Mencari Arah Cibunar

Tanggal 17 Maret menjadi hari keberangkatan kami menuju operasional navigasi darat dan gunung hutan di Cibunar setelah hampir sebulan lamanya menguras pikiran, tenaga dan mempersiapkan biaya untuk kegiatan ini. Dini hari, tepatnya pukul 04.00 WIB, kami semua bangun dan mulai membersihkan diri untuk terakhir kalinya selama mungkin tiga hari kedepan. Menikmati wangi sabun dan sampo yang memenuhi kamar mandi MSU disertai sedikit senandung lagu. Seperti biasa, mandi setelah operasional sudah seperti momen yang selalu kunantikan, menggunakan air panas dan berbagai macam alat mandi untuk membersihkan kotoran dan rasa lelah. Kembali ke momen sebelum pemberangkatan, ada sedikit kendala kecil yang kami alami. Mobil yang telat datang menjadi kekhawatiran kami, terutama Poge (Assa AM 25 KH) sang koordinator transportasi dan izin. Ia terus menghubungi tiga angkot yang akan mengantarkan kelompok kami menuju Desa Cibunar sampai ia mendapat kabar bahwa salah satu angkot sedang mengisi bensin sehingga dua angkot lainnya ikut menunggu.

Berangkatlah kami menuju Desa Cibunar, dalam perjalanan menuju kesana kami mengetahui bahwa supir angkot yang mengantarkan kami ternyata memiliki kerabat dekat di sana yang bahkan rumah kerabat dekatnya tersebut berada dekat titik start kami sehingga ia tahu benar akan rute yang akan dituju. Tidak seperti yang kami prediksi, ternyata kami hanya telat sebentar dari ROP yang kami tentukan. Di Masjid Al-Furqon kami tiba, yaitu tempat yang menjadi titik air pertama kami lalu kami langsung mengambil air di tempat wudhu.

Setelah melakukan orientasi medan untuk navigasi darat, kami pun memulai perjalanan kami menuju titik istirahat pertama di salah satu puncakan menuju puncak Gunung Cibunar. Berjalan melewati rumah-rumah di desa dan hutan kayu, kami terus mengikuti jalan setapak desa tersebut yang tak kami duga ternyata cukup menanjak dan panjang. Belum juga memasuki pintu rimba, keringat sudah mengucur membasahi badan akibat jalur setapak yang menanjak dan panjang. Sampailah kami di akhir jalan setapak yang terbuat dari beton. Berdasarkan navigasi darat yang kami lakukan, kami terus mengambil jalan yang pada akhirnya mengarahkan kami pada sebuah jembatan kayu yang terlihat lumayan reyot, menjembatani sungai yang penuh dengan batu tanpa ada air yang mengalir.

Jembatan Reyot Desa Cibunar

Sejuk udara menerpa kulit, diiringi oleh hangatnya sinar mentari yang menemani kami di hari pertama Navdar GH. Robert, AM-014-KH, sebagai koordinator, memutuskan untuk memasuki pintu rimba setelah melakukan navdar bersama dengan rekan lainnya. Di area yang cukup tinggi, kami disambut oleh pemandangan yang cukup menyegarkan mata di mana terdapat hamparan tanah luas diisi oleh lebatnya pohon dan lebih jauhnya terlihat pemukiman warga setempat. Medan yang mulai menanjak kami lalui dengan semangat petualangan. 

Sedikit yang kami tahu, bahwa rute yang terlihat pada peta nyatanya memang tak semudah yang dibayangkan. Selama tiga hari kami melalui berbagai macam rintangan dan kondisi yang asik nan menantang. Di hari pertama saja kami cukup tertahan oleh medan yang menanjak dan panjang menaiki punggungan menuju tempat istirahat pertama yang letaknya berada di sebelah tenggara Gunung Cibunar. Kami menggunakan webbing untuk membantu kami melewati medan yang menanjak itu. Hal itu memakan waktu yang cukup lama sehingga beberapa jam terlewati untuk sampai ke titik istirahat pertama. Setelah melewati medan sulit tersebut, kami akhirnya berhasil sampai di titik istirahat pertama dan segera mengisi perut untuk mendapatkan tenaga. Tenaga yang kami dapatkan dari istirahat pertama kami gunakan untuk membuka jalur menuruni lembahan yang curam untuk segera mendapatkan tempat camp dari bivak alam. Di lembahan yang dipenuhi oleh tanaman rambat itu, kami berhasil membuat dua bivak alam yang menurutku adalah bivak alam ternyaman yang pernah kami buat dan tiduri. 

Di hari kedua, berdasarkan keputusan dari pembimbing, kami melakukan praktik tidur kalong saat subuh sampai pagi hari.

Pohon yang tepat untuk tidur kalong

Setelah itu kami melakukan navdar dan memutuskan untuk menggunakan metode man to man dari lembahan tempat kami camp menuju puncak Gunung Cibunar. Rupanya setelah kembali melewati jalan yang terjal itu kami berhasil sampai di puncak Gunung Cibunar pada siang hari. Menjadi perjalanan yang mengesankan bagiku ketika menuruni puncak Gunung Cibunar karena bahwasanya kami hanya perlu menuruni pungungan sampai ke sungai yang menjadi titik air kedua. Tetapi nampaknya alam tak ingin kami melewatinya begitu saja tanpa mendapatkan pelajaran dan pengalaman. Begitu curamnya medan yang kami lalui sampai kami seakan menaiki perosotan tanah yang sangat licin dan panjang. Belum lagi tanaman duri yang tajam selalu hadir di samping atau bahkan menghalangi rute kami, luka dari duri-duri itu menjadi oleh-oleh bagi kita semua.

Selama tiga hari berpetualang di Cibunar kami menemukan setidaknya tiga satwa liar yang hidup di hutan ini. Yang pertama adalah monyet, ketika saya sendiri lebih dulu melanjutkan perjalanan dengan maksud mencari informasi rute selanjutnya, tak sengaja melihat dahan pohon yang bergerak dari kejauhan. Firasat saya mengatakan bahwa ada binatang yang membuat dahan pohon tersebut bergerak. Setelah lama kuperhatikan ternyata benar, ada beberapa binatang yang meloncat di pepohonan menjauhi saya. Sempat terekam oleh kamera, tetapi karena terlalu jauh kamera tidak bisa menangkap gambar dengan jelas. Rasa lelah di badan seakan sirna tergantikan oleh rasa penasaranku, saya bergerak maju dengan niat menyusul binatang itu sampai pada akhirnya saya berhasil menyusul mereka. Nampak delapan ekor monyet berwarna abu dengan ekor yang panjang satu persatu berjalan menyusuri pepohonan menuju lembahan, mereka adalah Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang. Lalu di hari kedua ketika menyusuri sungai kami menemukan jejak yang dapat diasumsikan adalah sejenis kucing.

Sebuah jejak penghuni hutan

Terakhir di hari ketiga, saya dan rekan saya sedang melakukan praktik membuat bivak ponco dan api. Saya dan rekan saya Robert saat itu berada di lokasi yang tak jauh ketika membuat bivak ponco. Kemudian, beberapa orang desa yang membawa banyak anjing untuk memburu babi hutan. Selang beberapa menit setelah mereka pergi, seekor babi hutan berlari dengan kencang kabur dari anjing-anjing dan melewati Robert yang sedang membuat parit untuk bivak ponconya. Suatu keberuntungan bagi Robert karena ia tidak diseruduk oleh babi hutan tersebut.

Tulisan Oleh : M. Zabarrekha Assidiq | AM-031-KH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *