, biasanya dengan rekan sesama dari cina juga, kadang disambi nonton dan buka facebook versi cina (saya lupa nama websitenya).

Menurut Anies Baswaden, negara mereka setiap tahun menghasilkan ribuan doktoral baik dari US atau Eropa. Jika kita perhatikan website-website universitas terkemuka di Amerika, maka kita dapat menemukan banyak sekali mahasiswa Cina dan India, baik sebagai dosen atau postgraduate (doctorate) student disana. Idealnya, tiap 5 postgraduate asal Cina, 4 postgraduate asal India, maka seharusnya ada 1 orang postgraduate asal Indonesia, berdasarkan rasio jumlah penduduk. Namun, tidak begitu kenyataannya, setidaknya saat ini. Dan, untunglah hal ini sudah mulai disadari pemerintah, dengan menaikan anggaran pendidikan dan mengirimkan banyak anak-anak Indonesia belajar dengan beasiswa di negara lain. Mudah-mudahan dalam beberapa tahun akan mulai sedikit nampak impact-nya.

Ada salah satu perbedaan mendasar yang bisa kita lihat dari bagaimana kedua negara ini mencapai hal serupa. India menurut saya cenderung lebih terbuka, salah satu contoh dimulai dari pendidikan dini yang sudah berbasis bahasa inggris. Contoh lain, India memberlakukan dual citizenship, yang salah satunya bertujuan untuk memudahkan warga negara mereka yang menjadi expat dapat bergerak lebih leluasa dinegara tempat mereka 'berkarya' tanpa harus kehilangan kewarganegaraan india-nya, apalagi dibilang tidak nasionalis. Sedangkan Cina sedikit lebih eksklusif dalam mempertahankan ke-Cina-annya. Yang menjadi sesuatu kelebihan juga menurut saya, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri bahkan membanjiri negara lain dengan produk dalam negri mereka. Semua aspek dalam kebijakan negara dan produk yang digunakan rakyak, didesain untuk mensuport kemandirian ekonomi mereka, dari facebook versi cina, google versi cina, iphone versi cina, sampai sepak terjang si kipas merah.

Terlepas dampak pros dan kons dari kebijakan dan model ekonomi mereka, jika ditarik benang merah, ada aspek yang patut diacungi jempol dan dipelajari dari mereka: sikap mental DETERMINASI, TIDAK GENGSI, dan BERANI HIDUP SUSAH..dalam arti kata ga jago kandang. Sehingga jangan heran, jika India saat ini disebut sebagai peng-export CEO terbesar di dunia. Dan Cina dengan produk-produk affordable. Dan sudah menjadi penerimaan umum dalam masyarakat mereka: Berada dan berkarya di negri orang bukan berarti tidak nasionalis, tapi menjadi kesempatan untuk memberi impact pada tanah air. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah polulasi besar didunia, tentu bisa mencapai prestasi yang serupa, dengan cara ke-Indonesiaan kita.

Marilah kita berpikir positif, tidak selamanya segala yang berasal dari luar tidak patut dicontoh, dan vice versa, dan melihat dari hal - hal yang baru, menilai apa yang baik dan buruk secara objektiv, sehingga kita tidak menjadi bagian dari orang-orang kuper dalam masyarakat global ini. Tidak segala sesuatunya harus dihubung-hubungkan dengan nasionalisme, yang akhirnya menjadi nasionalisme kesempitan. Akhir kata, saya teringat kalimat bapak Rhenald Kasali di tulisan beliau berjudul Passpor, “Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan.”
“Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover." -Mark Twain-
--
http://lailiaidi.blogspot.com
User avatar
Gejor
astacala.org addict
Posts: 529
Joined: Wed Mar 30, 2005 5:10 pm
Location: Jakarta
Contact:

Re: Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Gejor »

Di dunia telekomunikasi di Indonesia, nasionalisme India dan Cina sudah sangat kelihatan.
Lihat saja Amdocs dan Huawei, isinya dari negeri mereka semua.
Kalau dari segi kemampuan, Indonesia (khususnya stt telekom) mah nggak kalah. Kalau dari segi lain, ....

..................... :ngacir:
User avatar
Onie
astacala.org maniac
Posts: 233
Joined: Tue Feb 15, 2005 3:08 pm
Location: earth
Contact:

Re: Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Onie »

Gejor wrote: Kalau dari segi kemampuan, Indonesia (khususnya stt telekom) mah nggak kalah. Kalau dari segi lain, ....

