Pengalamanku di Kampung Cilondok

Related Articles

Tim Ekspedisi Cagar Alam Gunung Simpang bersama warga Kampung Cilondok

Kampung Cilondok merupakan sebuah kampung terpencil yang terletak di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Kampung ini sekaligus menjadi perbatasan antara Bandung dan Cianjur, juga berbatasan langsung dengan sebuah cagar alam yang kurang dikenali orang-orang lainnya, yaitu Cagar Alam Gunung Simpang. Selain karena terpencil dan jauh dari kota, akses menuju jalan utama kampung ini cukup sulit karena harus melewati kondisi jalan yang bebatuan dan menanjak cukup terjal. Mungkin jalan menuju Kampung Cilondok merupakan sebuah tantangan bagi orang yang belum pernah melewatinya, namun bagi penduduk kampung melewati jalan tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Dan ini adalah sebuah pengalamanku yang akan aku ceritakan ketika melakukan kegiatan di Cagar Alam Gunung Simpang dan Kampung Cilondok.

Hari Rabu tanggal 27 Juli 2022, pukul 06.30 setelah sarapan mengisi perut, aku dan teman-temanku berangkat dari sekretariat Astacala dengan menggunakan mobil truk TNI yang telah kami sewa sebelumnya. Kami pun berangkat menuju arah Ciwidey dengan melewati jalan tol dan mobil yang kami tumpangi pun melaju sangat cepat sehingga angin masuk secara kencang. Tidak lama kemudian kami sampai di daerah Ciwidey dan belok menuju arah Kampung Cilondok, dari situ jalan aspal pun sedikit demi sedikit mulai berganti dengan jalan bebatuan. Tidak hanya jalan bebatuan saja yang kami lewati, jalan menanjak dan menurun pun kami lewati, hal itu membuat kami yang berada di kursi belakang terasa berguncang-guncang dan membuat aku harus berpegangan karena kalau tidak aku bisa saja terpental. Semakin lama perjalanan, jalan semakin hancur dan badanku juga mulai merasa pegal harus menahan guncangan agar tidak terpental kesana-sini.

Sekitar pukul 11.00 akhirnya aku sampai juga di sebuah kampung terpencil dan juga menjadi ujung dari jalan yang kami lalui tadi, karena jalan itu langsung menuju ke Cagar Alam Gunung Simpang. Setelah sampai di Kampung Cilondok, kami pun turun dan langsung menurunkan semua barang yang kami bawa. Disitu aku baru teringat, makan siang yang telah kami siapkan di pagi hari tidak terbawa, padahal rencananya kami hanya istirahat sebentar saja sembari makan siang sebelum lanjut masuk hutan. Namun, karena hal itu kami pun terpaksa membongkar tas untuk mengeluarkan logistik dan menumpang memasak di rumah salah satu warga Kampung Cilondok yang telah kami temui sebelumnya, yaitu Mbah Jono, beliau sangat baik dan merelakan dapurnya untuk kami gunakan masak makan siang. Sebagian anggota tim masak makan siang dan lainnya mengisi jerigen air untuk bekal air saat masuk hutan nanti. Tidak lama kemudian, makan siang pun siap digelar di rumah Mbah Jono. Kami pun semua menyantap makan siang agar punya energi untuk masuk hutan nanti, apalagi kami bukan hanya sekedar masuk hutan, melainkan melakukan penelitian tentang macan tutul, jadi memerlukan konsentrasi yang lebih dari biasanya.

Setelah selesai makan siang, kami dibagi menjadi dua tim seperti yang telah direncanakan sebelumnya, yaitu ada tim desa dan tim hutan. Tim hutan langsung bersiap untuk melakukan briefing sebelum masuk hutan sembari menunggu arahan dari Pak Mumu dan Pak Madni (Polisi Hutan). Beliau adalah perwakilan yang ditunjuk sebagai pendamping kami ketika memasuki Cagar Alam Gunung Simpang, yang mana cagar alam sebagai kawasan konservasi memiliki aturan dan cara main tersendiri, salah satunya adalah pendampingan dari polisi hutan ketika hendak melakukan kegiatan disana.

Setelah semuanya bersiap, Pak Madni langsung memberikan sedikit arahan dan pesan sebelum masuk hutan serta dilanjut dengan doa bersama. Setelah itu, aku dan teman-teman mulai berjalan memasuki hutan dengan dipimpin oleh Pak Mumu dan Pak Madni. Sembari melakukan perjalanan, kami sudah mulai langsung observasi dengan didampingi oleh Kang Engkuy (Peneliti Macan Tutul), beliau adalah rekan dari Kang Ganthar selaku Peneliti Macan Tutul yang sebelumnya pernah mengisi materi tentang macan tutul di sekretariat Astacala. Kang Engkuy bersedia menemani dan mendampingi kami untuk melakukan observasi bukti-bukti keberadaan macan tutul di Cagar Alam Gunung Simpang.

