Tambora (Bagian 3: Kenapa Tambora)
“Bli. Kenapa memilih untuk mendaki Gunung Tambora?” tanya Abdul pada saya. “Karena belum pernah” begitu saya menjawab. Cukup singkat dan jelas. Sejenak, kami sama-sama diam. Lalu tertawa. Jawaban saya adalah alasan yang masuk akal, bukan?
Kenapa Tambora?
Abdul sedang membuat rekaman video. Pertanyaannya tadi, ditanyakan juga pada rekan-rekan yang lain. Jawaban yang keluar beragam. Tapi satu hal yang sama: semuanya belum pernah ke Tambora.
Elita menjawab karena Tambora ada di luar Jawa. Waktu libur panjang akhir pekan ini, memungkinkannya untuk ke Sumbawa. Jika akhir pekan biasa, ia lebih memilih mendaki gunung di Pulau Jawa. Karena dekat dengan tempat tinggalnya. Sebagian besar tak perlu cuti dari kantor, imbuhnya. Elita baru kecanduan mendaki gunung setahun belakangan ini. Jadi jika ada kesempatan, ia akan mendaki ke mana saja asal memungkinkan.
Sementara Imam, yang sudah cukup banyak mendaki gunung, beralasan bahwa mendaki Tambora adalah satu paket dengan perjalanannya dari Jogja ke Flores. Ia sudah mendaki Agung di Bali. Juga sudah ke Rinjani di Lombok. Karena perjalanannya melewati Sumbawa, tentu tak afdol jika ia tak menyambangi gunung tertinggi di pulau ini.
Berbeda dengan Elita dan Imam, Roy punya alasan sendiri. Dari semua peserta, pengalaman mendakinya yang paling sedikit. Ia hanya pernah mendaki ke Gunung Batur di Bali. Kali ini, ia mencoba menjajal Tambora. Walaupun minim pengalaman di gunung, ada satu keunggulan yang dimiliki oleh Roy. Pengalamannya di laut paling mumpuni. Ia seorang penyelam berpengalaman. Sudah melanglang buana di perairan Indonesia. Lihat saja akun Instagram miliknya, yang sudah saya sisipkan tautan pada tulisan sebelumnya.
Alazier mendaki Gunung Tambora karena ia tinggal di Bima sudah lama. “Masa nggak mendaki ke gunung tertinggi di Sumbawa?” begitu kira-kira. Ia banyak tahu tentang sudut-sudut eksotis di pulau terbesar Provinsi Nusa Tenggara Barat ini. Dari padang sabana, pantai-pantai yang indah, sampai laut dengan ikan hiu paus di bagian selatan Teluk Saleh. Ia sudah mengunjungi tempat-tempat itu.
Jawaban karena terinspirasi oleh pendakian orang lain, dikemukakan oleh Siska. Ia mendaki Tambora karena Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pendakian Nadiem itu dilakukan empat bulan yang lalu. Menjadi gunung perdana yang didaki oleh pak menteri, sang pendiri ojek pertama dengan aplikasi. Itu memicu Siska untuk menjadikan Tambora sebagai bagian dari daftar keinginannya.
Bagaimana dengan Wahyu? Ia paling pendiam di antara kami. Saya tak mendengar alasannya. Yang saya tahu, ia sudah mendaki Agung dan Rinjani. Kerinci dan Latimojong juga sudah. Begitu juga dengan gunung-gunung di Jawa. Jadi kemungkinan besar karena ia belum pernah ke Tambora juga, alasan paling mendasar seperti yang lain.
Dua Abad Letusan
Beberapa minggu sebelum mendaki, saya menyempatkan diri membaca beberapa bahan bacaan tentang Tambora. Salah satunya adalah buku Laporan Jurnalistik Kompas, Seri Ekspedisi Cincin Api: Tambora Mengguncang Dunia. Selain itu, saya juga sudah menonton beberapa video pendakian Tambora di Youtube. Untuk menambah literasi tentang daerah tujuan perjalanan.
Tambora pernah meletus pada dua abad silam, tepatnya pada tahun 1815. Letusannya mengubah lanskap atap Sumbawa itu menjadi kaldera besar. Langit tersaput debu vulkanik tebal selama lebih dari setahun setelah letusannya. Menciptakan teror sampai ke Benua Eropa karena sinar matahari terhalangi terus-menerus. Akibatnya, Eropa kehilangan musim panas. Gagal panen mendera. Itu menciptakan kelaparan dan banyak kematian. Masa itu dikenal sebagai tahun tanpa musim panas.
