Tan Malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Let talk about everythings here..
Post Reply
Gepeng
astacala.org maniac
Posts: 177
Joined: Wed May 24, 2006 8:17 am

Tan Malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Post by Gepeng »

welcometothejungle....

mencuplik dari ruang baca satu koran....

Mantan Ketua PKI dan wakil Komintern untuk Asia Tengara ini ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.

Pengusiran, pembuangan, penangkapan, dan pemenjaraan mewarnai kehidupan Tan Malaka sebagai konsekuensi atas perjuangan untuk kemerdekaan. “Siapa ingin merdeka harus bersedia di penjara,” tulis Tan Malaka. Dan, itu semua justru kian mengentalkan legenda atas dirinya.

Setelah 20 tahun mengembara dari negeri satu ke negeri lain, Tan Malaka pulang dan terus berjuang yang berakhir tragis di ujung bedil bangsa sendiri. Dan, lebih tragis lagi, namanya dipinggirkan oleh sejarah Orde Baru walau ia ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963.

Pria bernama lengkap Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu lahir di Desa Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897. Beruntung ia terlahir dari keluarga Minangkabau yang terpandang, sehingga pada usia 12 tahun ia berkesempatan mengecap sekolah pendidikan guru, yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lulus pada 1913, atas rekomendasi gurunya G.H. Horensma, dan berkat pinjaman dana dari para engku di Suliki Rp 50 per bulan, ia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk sekolah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) di Haarlem. “Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia,” tulisnya.

Di negeri Kincir Angin itu, Tan berkenalan dengan teori revolusioner, sosialisme dan marxisme-komunisme melalui buku dan brosur. Bahkan ia sempat diminta Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mewakili Indische Vereenging pada kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Kota Deventer. Melalui interaksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, ia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan Belanda. Keyakinan yang dipegang secara konsisten. Itulah masa awal dalam pengembangan politiknya.

Selama belajar di Belanda, Ipie—panggilan Tan di sana—kerap sakit akibat makanan dan iklim Belanda yang tak cocok, serta menderita pleuritus.

Pada November 1919, setelah kecamuk Perang Dunia I usai, pemuda cerdas itu pulang ke Tanah Air, dengan napas lega. Ia merasa terbebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I serta selesainya revolusi sosial Rusia.

Tan kemudian mengajar anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss di Deli, dekat Medan, Sumatera Utara. Di lingkungan perkebunan itu semangat radikalnya tumbuh ketika ia menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah.

“Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak,” tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara.

Pada masa itu, ia sudah mulai terlibat dalam politik, dengan menjadi anggota Indies Social Democratic Association (ISDV), yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di surat kabar terbitan ISDV, Tan mempublikasikan artikel pertamanya.

Ia pun kerap terlibat konflik dengan manajemen perkebunan orang Eropa atas isi pelajarannya kepada siswa. Konflik juga dipicu oleh artikel politik liberal yang dia tulis di koran lokal, serta kegiatannya sebagai aktivis serikat buruh, terutama pada pemogokan buruh kereta api pada 1920.

Pada akhir Februari 1920, ia pergi ke Jawa dan dimulailah babak baru kehidupan dengan terjun ke gelanggang politik. Awalnya di Yogyakarta tapi kemudian segera berpindah ke Semarang, kota yang disebut Tan sebagai “Kota Merah”, untuk mendirikan sekolah rakyat bagi anak-anak Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang didirikan Semaun. Ruang rapat Sarekat Islam Semarang diubah menjadi sekolah. “Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid,” tulis Tan Malaka.

Sekolah itu kemudian berkembang sangat cepat, yang dijadikan model sekolah lain di sejumlah kota di Jawa. Melalui sekolah itu, Tan menciptakan kader-kader baru.

Di luar pendidikan, Tan Malaka dengan cepat terjun dalam kerja politik: ambil peran kepemimpinan dalam sejumlah serikat buruh dan menulis artikel di sejumlah penerbitan PKI. Kepemimpinannya pun meroket tatkala pada kongres PKI 24-25 Desember 1921, ia terpilih sebagai Ketua PKI, menggantikan Semaun.

