Impianku yang Terwujud di Kampung Londok

Bersama polisi hutan dan warga Kampung Londok

Saat saya menyadari tidak semua impian dapat menjadi kenyataan…yah, tak satupun dari kita tahu seberapa panjang umur kita dan apa yang akan terjadi pada diri kita satu detik di masa depan, tetapi salah satu impian saya telah terwujudkan: sebuah mimpi untuk merasakan tinggal di sebuah desa yang benar-benar masih asri, yang dekat dengan alam, serta kebun dan warganya yang jauh dari gadget.

Akhirnya saya merasakannya di pendidikan saya kali ini.

Seperti biasa, di hari-hari sebelum keberangkatan, kami sudah mulai untuk berbelanja logistik mulai dari pagi hingga sore hari untuk keperluan yang akan dibawa ke tempat operasional Perjalanan Wajib (PW) Jemari Bumantara, Cagar Alam Gunung Simpang. Malamnya, kami mengemas semua logistik dan peralatan pribadi yang sudah dibagikan ke dalam carrier masing-masing. Di malam itu semua peserta dan pendamping yang mengikuti kegiatan PW ini diwajibkan untuk tidur di sekre, karena esok pagi adalah waktunya keberangkatan.

Keesokan harinya, kami bangun untuk bersiap-siap shalat subuh sebelum berangkat, sembari menunggu mobil truk TNI yang akan mengantarkan kami pergi kesana nantinya datang. Kami semua mulai makan bersama-sama di sekre, dan setelah selesai makan, kami bergegas menuju mobil truk TNI yang sudah menunggu di gerbang 3 kampus, diantarkan oleh orang-orang yang akan berangkat menyusul di tanggal 29 Juli. Kemudian kami pun berpamitan.


Awal perjalanan ke Ciwidey begitu cepat, karena kami melewati jalan tol. Tetapi, ketika memasuki jalan menuju Kampung Londok, jalanan sudah tidak bagus lagi. Sepanjang jalan banyak bebatuan besar menghiasi jalan, dan, yah, setelah sampai di Kampung Londok badan saya terasa pegal-pegal.

Kenapa kami memilih Kampung Londok?

Kampung Londok adalah tempat terdekat dan berbatasan langsung dengan Cagar Alam Gunung Simpang. Begitupun pintu rimba yang pertama kali dimasuki oleh tim hutan sangat dekat dari Kampung Londok.

Sesampainya di Kampung Londok, kami bersilaturahmi kepada beberapa warga di sana dan Pak Jono, karena beliau menyediakan tempat untuk tim desa untuk menginap sampai hari terakhir kegiatan kami. Kegiatan PW kami dibagi menjadi dua tim: tim hutan, yang berkegiatan di hutan Cagar Alam Gunung Simpang untuk melakukan penelitian karnivora besar, dan tim desa yang fokus untuk mencari informasi Cagar Alam dan macan tutul secara langsung dari desa sekitar yang dekat dengan Cagar Alam Gunung Simpang. Kali ini, saya menjadi tim desa.

Yah, rasanya senang sekali bisa merasakan tinggal di desa yang dimana sekitarnya dikelilingi oleh kebun teh, juga hutan dengan kekayaan alamnya.

Sembari tim hutan menunggu dua orang polisi hutan Cagar Alam Gunung Simpang, Pak Madni dan Pak Mumu, kami semua beristirahat dan makan di rumah Abah Jono. Setelah selesai makan, Pak Madni dan Pak Mumu datang. Tim hutan pun bersiap-siap bergegas menuju hutan Cagar Alam Gunung Simpang. Kami sebagai tim desa mulai mengobrol dengan Abah Jono sembari mencari informasi perangkat desa Sugihmukti. Di desa Sugihmukti terbagi menjadi beberapa kampung, dan tempat tinggal Abah Jono, Kampung Londok, adalah salah satunya. Kemudian kami pun diberitahu informasi seperti rumah RT, RW dan sebagainya.

Ternyata di Desa Sugihmukti tidak ada dokter, bidan, atau bantuan medis.

Warga di Desa Sugihmukti harus pergi jauh ke Ciwidey terlebih dahulu untuk berobat, tetapi ada satu orang sebagai kader posyandu, yaitu Bu Dewi. Beliau adalah seorang warga yang memiliki warung di Kampung Londok. Setelah selesai mengobrol dengan Abah Jono dan pak RT kampung Londok, Pak Dadang, di sore harinya kami mempercepat agenda kegiatan. Saya, Eren, Bang Yayat dan Bang John berpamitan dengan abah Jono untuk bergegas menuju Kampung Cawan, tempat dimana rumah RW Desa Sugihmukti, Pak Deden, berada.


