Hulu Sungai Citarum, Tempat Kami Bermain (Bagian 1 #citarumkita)
Kami yang disatukan oleh organisasi Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) ASTACALA kampus Telkom University sudah menjadikan Hulu Sungai Citarum sebagai rumah kedua kami. Merupakan salah satu sungai tercemar di Indonesia bahkan di dunia, Sungai Citarum menyimpan banyak makna lingkungan dan perekonomian yang sudah dimulai sejak zaman dahulu. Banjir dan tercemarnya Sungai Citarum sudah sangat terkenal. Tiap tahunnya sudah menjadi langganan banjir mulai dari daerah hulu di Bandung hingga daerah hilir di Bekasi. Parahnya lagi, pada tahun 2013 Sungai Citarum pernah dimuat oleh Green Cross Switzerland and Blacksmith Institute sebagai salah satu sungai dengan predikat tercemar dan terkotor di dunia.
Dengan panjang sekitar 270 km, Sungai Citarum menjadi sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat. Walaupun begitu banyak cerita negatif yang menghampirinya, nyatanya Sungai Citarum juga menyimpan berbagai keindahan alam. Pegunungan yang berdiri tegak di setiap sudut hulunya mulai dari Gunung Wayang, Gunung Rakutak, Gunung Malabar, Gunung Windu dan lain sebagainya. Wisata arung jeram di peralihan sungai hingga perkemahan yang ada kawasan titik nol (mata air awal mula sungai). Tempat ini menjadi surga yang terpendam bagi kami pecinta alam.
Bersandar pada Sayur
Keindahan alam Gunung Wayang yang berada di daerah hulu Sungai Citarum tergerus oleh peralihan lahan oleh perkebunan sayuran. Dengan jumlah penduduk sekitar 70 ribu, mayoritas penduduk Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung yang terletak di kawasan Hulu Sungai Citarum berprofesi sebagai petani sayur. Sayur-sayuran yang dihasilkan dari kawasan Hulu Sungai Citarum ini mampu menyuplai ke berbagai daerah di Provinsi Jawa Barat dan Jakarta. Mulai dari daun bawang, wortel, kentang, kol hingga cabai tertanam disini. Setiap harinya mobil-mobil pengangkut sayur sudah menjadi pemandangan rutin yang dijumpai di jalan menuju kawasan Situ Cisanti.
Hal ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi perkebunan sayur tersebut mampu menghidupi penduduk kawasan Hulu Sungai Citarum namun disisi lainnya ketergantungan pada mata pencaharian ini berdampak buruk pada lingkungan secara perlahan dari tahun ke tahun. Tanaman sayur yang notabene harus terpapar 100% sinar matahari mengakibatkannya harus ditanam pada lahan terbuka. Lahan terbuka inilah yang seringkali dipaksakan oleh penduduk dengan melakukan penanaman di daerah yang miring. Tanah di daerah yang miring membutuhkan pohon-pohon yang mampu menahan dan menyerap air ketika turunnya hujan. Namun, hal itu tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena tanah di daerah tersebut telah dialih fungsikan menjadi perkebunan sayur yang mengakibatkan terjadinya sedimentasi besar akibat tanah yang tidak mampu menahan kikisan air. Belum lagi bahan-bahan pupuk yang mengandung kimia maupun perawatan tanaman sayuran yang menggunakan pestisida juga ikut terbawa oleh air hujan ke dalam aliran Sungai Citarum. Pergeseran lahan hingga buruknya tata kelola tempat tinggal pun dirasakan di tempat ini.
Pencemaran dan kotornya Sungai Citarum sudah dimulai sejak awal mula sungai ini mengalir. Hulu tempat berawalnya aliran yang melalui Bandung hingga bermuara di Lautan Bekasi.