Dari semua letusan gunung berapi yang tercatat dalam sejarah manusia modern, letusan Tambora adalah yang terdahsyat. Melebihi letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda. Juga gunung-gunung api mana pun di belahan bumi lainnya. Menciptakan kaldera yang begitu luas. Seperti mangkok raksasa di puncak gunung. Saat saya sampai di puncaknya nanti, asap tipis masih mengepul dari dasar kawah.
Ada yang bilang bahwa letusan gunung api terbesar adalah Gunung Toba purba di Sumatera Utara. Memang benar. Tapi itu terjadi di masa lampau yang sangat jauh. Kejadiannya pada zaman pra sejarah, sebelum masehi. Ketika manusia belum mengenal tulisan dan belum dapat dikatakan sebagai manusia modern. Kisah letusannya hanya didapatkan dari penelitian masa kini. Tak ada sumber tertulis yang berasal dari saksi mata langsung.
Sebelum meletus pada tahun 1815, ketinggian Tambora adalah 4.200 meter dari permukaan laut. Gunung berapi tertinggi saat itu di Nusantara. Setelah meletus, ketinggiannya turun drastis menjadi 2.851 meter dari permukaan laut. Kerucut gunung hilang lebih dari 1.000 meter dalam sekejap. Bayangkan bagaimana kejadiannya kala itu. Itu jelas adalah kekuatan alam yang mengerikan sekaligus menakjubkan.
Dari Batas Hutan ke Pos 1
Matahari di atas kami perlahan bergerak makin tinggi. Udara mulai bertambah panas. Kami berdelapan memulai perjalanan. Beriringan. Wahyu, Alazier, dan saya di urutan depan. Imam dan Elita di tengah. Disusul kemudian oleh Siska dan Roy. Lalu Abdul menjadi sweeper paling belakang.
Untung saja pepohonan di hutan cukup lebat. Itu memberikan kesejukan di kala panas mendera di atas kami. Suasana ini persis seperti yang dibayangkan saat saya melihat gunung ini dari atas pesawat: pendakian hari pertama akan sejuk karena melalui hutan, lalu pendakian hari kedua akan kepanasan karena sudah melewati batas vegetasi.
Kondisi jalan di awal jalur pendakian cukup jelas. Bahkan beberapa ratus meter adalah jalan setapak yang dicor semen. Di beberapa bagian ada juga pagar-pagar dari besi. Selang pipa air berwarna hitam membentang di sepanjang jalur. Tersamarkan oleh semak-semak. Pipa itu mengalirkan air bersih dari mata air di atas ke dusun-dusun di bawah.
Saat beristirahat melepas lelah, kami mendengar suara raungan sepeda motor. Itu adalah dua pengemudi ojek yang naik ke atas. Mereka adalah pengemudi ojek yang mengantar kami sebelumnya. Mereka melewati batas hutan menuju Pos 1. Katanya, ada dua pendaki yang perlu dijemput dengan motor. Wah!
Sampai akhirnya kemudian kami sampai di Pos 1, pengemudi ojek tadi sudah tak ada. Saya bertanya dalam hati. Ke mana mereka? Ternyata beberapa ratus meter dari Pos 1, ada jalan besar. Jalannya jalan tanah. Dan cukup lebar serta bisa dilalui kendaraan roda empat. Pengemudi yang menjemput pendaki tadi tak kembali ke jalur kedatangan kami, tetapi melalui jalan besar itu.
Tak jauh dari Pos 1, ada suara gemericik. Saat saya lihat, ada sambungan pipa air di sumber suara. Berupa sumur kecil yang dilindungi oleh tembok semen. Kami bisa mengisi air dari sini. Tetapi, mata air juga ada di Pos 2 dan Pos 3. Karena persediaan air masih cukup, saya tak mengisi air lagi. Yang penting, air yang dibawa saat ini cukup. Minimal untuk minum dalam perjalanan.
Tambora dan Sepeda
Letusan dashyat Tambora pada dua abad silam tidak hanya menghasilkan penderitaan. Tahun tanpa musim panas di Eropa ternyata menghasilkan sebuah temuan berharga. Apa itu? Jawabannya adalah: sepeda.