..................... :ngacir:
jadi lo mau bilang lo kalah dari segi apa cuy?
User avatar
Adek
astacala.org geek
Posts: 858
Joined: Fri Feb 18, 2005 1:47 pm
Location: North Pole
Contact:

Re: Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Adek »

klo saya lihat kelemahan anak2 muda indonesia (sec. general aka stereotyped point of view), adalah kurang 'aggressive' secara tindakan maupun bahasa.

Yang saya amati, kelemahan itu sebenarnya juga ada pada rekan2 cina dan india, bedanya mereka ga borong dua-duanya. Rekan-rekan cina, tidak fasih berbahasa international (inggris) dan kurang banyak omong, tapi aggresive dalam tindakan (sec. general aka stereotyped point of view). Sedangkan rekan-rekan India, fasih berbahasa international dan tampak meyakinkan / aggresive dalam berbahasa, tapi kadang-kadang sedikit kerja, apalagi klo kerja dalam tim (sec. general aka stereotyped point of view). Nah klo orang south east asia / indonesia khususnya, umumnya punya mental: yo wes monggo (bukan menyinggung suku, just to describe it efficiently).. nah jadi ya begitu, keduluan orang lain terus.

DI swedia dan banyak kota-kota eropa, honestly saya belum pernah ketemu orang asia (timur) yang menjadi pengemis atau homeless, umumnya mereka sebagai tenaga kerja atau pelajar. Sumber permasalahan pemerintah di kota-kota eropa menyangkut imigran biasanya berasal dari asia tengah dan/atau afrika. sekali lagi ini penilaian secara general, mungkin akan terdapat beberapa pengecualian.

Banyak dari rekan-rekan eropa dan saya juga pernah membaca tulisan seorang rekan yang sedang study di us, saingan yang mereka takuti sebenarnya bukan sesama rekan eropa atau us, tapi rekan-rekan asia (terutama asia timur), karena faktor2 yang disampaikan ditulisan diatas.

enamdua
“Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover." -Mark Twain-
--
http://lailiaidi.blogspot.com
Jimbo
astacala.org addict
Posts: 555
Joined: Sun Sep 25, 2005 9:25 am
Location: Ciledug-TGR
Contact:

Re: Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Jimbo »

Adek wrote:klo saya lihat kelemahan anak2 muda indonesia (sec. general aka stereotyped point of view), adalah kurang 'aggressive' secara tindakan maupun bahasa.
sepertinya ini tidak hanya 'anak2 muda', tapi secara umum memang seperti itu. budaya dan kebiasaan. 'anak2-tua' yang bahkan mapan dalam pendidikan, menunjukan gejala yang serupa
User avatar
Gejor
astacala.org addict
Posts: 529
Joined: Wed Mar 30, 2005 5:10 pm
Location: Jakarta
Contact:

Re: Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Gejor »

Onie wrote: jadi lo mau bilang lo kalah dari segi apa cuy?
Kalah ganteng Coi... ](*,)

Kalau secara umum yang disampaikan Adek sepengamatan saya memang benar. Orang Indonesia kebanyakan kurang agresif. Budaya malu-malu dan suka santai sepertinya, jadi ya abis lah disikat setiap kesempatan sama mereka. Kalau berkomunikasi dalam pekerjaan biasanya komunikasi lebih banyak dalam tulisan / email, jadi lebih memudahkan sebenarnya. Sedangkan dari komunikasi lisan, berkomunikasi untuk kalangan Cina dan India dibandingkan Indonesia sepertinya tidak jauh berbeda, logatnya saja yang mempengaruhi mudah tidaknya kita memahami. Ada rekan saya orang Newzealand yang logat bahasa inggrisnya tidak jelas masuk ke telinga, sebelumnya saya kira rekan dari Indonesia atau Asia saja yang susah mengerti, ternyata rekan dari Kanada yang sama-sama bule atau berkulit putih dengannya juga susah mengerti. Jadi pede-pede saja lah.