Salah satu ciri kepemimpinan Tan kala itu adalah mendukung persatuan PKI dan Sarekat Islam untuk menghadapi penjajahan. Ia merupakan pendukung perjuangan menentang perpecahan dengan Sarekat Islam. Sebab, bagi Tan, antara komunisme dan Islam saling melengkapi, dan di Indonesia, revolusi semestinya dibangun di atas keduanya. Pada skala internasional, Tan Malaka juga memandang Islam sebagai pegangan yang potensial untuk menyatukan kelas pekerja di beberapa negara di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan melawan imperalisme dan kapitalisme. Posisi ini menempatkan dia berlawanan dengan Komunis Eropa dan pemimpin Komintern.

Karena peran Tan Malaka dalam PKI dipandang oleh pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversif, ia ditangkap Belanda di Bandung pada Februari 1922. Lalu pada 24 Maret tahun itu ia diusir dari Indonesia. Itulah awal pengembaraan panjang dari negeri yang satu ke negeri lain selama hampir 20 tahun.

Ia pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen Belanda, lalu ke Jerman, pindah ke Moskwa. Di negeri beruang merah itu, Tan terlibat secara mendalam dengan politik di Komunis Internasional (Komintern). Ia beralasan bahwa partai komunis Eropa seharusnya mendukung perjuangan kaum nasionalis di Asia. Pada pertemuan Komite Eksekutif Komintern Juni 1923, ia terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Tugasnya antara lain memberikan usul dan kritik bahkan veto atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.

Dengan penugasan dari Komintern, ia pindah ke Canton, Cina, Desember 1923, menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah. Di sana ia bertemu dengan komunis dari Cina dan Indonesia serta tokoh politik nasionalis Sun Yat-sen. Pekerjaan Tan Malaka termasuk menerbitkan sebuah majalah berbahasa Inggris. Sempat ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia.

Tanpa paspor, Tan Malaka memasuki Filipina. Ia tiba di Manila pada 20 Juli 1925, dengan kapal Empress of Russia, dan menyamar sebagai Elias Fuentes, seorang muskius yang bekerja di kapal. Ia berusaha memulihkan kesehatannya di rumah keluarga “Nona Carmen” di Santa Mesa, dekat Manila. Beberapa bulan ia menginap di rumah Apolinario G. De los Santos, Rektor Universitas Manila. Di sana, ia menulis secara teratur di harian El Debate.

Sementara itu, di Tanah Air terjadi pemberontakan 1926, yang digerakkan PKI. Namun, pemberontakan itu gagal dan dapat mudah dipadamkan oleh kolonial Belanda dalam waktu singkat. Akibatnya, ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Papua.

Tan Malaka mengkritik peristiwa itu sebagai pemberontakan prematur, adventuristik, dan tindakan bunuh diri. Sebelum pemberontakan itu pecah, Tan Malaka sudah mengingatkan para pemimpin komunis di Tanah Air.

Sementara polisi kolonial terus memburu para tokoh komunis, Desember 1926, Tan Malaka pergi ke Bangkok, Thailand, dan bertemu dengan anggota PKI Subakat dan Djamaluddin Tamim. Mereka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Dengan menyamar sebagai Haji Ibrahim, Tan Malaka berdiam di Chieng-Mai.

Tan kembali ke Manila pada Agustus 1927, tapi segera ditangkap oleh polisi Amerika atas permintaan Belanda. Subakat ditangkap di Bangkok, 1929, dan meninggal di penjara 1930. Adapun Tamim ditangkap di Singapura, 1932.

Tan dideportasi, lalu ia meninggalkan Filipina dengan kapal. Ia memperkirakan akan ditangkap kembali oleh Belanda sesaat mendarat di Cina. Karena itu, dengan bantuan awak kapal orang Filipina, ia melarikan diri ketika kapal menambatkan jangkar di Pelabuhan Amoy (Xianmen). Tan bersembunyi di sebuah desa terdekat, Sionching, sekitar dua tahun.

Ia pindah ke Shanghai pada sekitar 1929. Dua tahun kemudian ia mulai bekerja lagi untuk Komintern. Ketika Jepang menduduki Shanghai pada September 1932, Tan Malaka melarikan diri ke Hong Kong, dengan penyamaran sebagai seorang Cina-Filipina dan menggunakan nama samaran. Tapi, ia ditangkap oleh pihak berwenang Inggris dan dipenjara selama beberapa bulan sebelum akhirnya diusir dari Hong Kong.

Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan untuk tempat pengasingan, Tan Malaka memilih kembali ke Amoy. Ia sempat berhubungan kembali dengan teman lama di Desa Iwe, tanpa penangkapan. Tapi, di sana, jatuh sakit beberapa tahun sebelum seorang dokter Cina memulihkan kesehatannya.

Pada 1936, ia kembali ke Amoy, dan ia mengajar bahasa Inggris, Jerman, dan teori Marxist; sampai 1937 sekolah itu menjadi sekolah bahasa terbesar di Amoy.

Pada Agustus 1937 ia pergi ke Rangoon, Birma, lewat Singapura selama satu bulan. Tapi, karena tabungannya terkuras, ia kembali ke Singapura melalui Penang, dan bekerja sebagai guru. Tatkala Jepang menduduki jazirah Melayu dan Indonesia pada 1942, Tan Malaka memutuskan pulang ke Tanah Air yang telah ia tinggalkan hampir dua puluh tahun.

Tan Malaka mulai dengan sebuah perjalanan panjang beberapa bulan, tinggal beberapa waktu di Penang sebelum menyeberang ke Sumatra kemudian mengunjungi Medan, Padang, dan beberapa kota lain di Sumatera sebelum tinggal di pinggiran Jakarta yang diduduki Belanda pada Juli 1942. Sebagian besar waktunya di sana dihabiskan dengan menulis dan riset di perpustakaan Jakarta, menulis buku Madilog dan ASLIA (Asia-Australia).

Lagi-lagi tabungannya dari gaji mengajar di Singapura nyaris terkuras. Dengan menggunakan nama palsu, ia bekerja sebagai administrator di pertambangan batu bara di Bayah, Jawa Barat.

Jepang menyerah dan Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Tan Malaka meninggalkan Bayah, dan mulai lagi menggunakan nama aslinya untuk pertama kali dalam dua puluh tahun terakhir. Ia mengadakan perjalanan pertama ke Jakarta, kemudian dilanjutkan ke sekitar Jawa.

Solo, pertengahan Januari 1946. Tan Malaka bersama sekitar 140 organisasi nasionalis dan buruh membentuk Persatuan Perjuangan (PP), dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Koalisi ini mendapat dukungan luas dari rakyat dan tentara Republik, termasuk dukungan dari Jenderal Sudirman. Programnya antara lain kemerdekaan 100 persen, pemerintahan rakyat, tentara rakyat.

Oleh Perdana Menteri Syahrir, PP dituduh mencoba mengadakan kudeta. Tan Malaka dan beberapa pimpinan PP ditangkap, Maret 1946. Ia penjara sampai September 1948 tanpa pernah diadili. Setelah bebas, ia membentuk Partai Murba di Yogyakarta, 7 November 1948.

Ketika Belanda menangkap para pemimpin pemerintahan pada Desember 1948, Tan melarikan diri ke pedesaan di Jawa Timur. Ia mendirikan markasnya di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi persawahan. Ia berhubungan dengan Mayor Sabarudin, komandan Batalion 38. Akibat konflik dengan kelompok tentara yang lain, Sabarudin dan anak buahnya ditangkap pimpinnan TNI Jawa Timur dan didakwa berdasarkan undang-undang militer. Tan Malaka juga ditangkap di Blimbing, 19 Februari 1949.

Korps Speciale Troepen (KST) Belanda melancarkan operasi dari Nganjuk, Jawa Timur, dengan cepat dan brutal. Sejarawan Belanda Poeze (2007) menggambarkan dengan detail bagaimana pasukan TNI melarikan diri memasuki pegunungan dan bagaimana Tan Malaka, yang sudah terluka, berjalan menuju sebuah pos TNI dan secara diam-diam dieksekusi pada 21 Februari 1949 di Dusun Selopanggung, Desa Tanggul, sekitar 20 kilometer ke barat Kediri. Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya, menjadi aktor di balik penembakan itu. Tan Malaka dikuburkan di dalam hutan. Revolusi telah memakan anaknya sendiri.

Namun, menurut pemberitaan Time edisi 4 Juli 1949, Tan Malaka dieksekusi 9 April, dekat Blitar. Republiken, tulis Time--juga melaporkan bahwa mereka telah mengeksekusi mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin, R.M. Suripino, dan seorang mantan diplomat dan sekretaris PKI Hadjono.