Cukup melelahkan memang, ketika kami harus berjalan menyusuri jalan yang licin dan basah sembari membawa tas yang cukup berat. Disitu fokus dan konsentrasi kami akhirnya terpecah, bayangan aku ingin cepat-cepat sampai ke tempat camp, padahal tujuan kami seharusnya melakukan observasi di perjalanan, sehingga aku harus berjalan secara perlahan untuk melihat kondisi di sekitar aku. Terbukti memang, ketika di perjalanan aku melewati beberapa temuan, yaitu feses dan cakaran di tanah. Banyak juga jejak di tanah yang aku temui dan disitu lah untuk pertama kali aku melihat jejak karnivor besar secara langsung, bukan lagi di foto atau di replika. Setiap temuan yang kami dapat, langsung dilakukan pendataan menggunakan kertas formulir yang sudah dibuat dan dokumentasi secara lengkap.

Perjalanan observasi ditemani dengan turunnya hujan, sehingga kami harus bergerak lebih cepat menuju tempat camp. Setelah sampai di tempat camp, kami semuanya langsung membagi tugas untuk membangun camp agar kami tidak semakin basah kuyup. Selesai membangun camp dan mengumpulkan bahan bakar untuk api unggun, kami pun membagi tim kembali, ada yang tim masak, tim motong kayu, dan tim merapikan tempat tidur. Momen seperti ini yang sebenarnya aku rindukan, walaupun cukup melelahkan namun disitu aku merasa terharu bisa bersama-sama dalam kondisi seperti ini. Lanjut, akhirnya kami menyantap makan malam dan melakukan evaluasi dan briefing untuk kegiatan esok harinya. Dalam briefing tersebut, kami semua sepakat bahwa hari esok kami akan lanjut menuju titik camp kedua dan memecah tim peneliti menjadi dua, agar pencarian lebih maksimal.

Besoknya, kami langsung bersiap dan melanjutkan perjalanan menuju tempat camp kedua. Tidak lupa setiap perjalanan yang kami lakukan, kami selalu melakukan observasi di jalan. Tidak lama kemudian, ternyata aku sudah sampai di tempat camp kedua dan langsung makan siang untuk melanjutkan penyisiran di area punggungan. Setelah selesai makan siang, kami langsung terbagi menjadi dua tim. Aku bersama rekanku Kerti dengan didampingi oleh Abah Sendar (sesepuh lokal) dan Kang Engkuy untuk melakukan penyisiran menuju arah selatan dari titik camp kami. Dengan berbekal sedikit makanan ringan dan minuman sachet, aku kembali melanjutkan penelitian di sore itu dengan menyusuri punggungan sempit. Menurut teori yang aku dapatkan, bahwa macan tutul itu pasti akan melewati punggungan sempit yang dimana kanan dan kiri-nya itu lembahan, jadi sudah pasti macan tutul akan melewati jalan tersebut. Dan benar saja, tidak lama aku berjalan, langsung menemukan sebuah temuan yang aku nantikan sebelumnya, yaitu cakaran pohon. Dan lagi, untuk pertama kali nya aku melihat cakaran macan di pohon, disamping cakaran di pohon ditemukan juga banyak bukti kuat yang mendukung keberadaan si macan tutul, yaitu cakaran di tanah. Tidak berlama-lama, aku dan Kerti pun langsung melakukan pendataan dan dokumentasi lengkap. Setelah melakukan pendataan, aku pun melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalan kami beberapa kali menemukan cakaran di pohon yang membuat kami semakin yakin tentang keberadaan macan tutul di jalan tersebut.

Setelah berjalan cukup jauh hari pun kian gelap dan kami memutuskan untuk beristirahat dan memasak mie untuk mengganjal perut, disitu aku pun bertukar cerita dengan Abah Sendar selaku sesepuh lokal, beliau bercerita bahwa beliau seringkali berjumpa secara langsung dengan macan tutul ketika beliau sedang berjalan. Aku pun cukup kagum dengan pengalaman yang sudah beliau lewati, sungguh menjadi pelajaran. Lalu, setelah bercerita dan makan mie, kami langsung memutar balik menuju arah camp sembari melakukan observasi malam, katanya observasi malam itu lebih efektif dibanding observasi siang hari. Dan benar saja, ketika diperjalanan pulang, kami menemukan kembali cakaran di pohon yang bahkan kami lewati ketika siang hari tadi. Dan kami pun sempat melihat dan memperhatikan seekor musang yang sedang duduk di pohon. Ini pengalaman baru bagiku, dapat memantau hewan langsung di hutan atau di habitat aslinya. Setelah sampai di tempat camp, aku langsung menyantap makan malam yang sebelumnya telah disiapkan oleh tim camp dan setelah makan malam, kami kembali melakukan evaluasi tentang hasil temuan yang kami temukan dan berbagi cerita dengan tim lainnya, yang berisikan Fio, Hilma, dan Icip. Ternyata data temuan yang didapat oleh kedua kelompok cukup banyak dan semakin menguatkan bukti keberadaan macan tutul di area ini. Setelah evaluasi, kami melakukan briefing untuk kegiatan esok hari. Di briefing tersebut kami sepakat bahwa untuk esok hari kami tidak akan berpindah camp dan menghabiskan hari untuk melakukan penelitian.

