Agar Anak Gemar Buku

Let talk about everythings here..
Post Reply
User avatar
Gejor
astacala.org addict
Posts: 529
Joined: Wed Mar 30, 2005 5:10 pm
Location: Jakarta
Contact:

Agar Anak Gemar Buku

Post by Gejor »

Sumber :indonesiabuku
Oleh: Clara Naibaho

Salah satu resiko menyandang profesi sebagai pustakawan (disebut juga sebagai ’pekerja informasi’ atau ’information specialist’) adalah sering ketiban pertanyaan begini:

“Bagaimana sih caranya supaya anak-anak suka membaca?”

Pertanyaan ini sering saya dengar di berbagai pertemuan dengan teman-teman, kerabat, atau kenalan. Apalagi kalau pertemuan itu didominasi para ibu, maka dipastikan topik pembicaraan tak hanya seputar tumbuh kembang anak, tapi juga soal cabe keriting dan bawang bombay, atau gosip selebritis yang sedang doyan kawin cerai, dan politisi yang paling bobrok di layar kaca.

Di suatu acara keluarga, seorang saudara mengeluhkan anaknya yang tidak suka membaca:

“Aduh! Gimana ya caranya membuat anak-anak ini menjadi kutu buku?”

Saya tidak segera menjawab pertanyaannya, tapi diam-diam mengamati ruangan tempat kami duduk sambil mengobrol. Mulai dari ruang tamu sampai ruang keluarga yang lumayan luas itu, saya tak menemukan ada tanda-tanda bahwa di rumah itu ‘membaca’ menjadi salah satu kegiatan. Mereka tidak melanggan suatu media (entah itu koran, majalah, atau apa sajalah yang mewakili namanya ‘bahan bacaan’). Ah! Siapa tahu di ruangan lain mereka punya rak-rak buku atau lemari-lemari bacaan, atau mungkin perpustakaan keluarga? Tidak juga!

Lalu saya mulai mengalihkan perbincangan dengan si Ibu, apa saja kegiatannya di rumah selain mengurus anak.

“Ya, apa lagi yang bisa dilakukan ibu-ibu rumah tangga kayak aku ini kalau bukan nonton sinetron dan infotainment.”

Dalam hati aku berbisik:

“Baiklah! Kenapa berharap anak-anak suka baca sementara ibunya doyan nonton?”

—————-

Banyak orangtua yang sangat menginginkan anak-anaknya menyukai aktivitas membaca. Keinginan yang amat mulia tentunya. Konon kabarnya, bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang mencintai budaya membaca. Itu sebabnya persoalan minat baca ini terus menjadi sorotan banyak kalangan karena (katanya) negeri kita selalu berada di nomor buncit dalam hal budaya membaca. Di pidato-pidato resminya, para pejabat sering ‘menuduh’ bahwa masyarakat kita lebih suka ngobrol atau nonton daripada membaca. Kita sering dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara maju yang katanya selalu larut dalam berbagai jenis bacaan di setiap kesempatan, entah itu ketika menunggu bus di halte, mengantri di ruang tunggu dokter, menunggu giliran di sidang di pengadilan, bahkan ketika melakukan ritual di toilet.

Saya suka heran, geram campur mual setiap mendengar pejabat atau pemerintah bicara soal budaya membaca ini. Berani-beraninya membandingkan budaya membaca di negeri ini dengan negara lain di benua Eropa. Pura-pura lupa bahwa di negara maju yang sering mereja jadikan rujukan itu, pemerintahnya memang memberi ruang yang lebih bebas bagi masyarakatnya untuk dapat menikmati aktivitas membaca dengan cara memfasilitasi ruang-ruang publik (khususnya perpustakaan) secara memadai, memungkinkan masyarakat membeli buku dengan harga terjangkau, memberi kebebasan bagi para penulis untuk menyuarakan gagasan-gagasannya sehingga jumlah penerbitan terus meningkat yang akhirnya juga berpengaruh pada kebebasan masyarakat untuk memilih bahan bacaan, dan…. pemerintahnya sendiri (saya kira) membaca, tidak hanya menghimbau…!

Pemerintah kita pura-pura amnesia bahwa Indonesia adalah salah satu negara penghasil kayu terbesar di dunia tapi ironisnya sekaligus menjadi negara dimana harga buku paling mahal (padahal bahan baku pembuat kertas adalah kayu itu).

Pemerintah kita berlagak pilon, bagaimana mungkin bisa melakukan aktivitas membaca di halte-halte yang sangat tidak nyaman bahkan sekedar untuk duduk saja, atau di terminal yang super bising, atau di angkutan kota yang teramat sesak dan selalu dihantui rasa tidak aman karena kuatir akan copet…

Maka kalau ukurannya adalah kegiatan yang tampak di depan mata itu, saya pikir Indonesia tidak akan pernah masuk di kategori dengan minat baca tinggi. Saya pribadi menolak keras bahwa bukti sebuah masyarakat memiliki minat baca yang tinggi adalah jika di setiap sudut terlihat aktivitas membaca. Tidak! Saya termasuk orang yang menjadikan membaca sebagai suatu keharusan (menyerupai kebutuhan makan dan minum) tapi saya tidak pernah suka membaca di keramaian. Di perjalanan, saya lebih suka menikmati perjalanan. Di ruang tunggu apapun saya lebih suka mengamati tingkah pola orang yang lalu lalang. Bahkan di perpustakaan pun saya jarang membaca (karena harus bekerja). Tempat yang paling nyaman kalau saya membaca adalah: tempat tidur! Buatku, membaca adalah ‘berkomunikasi’ dengan pengarang, atau ‘berhubungan intim’ dengan pikiran pengarang. Maka, membaca sesungguhnya adalah suatu kegiatan pribadi yang bersifat intim.

