Tambora (Bagian 6: Kalembo Ade, Tambora!)
“Om Swastiastu” begitu saya membuka salam. Saat saya masuk ke halaman rumah, saya melihat seorang wanita sedang mejejaitan di teras. Yang kemudian saya ketahui adalah jero mangku istri. Ditemani seorang lelaki paruh baya, yang katanya adalah warga setempat.
Pura Agung Udaya Parwata
Saya masuk ke dalam kawasan pura. Ada lapangan yang luas. Di bagian pojoknya, ada sebuah bangunan sederhana. Itu adalah rumah jero mangku, yang sekaligus menjadi penjaga di pura tersebut. Irfan menyarankan saya untuk minta izin ke sana.
Saya mengucap salam. Memperkenalkan diri. Lalu mengutarakan maksud untuk masuk ke pura. Hanya untuk melihat-lihat. Kondisi saya kotor usai turun gunung. Juga tak berpakaian adat. Ada sedikit rasa tak enak pada jero mangku. Walaupun mungkin hanya perasaan saja. Saya memutuskan tidak bersembahyang. Hanya berdoa dalam hati saja, ngacep seadanya.
Saya dipersilahkan ke pura dengan ramah. Dengan catatan berlaku sopan. Seperti tidak naik ke bale piasan atau pelinggih-pelinggih yang ada. “Oh… Nggih!” saya menjawab sopan. Yang, tentu saja. Saya tahu itu lebih dari cukup. Mana mungkin saya masuk ke pura dan ngendah-ngendah di sana. Tak jauh berbeda seperti jika kita ke masjid, gereja, klenteng, atau tempat ibadah lain.
Baru mau masuk, saya melihat Siska datang. Ia mau ke pura juga. Kami berdua dengan tukang ojek saja yang ke pura. Rekan-rekan kami yang lain tak ikut serta. Mereka langsung ke Dusun Pancasila. Padahal selain sebagai tempat ibadah, pura ini juga menjadi tujuan wisata. Sayang sudah ke Tambora tapi tak mampir melihatnya.
Suasana di pura cukup asri. Hening dan sunyi. Dikelilingi hutan, tanpa pagar tembok permanen. Pepohonan besar di sekitarnya membuat udara teduh. Pura terdiri dar tiga tingkatan halaman. Yang pertama adalah halaman paling luar, dekat lapangan terbuka dan rumah jero mangku. Lalu halaman tengah, dengan beberapa bangunan dan bale kulkul di pojoknya. Dan halaman utama, dengan pelinggih atau candi-candi tempat berdoa.
Perjalanan Danghyang Nirartha
Danghyang Nirartha adalah seorang pengelana dari Daha Majapahit. Ia seorang penulis. Juga seorang pendeta Hindu dan guru keagamaan. Pada abad ke-16, ia melakukan perjalanan ke Bali. Juga ke Lombok dan Sumbawa. Saat itu, Tambora masih menjadi gunung berapi tertinggi di Nusantara.
Saat Majapahit melakukan ekspedisi penaklukan Pulau Bali, ekspedisi itu diteruskan ke timur. Sehingga banyak orang-orang dari Jawa bermukim di Sumbawa. Dan Nirartha di kemudian hari ke Sumbawa, adalah untuk menengok kerabatnya. Tapi kerabatnya itu tidak ada. Sudah meninggal.
Akhirnya perjalanannya pun dilanjutkan. Dari sisi pulau bagian barat, ia berlayar menuju teluk besar, yang saat itu belum bernama Teluk Saleh. Melalui celah antara Pulau Sumbawa dan Pulau Moyo. Menuju sisi selatan Gunung Tambora. Ia kagum akan gunung itu dan ingin melihatnya lebih dekat.
Di lereng Tambora, Nirartha tinggal cukup lama. Ia bertani dan bercocok tanam. Mengajarkan berbagai pengetahuan pada warga setempat. Juga bertapa di hutan. Konon, lokasi Pura Agung Udaya Parwata adalah tempat pertapaannya.
Semoga Semua Mahluk Berbahagia
“Imagine there’s no countries. It isn’t hard to do. Nothing to kill or die for. And no religion, too. Imagine all the people livin’ life in peace” begitu lirik lagu yang ditulis oleh John Lennon.
Manusia secara alami hidup berkelompok. Biasanya berdasarkan kesamaan tertentu. Seperti agama, misalnya. Dan keanekaragaman masyarakat itu, rawan menimbulkan gesekan. Apalagi jika tak bijak menyikapinya.