Kalau titik-titik yang saya tulis sebelumnya yang ditanyakan Onie lebih saya maksudkan kepada lindungan pemerintah pada warganya atas ekspansi orang luar (kalau ganteng mah saya tidak takut bersaing). Jadi selain lemah bersaing karena malu-malu, kurang lindungan dari pemerintah juga mendukung.
Jadi bisa dikatakan pemegang kebijakan di dalam perusahaan asing yang berdiri di Indonesia lebih dominan dikuasai oleh orang luar, orang lokal sebagai tuan rumah kebanyakan menjadi kuli. Begitu juga dengan aturan perbandingan tenaga kerja asing dan lokal di Indonesia (jumlahnya saya kurang tahu, yang pasti orang lokal harusnya lebih banyak), dari segi pengamatan saya sendiri perbandingan tersebut tidak sesuai dan sangat jarang menjadi perhatian. Kalau dengar cerita teman-teman yang pernah expat ke negeri tetangga semacam Malaysia atau Singapura, pemerintah di sana sangat mengutamakan warganya daripada orang luar.
User avatar
Adek
astacala.org geek
Posts: 858
Joined: Fri Feb 18, 2005 1:47 pm
Location: North Pole
Contact:

Re: Belajar dari Cina dan India : Memaknai Nasionalisme

Post by Adek »

Mengenai bahasa, mungkin supaya clear maksudnya adalah lebih pada faktor kurangnya percaya diri dalam berkomunikasi dengan orang asing dengan bahasa asing. Orang india klo diperhatikan betul, sebenarnya mereka umumnya tidak bagus dari sisi grammar (bisa coba di test: suruh menulis, dan lihat hasilnya). Hanya saja mereka sudah terbiasa dalam menggunakan bahasa asing itu sedari masa sekolah, sehingga lebih percaya diri dalam menggunakan bahasa itu (saya malah ga habis pikir, kok bisa dengan reflek geleng2 kepala begitu masih pd ngomong, padahal yang diajak ngomong udah susah nahan ngakak :>)

Sedangkan mengenai gaya/logat bahasa inggris sendiri memang ada banyak aliran, orang new zealand contohnya, disebut sebagai the fastest (and weird sound) english in the world (ini disampaikan oleh guru bahasa inggris dan sertifikasi IELTS saya yagn kebetulan orang NZ). Dan memang betul, sesama english speaker pun kadang sulit mengerti satu sama lain dan saling olok2, example: british english, canada, ausie, nz, ireland, us english.

Sekedar intermezo.

Kembali ke topik, saya melihat sebenarnya ada hal yang tampak jelas dari hal diatas, bahwa ada degradasi percaya diri sebenarnya sedang tumbuh subur dalam masyarakat kita saat ini. Kecendurungan memandang rendah diri sendiri, dan menganggap sesuatu dari luar lebih baik (khususnya dari barat). Kalaupun tidak, degradasi percaya dirinya digempur (dan ditutupi) dengan sikap antipati (yang sering kali berlebihan), sehingga menimpulkan subjektivitas dalam menyikapi sesuatu dan strategic decision terhadap apa yang berguna/tidak berguna, baik/salah.

Bisa kita benchmark negara tetangga, malaysia misalnya, suka tidak suka, mereka bisa kita jadikan contoh cara menyikapi bangsa asing, bahkan terhadap ex-penjajah. Malaysia menurut saya, terlepas kemerdekaan nya adalah 'hadiah', tidak menumbuhkan antipati berlebihan, sehingga hal-hal yang useful dari ex-penjajah masih dipakai. Salah satu contoh: tingkat absorbsi bahasa inggris dalam kehidupan berbicara masyarakat malaysia. Itu salah satu contoh sikap internationalize orang malaysia. Hal lain yang bisa menjadi contoh sikap nasionalis: sudah menjadi rahasia umum tentang layer-layer dalam masyarakat mereka (warga negara keturunan melayu should be first, then followed by cina and india, walaupun sama2 warga negara malaysia!). Nah, Di Indonesia selepas kemerdekaan, ada antipati yang sangat besar terhadap belanda dan penjajah2 itu, sehingga wajar tidak banyak orang indonesia yang bisa berbahasa belanda saat ini, padahal kemampuan sebagai polygot (ability to speak foreign languange) adalah investasi. Memang perlu juga dipahami memang saat paska kemerdekaan itu, bangsa ini sedang dalam proses mendevelopt bahasa indonesia. (NB: Ada hal yang lucu sebenarnya dari hal ini, fakta bahwa saat ini justru bahasa indonesia yang un-officially jadi bahasa kedua di belanda. sehingga kawan saya bernah berpesan, klo di belanda, jangan sekali2 mengomentasi orang (gaya pakaian, tingkat kecakepan, dst), bisa jadi dia mengerti bahasa indonesia! Jadi bisa dikatakan, justru (bahasa) indonesia sedang gantian menjajah belanda :D)