Hari berikutnya, setelah selesai mengisi perut di pagi hari, kami langsung memecah kembali tim peneliti menjadi dua tim. Kali ini aku didampingi oleh seniorku di Astacala, yaitu Bang Andre dan Bang Cules. Kami ditemani oleh Pak Madni selaku Polisi Hutan untuk melakukan penyisiran, wilayah yang kami pilih adalah mengikuti jalur menuju arah selatan terus. Kami melakukan penyisiran di jalur selama kurang lebih empat jam. Di penyisiran kali ini kami hanya mengikuti jalur saja dan benar saja kami menemukan beberapa jejak tanah, aku memilih jejak tanah dengan kondisinya yang bagus untuk melakukan pencetakan jejak tersebut dengan menggunakan gypsum yang telah kami bawa sebelumnya. Aku dan Kerti pun membuat adonan gypsum untuk dituang dan mencetak jejak tersebut. Cukup banyak jejak yang kami temui dan kami pun mencetak beberapa jejak. Sampai gypsum kami habis, kami pun menunggu cetakan gypsum tersebut kering sembari memasak untuk mengganjal perut kami. Kami menyantap makanan bersama-sama. Walaupun masakan yang kami buat hanya sederhana namun jika dimakan bersama-sama dalam kondisi lapar dan lelah akan terasa lebih nikmat. Setelah makan dan istirahat, aku mengecek kembali cetakan gypsum tadi dan mengangkatnya, namun sayang beberapa cetakan ada yang patah bahkan hancur dikarenakan adonan yang belum kering sempurna dan tanah yang lengket karena basah. Setelah berhasil mengangkat cetakan gypsum tadi, aku dan Kerti pun langsung buru-buru membawa cetakan tersebut kembali ketitik camp sebelum turun hujan dan langit semakin gelap. Aku membawanya dengan sangat hati-hati sampai ke titik camp. Sesampainya di titik camp aku langsung menyantap makan malam dan kembali evaluasi dan briefing seperti malam-malam sebelumnya.

Keesokan hari, kami memutuskan kembali ke desa untuk membeli kebutuhan logistik, karena logistik yang kami beli itu ternyata kurang. Setelah melakukan isi ulang logistik kami beristirahat sejenak dan langsung bersiap kembali untuk melakukan perjalanan penelitian selanjutnya. Tempat yang akan kami tuju adalah arah utara atau dikenal dengan Patok Beusi, tempat ini dikenal sebagai pintu masuk satwa-satwa, dikarenakan jalur perbatasan antara Cagar Alam Gunung Simpang dan Cagar Alam Gunung Tilu. Perjalanan menuju Patok Beusi ternyata cukup melelahkan, dikarenakan memiliki tanjakan yang cukup terjal dan kami harus membawa beban tas yang cukup berat karena baru saja diisi logistik kembali. Alhasil fokus aku pun terpecah kembali yang mana aku fokus untuk mencapai titik camp saja, padahal seharusnya sembari jalan, aku harus fokus melakukan penelitian. Singkat cerita, sesampainya di titik camp, kami langsung membagi beberapa tim, ada tim camp yang bertugas membangun tempat camp, lalu ada tim penelitian yang kembali dibagi menjadi dua tim. Untuk tim penyisiran, kami langsung bergegas untuk langsung berangkat menyusuri punggungan. Namun, karena ternyata punggungan tersebut hanya satu dan tidak terbagi menjadi beberapa punggungan, akhirnya tim peneliti pun tidak jadi terbagi, kami fokus di satu jalur untuk melakukan observasi. Setelah berjalan cukup jauh, kami memutuskan untuk masak makan malam bertujuan mengganjal perut. Setelahnya kami langsung putar balik menuju tempat camp. Sesampainya ditempat camp kami langsung menyantap menu makan malam serta dilanjut dengan evaluasi dan briefing untuk keesokan harinya. Dari briefing kami sepakat untuk langsung kembali menuju Kampung Cilondok esok pagi.