Karena berkunjung ke pura di kaki Gunung Tambora, saya mencari tahu lebih dalam. Lalu menemukan arsip berita lama. Tentang penolakan sekelompok masyarakat di Sumbawa akan keberadaan Pura Udaya Parwata.
Secara demografis, 96% lebih masyarakat di Sumbawa beragama Islam. Sisanya adalah agama dan penganut kepercayaan lain. Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) melakukan penolakan. Kejadiannya beberapa tahun yang lalu.
Alasannya karena kabar burung yang mengatakan bahwa pura di Tambora adalah pura terbesar di Asia Tenggara. Itu menyakiti umat Islam yang mayoritas di Sumbawa, kata FUI. Juga lokasinya yang dekat mata air, sehingga dikhawatirkan bisa tercemar.
Tapi syukurlah. Masalah itu akhirnya bisa diselesaikan dengan damai. Dari informasi yang saya dapatkan, kondisi setelah penolakan itu sampai saat ini sudah kondusif. Tidak ada persoalan lagi. Masyarakat sudah tidak terpengaruh dengan isu-isu yang negatif.
Kita semua tak ada yang bisa memilih untuk lahir dari keluarga mana. Atau dari suku dan agama apa. Tapi kita bisa memilih untuk selalu memiliki niat baik dan pikiran baik. Juga perkataan dan perbuatan yang baik. Saya sendiri, cenderung lebih memilih untuk tak melekatkan diri pada identitas-identitas semacam ini.
Lirik yang ditulis John Lennon, mungkin ada benarnya. Saya hanya bisa berimajinasi, sama sepertinya. Membayangkan semua manusia hidup damai. Mendoakan, pun jika doa itu mujarab, semoga pikiran baik datang dari segala arah. Dan semoga semua mahluk berbahagia.
Kopi, Madu, Susu Kuda, dan Kencing Unta
Saya tak begitu lama di pura. Setelah pamit pada jero mangku, perjalanan dilanjutkan ke Dusun Pancasila. Kembali ke penginapan. Mau bersih-bersih dan berkemas. Makan siang. Juga melihat kabar berita, karena telepon saya tentu akan mendapatkan sinyal lagi.
Saat tiba, saya melihat Bang Can sudah ada di penginapan. Wah! Padahal sewaktu turun dari Pos 3, ia berangkat paling terakhir karena harus mengemas tenda dan perlengkapan kelompok. Ternyata, ia dan para porter lewat jalan pintas. Naik motor melalui jalan besar di dekat Pos 1.
Karena saya tahu Bang Can jualan kopi, saya pun memesan sebungkus. Dibawakannya 300 gram Ompu Coffee, merek kopi produksinya. Berjenis robusta. Karena stok yang ada hanya itu. Walaupun sebenarnya saya lebih suka arabica, saya terima saja untuk ganti suasana. Untuk menemani bekerja di depan komputer nanti, setelah saya pulang ke rumah.
Selain kopi, Bang Can juga punya madu. Asli dari peternakan lebah di lereng Tambora. Kalau yang ini, belum memiliki merek. Wadahnya masih dalam botol air mineral. Ukuran 300 mililiter. Itu tidak masalah bagi saya. Saya cicip sedikit, rasanya manis. Sedikit berbeda dengan madu bermerek yang dijual di toko-toko kelontong.
Jika kita mau membawa oleh-oleh khas dari Sumbawa, sebenarnya pilihannya cukup beragam. Selain kopi dan madu, ada susu kuda. Bahkan susu dari kuda liar. Wah! Memangnya, apa manfaat minum susu kuda? Supaya ‘kuat’, begitu ada yang menjawab. Kok kata ‘kuat’ diisi tanda kutip? Silahkan dikira-kira sendiri.
Berbicara tentang susu kuda, saya malah teringat cerita lucu dari Siska. Ia mengisahkan pengalamannya, sewaktu umroh ke tanah suci di Arab. Di sana, yang terkenal bukan kuda. Tetapi unta. Dan yang dijual, bukan susunya. Malahan kencingnya. Kencing unta. Waduh! Dan Siska sempat meminumnya. Sedikit terpaksa dan ingin tahu, ia menegaskan. “Bodoh banget aku ini” begitu ia menyesalinya. Ih…
Doro Ncanga
Pukul empat sore, kami semua sudah bersih dan wangi. Perut pun sudah kenyang. Pak Man juga telah datang menjemput. Kami bergerak meninggalkan Dusun Pancasila. Kendaraan yang kami gunakan ada dua. Satu yang dengan Pak Man, menuju Bima. Satu lagi dengan Bang Can, menuju Mataram.
Sebelum berpisah, kami semua akan mampir ke Doro Ncanga dulu. Lokasinya ada di pinggir jalan utama lintas Calabai di Dompu. Itu adalah padang sabana di lereng selatan Gunung Tambora. Yang kami lewatkan sewaktu berangkat dari Bima beberapa hari lalu.
Doro Ncanga merupakan salah satu titik awal pendakian. Berbeda dengan jalur pendakian lain, Ndoro Canga memiliki jalan yang cukup lebar. Bisa dilalui kendaraan roda empat, terutama yang bertip off road.
Doro Ncanga tentu berkaitan dengan letusan dahsyat Tambora pada 1815 silam. Saat gunung meletus, isi gunung yang mengandung banyak batu apung dilontarkan. Menutupi semua Iereng gunung hingga Teluk Saleh. Batu-batu apung itu mudah lepas dan tererosi. Menjadi gundukan-gundukan bergelombang. Membentuk perbukitan kecil. Lalu lama-kelamaan ditumbuhi rerumputan. Menjadi sabana.
Saat kami tiba, hari telah sore. Udara tak terlalu panas. Tapi penampakan musim kemarau di padang rumput ini begitu kentara. Debu begitu tebal. Tingginya sampai mata kaki. Bisa dibayangkan bagaimana debu-debu beterbangan jika dilalui kendaraan. Saya yang hanya sekedar turun, akhirnya mendapatkan kaki dan sendal saya berselimut debu.
Tak jauh dari pintu pendakian Doro Ncanga, kami melihat-lihat padang rumput lagi. Yang menguning karena kekeringan. Kuda-kuda yang merumput tak banyak. Hanya ada beberapa di kejauhan. Saat rekan-rekan saya berfoto ria, saya berjalan sendiri ke arah kuda-kuda tersebut. Hanya sekedar untuk mengambil gambar.
Selain kuda, padang rumput Doro Ncanga juga menjadi tempat hewan ternak lain, seperti sapi dan kerbau. Semua dilepas begitu saja oleh pemiliknya. Para peternak sudah melakukannya berpuluh tahun lamanya. Membentuk kelompok-kelompok peternak untuk saling menjaga ternak mereka satu sama lain.
Berpisah
Sore pun makin temaram di Doro Ncanga. Matahari perlahan terbenam di balik bukit. Dengan latar depan pepohonan pinggir jalan dan tiang-tiang listrik.
Sampai kemudian malam menjelang, kami melanjutkan perjalanan. Di pertigaan jalan yang bernama Bundaran Cabang Banggo, kami turun. Beberapa rekan saya bertukar kendaraan. Kami berpisah di sini.
Imam yang berangkat dari Mataram, sekarang mau ke Bima. Bergabung dengan Pak Man, Siska, dan saya. Sedangkan Alazier yang sebelumnya berangkat dari Bima, kini menuju Mataram. Bergabung dengan Bang Can, Abdul, Roy, dan Elita.
Perjalanan ke Bima bersama Imam dan Siska menjadi ramai. Selama ini, mereka berdua memang paling banyak bicara. Suka melontarkan berbagai lelucon.Topik apa pun bisa mengalir menjadi bahan obrolan. Apalagi saya menjadi yang paling muda di dalam kendaraan. Itu membuat saya sesekali jadi objek candaan mereka.
Oh ya. Rencana ke Labuan Jambu batal. Karena hiu paus, yang jadi tujuan utama, jarang muncul kala purnama. Siska yang rencananya akan bermalam di Labuan jambu pun batal. Padahal kalau jadi, hotel pesanannya di Bima akan dihibahkan ke saya. Memang bukan rejeki saya untuk mendapatkan penginapan gratis kali ini.
Di Bima, tak banyak lagi yang saya lakukan. Selain karena sudah malam, saya cukup lelah. Butuh istirahat. Perjalanan turun gunung dan kembali ke Bima cukup menguras tenaga. Esok pagi, saya akan pulang. Meninggalkan Sumbawa untuk kembali ke Bali. Dengan membawa kenangan berkesan, tentunya.
Sampai jumpa lagi, Sumbawa. Terima kasih Tambora. Kalembo ade! []
I Komang Gde Subagia | Sumbawa, September 2023