Kesimpulannya adalah, perlu ada keseimbangan nasionalisme vs. internasionalisasi dalam berbahasa (dan bersikap). Yang paling menarik contohnya mungkin prancis. Orang-orang prancis sudah menjadi rahasia umum tidak suka dengan bahasa inggris (dan orang inggris), salah satu pentrigger ada pada sejarah perang dunia 2, ketika churcil memerintahkan sekutu untuk menggempur habis-habisan beberapa kota di prancis dalam rangka mengusir nazi dari prancis, yang juga menyebabkan banyak warga sipil prancis terbunuh. Sehingga sudah mahfum dikalangan traveller international yang akan ke prancis mengenai hal ini, banyak orang prancis yang ketika ditanya bahasa inggris tidak mau menanggapi, atau kalaupun menanggapi dijawab dengan bahasa prancis. Sebenarnya mereka (terutama anak2 mudanya) umumnya bisa berbahasa inggris. Saya sendiri memang diakui ada sentimen dengan ex-penjajah2 ini, yang membuat negara mereka jadi pilihan tempat terakhir yang bakal dijajal. Well, tapi bukan berarti hal-hal baik dari negara mereka tidak perlu kita absorb, bahkan Hatta, Tan Malaka, dll belajar di negri penjajah itu, dan fasih berbahasa mereka.

Kembali mengenai self-uncovident ini, bisa kita lihat juga di pola kebijakan di level pemerintah, yang paling kentara adalah perbedaan yang sangat besar dari standar gaji dan tunjangan yang harus dipenuhi perusahaan yang beroperasi di indonesia jika ingin meng-hire expat, yang lebih tinggi dari standar wni sendiri, yang pada akhirnya menimpulkan ketimpangan sosial yagn sangat besar di masyarakat. Terlepas dari faktor relokasi, dsb ini yang cukup unik sebenarnya karena tidak banyak negara di dunia ini yang memberlakukan hal serupa. Bahkan di swedia sendiri, negara yang sangat terbuka pada imigran di eropa, tidak punya kebijakan seperti itu, semua sama. Malahan ada perlindungan tidak tertulis, untuk mendahulukan merekrut orang swedia, baru orang yang bisa berbahasa swedia, baru orang asing (seperti yang disampaikan gejor).

Jika ditarik garis merah, kebijakan non-pro anak bangsa ini tidak hanya terjadi di standarisasi gaji, tapi juga dibanyak lini kebijakan lain, salah satu contohnya terhadap import vs perlindungan produk nasional. Rheinal Kasali pernah menuliskan berikut disalah satu note nya: "secara moralitas,tak ada bangsa yang secara tulus dan ikhlas membuka pasarnya secara bebas, murni 100%. Hanya bangsa yang bodohlah yang membiarkan pintunya dibuka lebar-lebar dan membiarkan ”beruang-beruang ekonomi” menari-nari memorak- porandakan pasar domestiknya."

Lalu bagaimana solusinya?
Menurut saya sederhana, tanamkan pada diri kita masing-masing dan mungkin adik-adik atau anak-anak kita, bahwa kita terlahir sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain, tidak ada yang lebih baik, atau lebih buruk, semua nya tergantung pada sejauh mana masing-masing pribadi mau berusaha untuk menjadikan dirinya lebih baik atau tidak. Dan juga tidak sepatutnya kita menghabiskan energi untuk berantipati buta terhadap sesuatu yang berasal dari luar, selama itu baik, kita absorb, jika buruk, tinggalkan. Dunia ini sedang bergerak cepat, ditambah fakta negara ini sedang berjalan dengan mode auto pilot, yang (klopun) diurus oleh kebanyakan orang-orang bermental korup, siapa yang cepat melihat peluang, itu yang akan selamat.


enamdua
“Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover." -Mark Twain-
--
http://lailiaidi.blogspot.com
Post Reply