Sebagai seorang ideolog, Tan Malaka menuangkan buah pikirannya ke dalam sejumlah buku, antara lain yang terkenal Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika); Menuju Republik Indonesia (pertama kali terbit di Kowloon, Hong Kong, April 1925), Dari Penjara ke Penjara (otobiografi), dan Gerpolek.

Tan Malaka telah menjadi tokoh legenda. Bahkan pada September 1945, Sukarno pernah menulis sebuah wasiat kepada Tan Malaka untuk melanjutkan memimpin revolusi jika ia dan Hatta tidak mampu.

Nama Tan Malaka muncul sebagai tokoh utama dalam beberapa karya fiksi yang terbit di Medan, dengan julukan Patjar Merah Indonesia. Salah satu yang terkenal adalah roman Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Roman karya Matu Mona itu mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
# Wikipedia, What Next Journal, Dari Penjara ke Penjara (Tan Malaka), Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945 (Harry A. Poeze), Socialism and Liberation magazine, Time, Ngarto Februana
Jimbo
astacala.org addict
Posts: 555
Joined: Sun Sep 25, 2005 9:25 am
Location: Ciledug-TGR
Contact:

Re: tan malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Post by Jimbo »

Lanjutan Patjar Merah Indonesia sudah ketemu Peng? Aku nyari-nyari ga ada. Apa belum jadi diterbitkan ulang ya?
Gepeng
astacala.org maniac
Posts: 177
Joined: Wed May 24, 2006 8:17 am

Re: tan malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Post by Gepeng »

welcometothejungle...

blum ketemu Jim, 2 -3 tahun ini udah jarang keluar masuk pasar buku bekas jim, tapi minggu lalu sempet nemu tempat baru kecil tapi, jual buku bekas, mau mulai lagi gue eksplore jim. Buku2 gue yang di jogja dulu nasibnya gimana ya ?


viva ASTACALA!!!
honje26
Jimbo
astacala.org addict
Posts: 555
Joined: Sun Sep 25, 2005 9:25 am
Location: Ciledug-TGR
Contact:

Re: tan malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Post by Jimbo »

Bukannya yang ngelola buku2 di jogja terakhir si Cipto?

Aku dah jarang juga sekarang nyari2 buku, ***** juga nih kerjaan, membuat lebih sering tidak sempat seperti dulu lagi...he..he...

Oh ya, kemarin sempat ngobrol sama pengelola perpustakaan sekre mengenai keberadaan buku-buku di sana.

Intinya, sudah mulai ada pemikiran sumpek dengan keberadaan buku-buku itu. Mereka katanya juga sudah ngobrol sama Bedjat (sekarang ni orang lg di Bandung katanya). Ya Bedjat pasti menjawab begini "Umpamanya saya di kasih keris tua oleh orang tua saya, maka saya akan menyimpannya selamanya, berguna atau tidak berguna. Saya menyimpannya karena penghormatan atas titipan orang tua saya itu..." kira-kira begitu.

Payah juga ya mengikuti kemauan jaman, susah juga mengarahkan kemauan orang-orang yang berbeda dengan jaman kita. Teknologi sudah berbicara lain dan suatau saat sepertinya buku-buku tercipta akan membusuk, mendebu dan hilang bersama angin dan masa lalu.

Aku bilang kepada mereka "Ya sudah, lakukan saja apa yang menurut keyakinan kalian. Jangan lupa cari dasarnya. Kalau orang lain (yang tidak seusia) tidak setuju. Inilah namanya orang banyak...he..he..."

salam

NB: ikut ke Jacky ga Peng? aku kayaknya ikut, sabtu dari Lebak Bulus (kalau ga ada yang nawari tumpangan he...he...)
User avatar
Adek
astacala.org geek
Posts: 858
Joined: Fri Feb 18, 2005 1:47 pm
Location: North Pole
Contact:

Re: tan malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Post by Adek »

membicarakan tan malaka, tak bisa diluputkan dari mana ia berasal. suka atau tidak suka, walaupun ia hanya menghabiskan setengah hidupnya di negri ini, tapi inilah fondasi yang membuat nya mampu melangkah dan menggores tinda sejarah dengan apa adanya ia dikenang atau dilupakan, saat ini.
Tan malaka, sama spt banyak dari kita, hanyalah seorang anak kampung, memulai dari bukan siapa - siapa,
bedanya ia sedikit berani mencari jawaban atas ketidak tahuan.