Ketika hari-hari dengan cuaca buruk melanda Eropa, transportasi yang biasanya mengandalkan tenaga kuda menjadi tak mudah dilakukan. Karena manusia kekurangan makanan, kuda banyak disembelih. Selain itu, pemilik kuda kesulitan mendapatkan pakan ternak.
Karena permasalahan itu, seorang berkebangsaan Jerman, yang bernama Karl Drais, membuat sebuah alat sederhana. Bahannya dari kayu dengan dua roda. Berfungsi menggantikan tenaga kuda pada kereta. Cara mengendarainya adalah dengan menjejakkan kaki ke tanah. Lalu diluncurkan.
Alat itulah yang kemudian menjadi cikal bakal kendaraan beroda dua. Titik awal prinsip keseimbangan sepeda modern saat ini. Penemuan itu didaftarkan hak patennya pada tahun 1818. Berselang tiga tahun dari waktu letusan Tambora.
Fakta sejarah yang menarik. Saya menceritakan hal ini pada rekan-rekan sependakian. Semuanya baru tahu. Dan memang, saya juga baru tahu setelah membaca buku. Jika tidak, orang jarang mengetahui informasi itu. Tentang lompatan teknologi yang tercipta di Eropa karena letusan Tambora.
Makan Siang di Pos 2
Jalur pendakian dari Pos 1 ke Pos 2 masih berupa hutan hujan tropis. Tapi dalam kondisi kering karena musim kemarau. Pepohonannya besar dan tinggi. Di beberapa titik jalur pendakian, saya menemukan pohon tumbang. Sesekali, jalur perjalanan melalui bagian hutan terbuka yang dipenuhi rumput ilalang.
Antara Pos 1 dan Pos 2, ada satu pos lagi. Namanya Pos Rau. Pos ini adalah pos bayangan. Tidak bernomor. Ketika menuliskan kembali catatan ini, saya membuka kamus bahasa Bima. Kata rau berarti ‘juga’. Jadi, ya, artinya itu ‘pos juga’. Pos Rau memiliki bangunan shelter yang cukup kokoh. Rasanya cukup nyaman beristirahat di sana.
Tapi jam belum menunjukkan waktu makan siang. Masih pukul sebelas siang lebih beberapa menit. Rasa lapar belum muncul. Karena itulah, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos 2. Jika diperkirakan, kami akan tiba di Pos 2 setelah lewat tengah hari. Kurang lebih satu jam lagi. Lagi pula, di sana ada sumber air. Sedangkan di Pos Rau, tidak.
Perkiraan meleset. Setengah dua siang, kami baru sampai di Pos 2. Perut pun sudah keroncongan. Ternyata, rasa belum lapar sebelumnya cepat sirna setelah berjalan jauh. Nasi bungkus yang dibawa dari Dusun Pancasila langsung kami santap dengan nikmat. Lauknya ayam goreng. Sayur kol. Dan juga sambal.
Bangunan shelter di Pos 2 ini sudah roboh. Tak bisa dipakai sebagai tempat berteduh. Area datarnya tak cukup luas, mungkin bisa digunakan untuk mendirikan dua sampai tiga tenda. Tak jauh ke arah bawah, ada sungai kecil. Itulah sumber air yang dimaksud. Dari penampakan airnya yang jernih dan melimpah, sepertinya ia mengalir sepanjang musim.
Berkemah di Pos 3
Usai makan siang, perjalanan dilanjutkan. Menuju tempat kami bermalam hari ini. Yaitu Pos 3. Jarak dari Pos 2 ke Pos 3 sekitar empat sampai lima kilometer. Dengan beda ketinggian tiga ratusan meter.
Menurut saya, tingkat kesulitan dalam mendaki Tambora terbilang level menengah. Jika sering mendaki, mungkin bisa dibilang levelnya mudah. Hal ini karena jarak tempuh panjang dengan beda ketinggian tak besar. Di atas kertas, itu berarti kemiringannya landai. Dan kenyataannya, memang tak banyak tanjakan terjal untuk dilalui.
Saya berjalan di depan kali ini. Saya mempercepat langkah karena ingin segera sampai. Ingin segera nyantai di depan tenda. Bayangan minum teh atau makan camilan, begitu menggoda. Apalagi sambil menunggu malam turun di hutan, diiringi suara jangkrik dan burung-burung.
