Jarum Kompas yang Terus Berputar di Puncak Kadaka

Navigasi Darat dan Gunung Hutan ini adalah pertualangan ketiga saya dengan Astacala, setelah melewati Mountaineering Course dan Pendidikan Dasar Astacala XXX. Cerita ini berangkat dari pengalaman unik diluar kebiasaan, seperti persiapan ataupun cerita capeknya menyusuri gunung.
Untuk informasi yang melengkapi imajinasi pembaca, saya akan memberikan lokasi gunungnya terlebih dahulu: Gunung Kadaka, dengan ketinggian 1637mdpl, terletak di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Para peserta dibagi menjadi tiga kelompok, kami kelompok dua terdiri dari sebelas orang personil– tujuh peserta dan empat pendamping–dengan rencana memulai perjalanan dari Desa Pasanggrahan dan finish di Desa Babakan Dago dengan target perjalanan dalam tiga hari dua malam.
Perjalanan ini dimulai seperti biasa: Bermulai dari packing perlengkapan, perjalanan menggunakan angkot…dan salah jalur start.
Perlu saya luruskan terlebih dahulu, ini pandangan dari cerita saya pribadi dan saya akan memberikan sedikit pandangan cerita orang lain yang membantu plot baru dalam cerita saya, hahaha.
Ditugaskan sebagai koordinator kelompok dua, saya merasa mengemban tanggung jawab kepada rekan-rekan kelompok saya sendiri. Di hari pertama semua berjalan lancar, hanya terkendala kurang pekanya kami terhadap waktu dikarenakan banyaknya keraguan dalam menentukan jalur dan kerja sama.

Di hari kedua, kami sudah terbiasa dengan cuaca dan badan kami sudah tidak mudah capek seperti kemarin. Tetapi, permasalahannya dimulai ketika siang menuju sore, setelah kami beristirahat di titik air untuk melanjutkan perjalanan menuju titik kamp hari kedua.
Di titik air, kami menemukan sesuatu. Bisa ditebak?
Yap.
Kami menemukan jejak macan kumbang.
Titik air merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup, baik tumbuhan, hewan ataupun manusia. Maka dari itu, pasti saja ditemukan jejak hewan yang bisa dipelajari dan dianalisa hewan apa itu dan kapan hewan tersebut ke titik air, jelas pendamping kami.
Perjalanan dari titik air menuju puncak Gunung Kadaka memang curam, lalu dari puncak Gunung Kadaka hingga titik kamp kedua. Jalur tersebut sangat membingungkan, sebab gambaran dan bentukan yang ada di peta sangat berbeda dengan medan sebenarnya. Misal harunya berekspektasi untuk menuruni sebuah punggungan landai lalu menemukan sadelan, tetapi kenyataannya kami hanya menemukan lembahan yang curam.
Dari permasalahan yang seperti itu terus menyebabkan diskusi terhadap jalur menjadi lebih lama, sehingga membuat waktu perjalanan menjadi lebih panjang.
Dan langit pun perlahan menjadi gelap.

Bagi saya sendiri baru pertama kali menempuh jalur yang dirasa ekstrim, yang terdapat longsor besar dan pohon tumbang (kami dapat informasi dari warga setelah turun gunung bahwa longsor besar tersebut terjadi bertepatan dengan gempa di Cianjur.) Menembus sebuah punggungan gunung yang curam hingga kami memerlukan tali webbing untuk berpegangan bisa diibaratkan seperti berjalan di ujung rambut anak punk, ahahaha.
Di akhir punggungan tersebut, cuaca mulai perlahan hujan, menandakan akan datangnya badai.
Jalur yang kami tempuh adalah ke ujung puncakan dan tidak ada lagi jalan dan pilihan selain jalan terus dan mencari titik kamp alternatif. Jalan tersebut sangat curam dan hujan deras. Di atas puncakan tidak terdapat pohon-pohon untuk menahan laju angin, hanya ada semak belukar, dan saya pribadi sebagai seorang penebas semak-semak di jalur pendakian yang berjalan paling depan harus semi-tiarap untuk menghindari angin di atas puncakan.
Pada akhirnya kami menemukan punggungan yang sedikit luas dan memutuskan untuk mendirikan tempat teduh darurat untuk sebelas orang menggunakan flysheet. Seharusnya malam itu peserta harus tidur di bivak yang dibangun dengan bahan dari alam sekitar, tetapi untuk keselamatan bersama, keputusan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan waktu yang menuju gelap, cuaca hujan deras, suhu yang mulai menjadi dingin, dan kami yang kelelahan.