Pagi harinya kami bersiap-siap kembali, ada yang memasak sarapan dan ada yang merapikan tempat camp. Setelah masakan jadi, kami langsung menyantap sarapan kami, setelah itu langsung packing untuk melanjutkan perjalanan pulang. Namun disela-sela packing tersebut, kami baru menyadari bahwa ada satu golok yang kurang. Akhirnya kami memutuskan untuk cleaning dulu area camp dan cleaning semua carrier. Ternyata golok tersebut terselip di salah satu carrier. Setelah semua alat ditemukan lengkap. Kami pun melanjutkan perjalanan untuk pulang ke kampung. Aku sendiri berjalan cukup cepat karena sudah ingin buru-buru sampai ke kampung.

Diperjalanan pulang, dekat dengan kampung, kami berjumpa dengan sebuah sungai besar yang menawan. Beberapa dari kami pun memutuskan untuk mandi dan membersihkan badan sejenak di sungai tersebut, namun aku sendiri memilih untuk jalan terus menuju rumah Mbah Jono di Kampung Cilondok dikarenakan sudah lelah sekali. Sesampainya kami di Kampung Cilondok, kami disambut oleh tim desa, ternyata tim desa sudah memesan makanan untuk santapan makan siang kami di salah satu warung yang ada disana, yaitu warung Bu Dewi, kami pun akhirnya menyantap makanan bersama disana.

Kegiatan berbincang dengan masyarakat Kampung Cilondok
Makan bersama setelah tim hutan kembali ke Kampung Cilondok

Setelah semuanya makan dan ngopi-ngopi, sembari menunggu truk TNI datang untuk menjemput kami, disana aku ngobrol-ngobrol dengan warga sekitar, ternyata mereka senang dengan kedatangan kami semua disini. Dan benar saja dugaanku, bahwa memang terbatas sekali masyarakat yang datang ke kampung tersebut atau bahkan berkegiatan disitu. Aku dan teman-teman terharu dengan sambutan baik oleh masyarakat kampung setempat yang membuat aku ingin balik lagi ke Kampung Cilondok. Tidak lama kemudian truk TNI datang menjemput kami, perasaan senang karena akan kembali pulang ke kota namun bercampur sedih karena harus meninggalkan kampung ini dengan orang-orang yang ada didalamnya. Setelah selesai berpamitan dan berfoto bersama, kami pun meninggalkan kampung tersebut untuk kembali pulang menuju sekretariat Astacala. Ternyata di perjalanan pulang pun ada beberapa warga kampung yang ikut naik truk kami, yaitu Mbah Jono dan Mbah Sendar. Kalau Mbah Jono sendiri ingin menemui anaknya di perjalanan dan kembali pulang apabila nanti bertemu angkot yang dikendarai anak beliau. Sedangkan Mbah Sendar ini ingin menemui anaknya juga yang berada di Soreang. Sesampainya di alun-alun Soreang, Mbah Sendar pun turun dan berpamitan.

Suasana Sore di Kampung Cilondok

Ini adalah benar-benar pengalamanku yang berkesan, karena ini adalah pengalaman pertama kali aku untuk dapat melakukan penelitian tentang macan tutul sekaligus bertemu dengan kampung dan warganya yang sangat menyambut kami dengan baik. Di kampung tersebut aku memperoleh banyak pelajaran salah satunya tentang bersyukur, walaupun mereka jauh dari kehidupan kota, namun canda tawanya tetap dapat terlihat. Semoga pengalamanku di kampung tersebut tidak hanya sekali saja, namun dapat berlanjut kedepannya, sehingga bisa menjadi salah satu destinasiku ketika hendak ingin liburan. Mungkin cukup sekian dulu pengalamanku yang bisa aku tulis, kalau ada pengalamanku yang baru dan berkesan akan aku tulis lagi. Terimakasih.

Foto bersama Bu Dewi, salah satu warga Kampung Cilondok

Tulisan Oleh : Ade Rian (AM – 020 – JB)

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Pembukaan Ekspedisi Pencinta Alam Indonesia 2018, Menjemput Harimau Jawa

  Moh. Hariono, mewakili Kepala Direktorat Jenderal KSDAHE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka Ekspedisi Pencinta Alam Indonesia 2018 "Menjemput Harimau Jawa" di kantor Seksi...

Pendidikan Dasar Astacala XXIV

Pendidikan Dasar Astacala (PDA) merupakan tahap awal yang harus dilalui untuk menjadi anggota Astacala, menjadi saudara sejati kami. Di momen inilah calon anggota Astacala...

Serunya Mengarungi Sungai Citarum – Operasional Peminatan ORAD Gemuruh Langit

Rangkaian Pendidikan Lanjut Astacala angkatan Gemuruh Langit telah sampai pada tahap Pendivisian atau yang biasa disebut Peminatan. Salah satu dari tiga divisi Peminatan telah menyelesaikan pengarungan di Sungai Citarum untuk mempelajari teknik-teknik pengarungan sungai arus deras.