Di belakang saya, ada Imam. Ia sibuk merekam video perjalanan. Beberapa kali, gambar saya ikut diambil. Dalam rekamannya, saya berkomentar tentang perkiraan waktu tempuh untuk sampai di Pos 3. Rasanya seperti seorang pembawa acara televisi. Saya jadi tak sabar melihat video itu tayang di kanal Youtubenya.
Menjelang pukul lima sore, kami semua sampai di Pos 3. Bang Can dan para porter menyambut kami. Saat sampai, mereka sedang memasak. Serta menyiapkan air panas untuk minum. Tenda-tenda untuk istirahat juga sudah terpasang. Mantap! Selamat datang di Pos 3 Tambora Jalur Pancasila.
Kondisi pos ini cukup baik. Tanah datarnya luas. Cukup untuk mendirikan puluhan tenda. Di sekitar area utama, juga banyak tempat datar yang bisa digunakan. Ada bale-bale kayu untuk tempat duduk. Serta satu bangunan shelter, kami pakai sebagai dapur.
Tak ada pendaki lain yang bermalam di Pos 3. Hanya kami berduabelas. Rasanya lega. Karena tempat bermalam kami jadi sepi. Suasana bermalam di tengah hutan jadi lebih terasa. Kami bebas bercengkrama tanpa takut ada orang terganggu.
Bagas
Saya cukup kaget saat mau buang air kecil. Ada yang bergerak mendekat dari balik semak-semak. Menimbulkan suara krasak-kresek mencurigakan. Ternyata itu si bagas. Mendengus mencari makanan ke arah tenda dapur.
Bagas adalah sebutan untuk babi hutan. Singkatan dari ‘bagong ganas’. Bagong berarti babi hutan. Itu istilah dalam bahasa sunda. Bang Can menjelaskan bahwa di Pos 3 ini ada banyak bagas. Jadi kita harus hati-hati menjaga logistik. Tas atau tenda yang berisi makanan harus ditutup erat-erat. Supaya tak diganggu olehnya.
Kaget melihat babi hutan, mengingatkan saya akan pengalaman di Gunung Papandayan. Di Garut, Jawa Barat. Peristiwa yang terjadi belasan tahun silam. Menyeramkan sekaligus lucu, belum saya lupakan sampai sekarang.
Saat itu, saya dan dua orang rekan seperjalanan bermalam di hutan. Sepi. Hanya kami di sana. Bernaung di bawah tenda flysheet yang terbuka bagian sampingnya. Saya terbangun tengah malam sendirian. Ada suara krasak-kresek mengganggu.
Kemudian saya kaget. Benar-benar kaget, sekaget-kagetnya. Baru membuka mata, menyalakan senter, dan melihat keadaan; ada sosok hitam, besar, pendek, bertaring, berkaki empat. Persis di depan saya. Begitu dekat, dengan jarak tak lebih dari satu meter.
Beberapa mili detik, pikiran saya ke mana-mana. Tak karuan. Itu mahluk jadi-jadian atau bukan? Segera sadar bahwa sedang di hutan, pikiran jernih pun datang. Itu babi betulan. Sedang mengorek sisa-sisa makanan di dalam nesting, yang teronggok tak jauh dari tempat saya tidur. Saya langsung mengusirnya. Hush! Hush! Hush!
Itu adalah pengalaman pertama saya, melihat si bagas secara langsung. Bertatapan dalam jarak dekat. Malam-malam, lagi. Saya terkejut. Ia pun terkejut, lalu lari menghilang di kegelapan. Hhh…
Matahari dan Bulan
Ada dua pemandangan cantik di Pos 3 saat sore menuju malam. Yang pertama adalah matahari terbenam di barat. Yang kedua adalah terbitnya bulan purnama di timur.
Hutan di sekeliling tempat bermalam Pos 3 tidak lebat-lebat amat. Itu membuat cahaya matahari tampak jelas di balik pepohonan. Dengan latar depan tenda-tenda yang sudah terpasang, langit sore tampak makin mempesona.
Setelah matahari turun dan tak terlihat lagi, giliran bulan yang unjuk gigi. Bentuknya bulat sempurna. Terlihat jelas karena langit begitu cerah. Terbit menyembul dari balik gunung. Perlahan naik ke atas di sela pepohonan yang kering meranggas. Seperti membentuk lukisan dengan bingkai yang mistis.
Esok dini hari, perjalanan kami ke puncak akan ditemani sinar bulan itu. []
I Komang Gde Subagia | Sumbawa, September 2023