Permasalahan yang kami temui yang sama daruratnya adalah di hari ketiga. Ketika semua berjalan lancar mengikuti rancangan perjalanan dan kami harus turun untuk menemukan pemukiman dan pulang, jalur yang kami lalui sangat membingungkan karena tidak bisa ditebak. Jalan kami harusnya menyusuri punggungan menuju dataran lembah yang tidak curam, tetapi kami malah menemukan lembah curam dan puncakan lagi, sampai salah satu anggota kelompok saya tasnya harus dibantu dibawakan karena kakinya sudah melepuh dari lecet.
Pada akhirnya, karena sudah darurat, pendamping mengambil alih untuk menentukan jalur memakai bantuan aplikasi Avenza. Opsi untuk mendirikan kamp juga sangat tidak realistis karena persediaan air sudah habis, logistik sudah menipis dan hari mulai gelap. Jalur akhir pun masih rumit walaupun memakai bantuan aplikasi peta.
Singkat cerita, pukul 20.00 lebih kami sampai di penduduk Desa Cibunar, kami dibagi menjadi dua regu, yang pertama berkumpul di warung dan kedua di rumah warga.
Hingga larut malam kami masih di desa dan berdiam di tempat warga. Dengan angkot yang sudah kami pesan tidak bersedia menjemput karena sudah larut malam, dan warga yang menyangka kami tersesat di gunung, mereka berusaha membantu kami yang terlihat sudah kelelahan.
Kami berbaur dengan warga di teras rumahnya, dikerubungi oleh penduduk desa yang lain walaupun kami hanya duduk di teras sambil lesehan. Ada Pak RT, sesepuh kampung, dan lainnya, berbagi cerita dan mitos yang terkait dengan Gunung Kadaka, kenapa sampai kami bisa merasa kesusahan ketika turun gunung tersebut.
Menurut pandangan warga setempat, Gunung Kadaka adalah gunung legenda yang menumbuhkan banyak cerita-cerita, dari adanya makam keramat diatas sana, yang kami sangka adalah sebuah tugu yang ternyata adalah batu nisan. Warga setempat juga tidak banyak yang berani untuk menginjakkan kaki ke gunung tersebut, apalagi sudah larut malam, hal itu karena tumbuh mitos yang disebut Kahimengan, yang dalam bahasa indonesia artinya kebingungan, dimana bila ada orang yang masuk ke gunung tersebut akan dibuat bingung oleh penunggu gunung tersebut agar susah pulang dan akan berputar-putar di gunung tersebut.
Sampai diceritakan ada warga sekitar yang berprofesi sebagai pengambil gula di atas gunung tidak kembali sampai berhari-hari dan ia kembali lagi ke kampung bukan dengan wujud manusia akan tetapi macan. Dan sampai hari ini macan tersebut suka ke kampung bertingkah seperti manusia, seperti ikut menghangatkan badan di api unggun atau mengambil nasi timbel warga dan suka berpindah-pindah lokasi.
Dalam pandangan pendamping kami, dari hari pertama jalur perjalanan sangat aneh–tidak seperti di peta. Hal itu yang membuat pendamping kami khawatir dari hari pertama perjalanan, dan menyebut kami adalah anak-anak baik yang hoki karena bisa turun dengan selamat. Ada cerita menarik ketika pendamping mengawasi kami menuruni jalur: mereka bertemu seorang kakek-kakek petani yang tidak memakai sendal untuk berbincang perihal jalur, dan kakek tersebut memberitahu jalur untuk pulang. Tapi ketika turun gunung, pendamping kami menceritakan hal tersebut, dan kami peserta tidak sadar apakah kami melihat hal yang sama dengan pendamping atau tidak karena kami fokus dengan jalur. Hal itu yang membuat ambigu di kepala pendamping kami, apakah kakek tersebut manusia atau penunggu gunung…hahaha.
Cerita menarik kedua yang masih ambigu mistis atau tidaknya seperti halnya cerita diatas adalah ketika di kamp kedua kami mencari sebuah golok yang ketinggalan di puncak, dan saya dengan dua orang rekan saya yang lain lari ke atas untuk mencari dengan didampingi oleh satu orang pendamping. Tetapi, di atas tidak ada goloknya.Padahal, dari penuturan teman kami yang memegang golok, golok tersebut ditancapkan di sebelah pohon ketika kami turun dengan webbing karena jalan terjal, dan tidak ada yang mengambil golok tersebut. Ketika kami sudah kembali ke tempat kamp dengan tangan kosong dan wajah lesu karena tidak membawa sesuatu yang diharapkan, kami disuruh melihat tas carrier masing masing, dan teman kami yang meninggalkan goloknya menemukannya di dalam tas. Hal tersebut menjadi guyonan yang menyebalkan karena kami capek tertawa dibuatnya, haha. Dari penuturan teman saya tersebut, ia sudah memeriksa tasnya sebelum lari ke atas bersama kami, dan tas carriernya juga kosong karena belum adanya instruksi packing.
Sekian cerita perjalanan dari saya sebagai alumni puncak Gunung Kadaka dengan cerita-cerita didalamnya yang sangat membekas dan menjadikan bahan bakar baru untuk saya sebagai anggota muda untuk mengobarkan api semangat untuk berkelana jauh dan bertemu orang-orang baru dengan ribuan kisah dibaliknya.

Tulisan Oleh: Mochamad Zevazaky Langit | AM-009-KH
Mantap! Kisah perjalanan yang seru sekali.