------------------
Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau
Oleh Zulhasril Nasir:
Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007)

BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu.

Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22 Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.

Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Tiada lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial. Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan perempuan bicara dalam adat yang sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain.

Kesempatan yang diperoleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi, tidak lepas dari kecerdasan sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya, Horensma, di sekolah guru (Kweekschool) itu, ”Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.” Berkat gurunya ini juga Tan Malaka kemudian sekolah ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka menyerap ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat.

Nagari tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Nagari diatur oleh tiga tungku sejarangan: kepala adat, ulama, dan cerdik pandai. Segala aspek pemerintahan Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan melalui musyawarah oleh ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat terwujud pada pemerintahan Nagari.

Pemerintahan pusat (Raja) tidak memiliki kewenangan ikut campur. Masing-masing Nagari mempunyai kedaulatan yang sama, tanpa hubungan struktural. Ketika Tan Malaka kesulitan uang di Negeri Belanda, sanak-kaumnyalah yang berpatungan mengirimkan dana (Angkoefonds). Tan Malaka menganggapnya sebagai utang, bukan sumbangan.

Tan Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, Abdul Muis, dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya: membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin.

Alam Minangkabau yang subur permai dan bebas tidaklah lengkap membekali anak negerinya tanpa mengaji dan pencak silat. Mengaji dan silat adalah pembentuk kepribadian dan kepercayaan diri: tak kayu jenjang dikeping; musuh indak dicari bersua pantang dielakkan; induk cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu.

Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma.

Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua orang?

Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim.

Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi).

Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam.

Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob.

Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan.

Kemajuan pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain. Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda.

Gerakan kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan—bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari.

Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia) sebagian besar (21 orang) adalah keturunan dan pendatang dari Minangkabau.

Mereka pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan Partai Komunis Malaya. Di antaranya ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D., Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka bukan berada di UMNO, partai kanan. Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang kiri Minangkabau dapat dikategorikan beraliran: Islam-komunis, Islam-nasionalis, sosialis-demokrat, nasionalis kiri, dan komunis.

Kecenderungan gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain karena pembekalan alam Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan pendidikan, dan aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin mendapat jawaban—negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan pemimpin rakyat.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/a ... 65.id.html
------------

@gepeng
mas, wkt terakhir ke jogja saya sempat mampir ke jl kali urang, waktu itu barang warnet wong jogja termasuk buku2 sdh diungsikan dalam kardus2. sebagian kondisi nya saya lihat dalam keadaan basah.

@jimbo
dalam hal buku2 di perpustakaan sekre, saya kira perlu dicermati apakah memang perlu "memindahkan" buku2 lama atau tidak, dan jika ya, buku yang mana ? krn dari yg saya ketahui beberapa saat mengelola perpustakaan itu, ada beberapa buku yang pembahasannya memang tidak relevan dan layak lagi. keputusan akhir ada di tangan kawan2 di sekre.

saya teringat, ada ungkapan anonim
"membakar buku adalah dosa besar, tapi membiarkan buku tergeletak tidak terbaca adalah dosa yang lebih besar".

salam
“Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover." -Mark Twain-
--
http://lailiaidi.blogspot.com
Jimbo
astacala.org addict
Posts: 555
Joined: Sun Sep 25, 2005 9:25 am
Location: Ciledug-TGR
Contact:

Re: tan malaka = Pejuang Legendaris yang Dipinggirkan Sejarah

Post by Jimbo »

Kadang-kadang menjadi iri sekaligus kagum dengan orang-orang macam HB. Yassin atau Pramoedya AT, Hatta, Soekarno. Tidak hanya karena apa yang pernah mereka lakukan terhadap sejarah bangsa ini, tapi karena mereka begitu gigih tanpa pamrih, mengumpukan dokumen-dokumen yang berserakan, buku-buku dan setiap jengkal catatan-catatan tertulis. Mereka tidak hanya mengumpulkan itu untuk hal-hal yang bersifat fenomenal saja, tapi lebih pada kewajiban menyelamatkan sejarah.

Kapan ya kita bisa seperti mereka?
Post Reply