Menumbuhkan minat baca, khususnya pada anak sebetulnya tidak sulit. Sekali lagi, tidak sulit! Tapi prosesnya tidak bisa berjalan cepat. Perlu kesabaran dan konsistensi. Yang namanya minat kan harus ditumbuhkan perlahan-lahan. Pengalaman saya, cara paling efektif menumbuhkan minat baca pada anak-anak adalah mengenalkan bahan bacaan dan aktivitas membaca ke anak-anak sedini mungkin dan sesering mungkin. Beberapa cara yang layak dicoba adalah:

Ayo ke toko buku

Boleh-boleh saja membawa anak ke mall atau ke tempat mainan anak, tapi mampir ke toko buku juga pilihan cerdas. Anda tahu, itulah sebabnya di jaman modern ini toko buku ada di mall-mall, bukan lagi di toko-toko khusus yang terpisah dari gedung perbelanjaan.

Membaca bersama

Menonton sinetron jelas diijinkan dong, tidak dosa koq. Tapi sekali-sekali (kalau boleh sih sering-sering) membaca bersama si kecil lebih asik lho. Pilih buku cerita yang tidak terlalu panjang kisahnya, supaya tidak keburu bosan (apalagi emak-emak yang sudah menunggu jam tayang sinetron kesukaannya).

Beli atau langganan

Kalau berat untuk berlangganan beberapa bahan bacaan (misalnya koran atau majalah), sesekali alihkan dana jajan Anda atau uang untuk creambath Anda untuk membeli bahan bacaan. Manfaatkan musim-musim cuci gudang yang sering dilakukan toko buku besar (biasanya bisa beli komik Rp.10.000,- 3 buah).

Ke perpustakaan lah

Kalau benar-benar tak punya anggaran untuk beli bahan bacaan, ya ke perpustakaan lah. Kunjungi perpustakaan terdekat di kota Anda. (O ya, untuk yang ini saya tahu persis pasti banyak yang comment tentang kondisi perpustakaan di tempat masing-masing.

Mendongeng

Cara paling brillian menumbuhkan minat baca Anda sekaligus mengembangkan daya nalar adalah mendongeng. Kalau tidak berbakat mengarang dongeng sendiri, gunakan buku-buku dongeng yang mudah didapatkan di toko buku. Tapi kalau mau sedikit berusaha, buat sendiri dongeng Anda, sesuaikan temanya dengan kesukaan anak-anak. Cara ini sangat berkesan buat saya, karena dulu Opungku sering mendongeng dan sampai saat ini dongengnya tentang ’Si Pahu’ itu masih kuingat utuh, dan kuwariskan untuk anak-anakku.

Baca dong

Anak-anak adalah makhluk peniru paling baik. Jika ingin anak-anak melakukan sesuatu yang Anda inginkan, jadilah model terdekat buat dia. Jangan mengharapkan anak jadi kutu buku, jika orangtuanya kutu televisi sejati.

Konsistenlah

Membangun atau melakukan apapun perlu sikap konsisten, apalagi membangun karakter anak. Jangan berharap bahwa begitu membeli 7 lusin komik atau melanggan koran dan majalah selama 6 bulan, anak-anak Anda lantas segera menjadi kutu buku. Di awal-awal, anak-anak mungkin bahkan tidak peduli dengan buku-buku yang Anda belikan. Mereka hanya tertarik pada sampulnya atau gambar-gambarnya. Pengamatan saya, banyak orangtua yang segera mengambil keputusan bahwa anaknya memang tidak suka membaca karena selalu cuek pada buku-buku atau majalah yang dibeli, lantas mengalihkan langganan majalah menjadi langganan TV kabel. Tapi percayalah, jika Anda konsisten tetap menyediakan bahan bacaan di rumah, dan Anda pun melakukan aktivitas membaca, anak-anak pasti akan tertular, cepat atau lambat.

Bersiaplah dengan resiko

Semua keinginan memiliki resiko, baik pun buruk. Ketika kita mendambakan anak-anak yang suka membaca, yang terbayang adalah anak-anak yang pintar, patuh, dan gak neko-neko. Oh, no! Resiko paling ’parah’ yang saya alami adalah soal disiplin dalam waktu. Kalau anak-anak sudah larut dalam bacaannya, bom meledak di sampingnya pun takkan dihiraukan. Maka percuma lah emaknya teriak-teriak:

“Nak…, mandi dong…, sudah magrib nih…”

“”Nak…, makan dulu…., nanti sakit perutmu karena masuk angin…”

“Nak…., beli kopi ke warung dulu gih! Emak mau ngupi nih…”

“Nak…, bukain pintu tuh! Ada tamu…”

Semua jeritan itu dianggap angin sepoi-sepoi di kupingnya :-)

Ketika mengalami ini sekarang, aku makin berempati pada ‘penderitaan’ Omakku dulu waktu kami masih kecil-kecil. Omakku itu selalu berang dan benci sekali dengan buku karena anak-anaknya semuanya jadi budeg alias tuli alias nengel alias pijom kalau sudah pegang buku. Alhasil semua pekerjaan rumah terbengkalai dan darah tinggi pun kumat :-)

Tapi persoalan membaca ini tidak sesederhana itu lho. Masalah paling pelik adalah jenis dan isi bacaan apa yang layak dikonsumsi anak-anak. Kita ngomongin di note berikutnya ya.

Depok, 01 Juni 2010 (16:21 WIB)

* Clara Naibaho, Pustakawan Universitas Indonesia
Post Reply