Kami sampai di Kampung Cawan dengan lama perjalanan selama setengah jam. Yah, lumayan jauh dengan berjalan kaki di atas jalan berbatu yang agak sedikit menanjak. Ketika tiba, kami segera bertanya pada warga di sana tentang keberadaan rumah pak RW.

Sesampainya disana, kami langsung disambut baik oleh keluarga Pak Deden. Semua warga di kampung-kampung Desa Sugihmukti ini memang sangat ramah dan baik sekali. Kami selalu disediakan makanan dan minuman oleh mereka, walaupun yang kami tahu kondisi ekonomi warga di sana memang cukup pas-pasan, dikarenakan mereka ternyata hidup di tempat Hak Guna Usaha (HGU).

Rata-rata semua warga di sana bekerja sebagai pemetik daun teh. Di Kampung Cawan terdapat pabrik teh, dan Desa Sugihmukti memang berada di kawasan kebun teh PT Sankawangi.

Di rumah Pak Deden kami makan makanan yang disediakan oleh istri Pak Deden. Saya dan Bang John juga tidak lupa jajan seblak disana, sembari mengobrol dan memberitahu info kepada Pak Deden bahwasanya kami sedang berkegiatan di Cagar Alam Gunung Simpang. Tak lupa juga bertanya langsung ke Pak Deden soal macan tutul. Pak Deden memberi tahu kalau memang masih banyak macan tutul, bahkan macan kumbang, di sekitar Cagar Alam Gunung Simpang. Beberapa warga bahkan mengatakan ketika mereka sedang melewati jalan di malam hari, mereka pernah melihat macan tutul lewat dan menyebrangi jalan.

Kemudian kami pun mengobrol dengan anak Pak Deden, Kak Neni. Ternyata Kak Neni sedang menjalani pendidikan perguruan tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia, tetapi karena sedang libur, Kak Neni ada dirumah. Di kampung Desa Sugihmukti ini sedikit orang yang bisa melanjutkan jenjang sekolah ke yang lebih tinggi. Yang melanjutkan kuliah saja hanya 3-5 orang saja, dikarenakan memang orang tuanya yang tidak bisa membiayakan sekolah atau kuliahnya, apalagi dengan upah kerja yang perharinya hanya diberi Rp35.000 per hari, belum untuk membeli bahan pokok makanan sehari-hari dan uang untuk bekal sekolah anak.

Bahkan rata rata orang disini dari semenjak lulus SMP sudah melanjutkan ke jenjang pernikahan. Yang melanjutkan ke SMA/SMK juga sedikit, karena SMA/SMA-nya pun tidak ada di desa, melainkan harus ke Ciwidey. Kami pun dapat info dari Pak Deden bahwasanya setiap pagi pukul 06.00 ada mobil truk untuk menjemput anak-anak dari kampung-kampung sekitar untuk berangkat ke satu-satunya sekolah di Desa Sugihmukti yang berlokasi di Kampung Cibadak, salah satu kampung di desa itu.


Sore harinya, saya dan Eren bergegas memasak untuk persiapan makan malam dengan Abah Jono. Setelah asyik makan malam dan mengobrol dan bercerita dengan Abah, saya pun mengecek jam.

Waktu sudah menunjukan pukul 21.30 malam. Saya pun bersiap-siap untuk tidur.

Pagi hari, saya bergegas untuk persiapan shalat subuh dan memasak sarapan pagi dari pukul 04.00 pagi dengan Eren. Disitu pun saya dapat belajar memasak dari Eren. Setelah selesai masak, kami sarapan pagi dengan yang lain dan Abah Jono. Pada hari itu, kami terpisah menjadi dua tim: Eren dan Bang Yayat pergi menuju Kampung Cibadak untuk melihat anak-anak sekolah disana, dan saya dengan Bang John mengikuti Abah Jono bekerja memetik daun teh.

Membantu abah Jono memetik daun teh

Rasanya senang sekali bisa ikut merasakan bekerja dengan Abah Jono. Saya diajarkan oleh Abah Jono yang mana daun yang sebaiknya harus dipetik, ternyata setiap jenis daun dijual dengan harga yang berbeda, yang paling mahal adalah daun teh yang masih menguncup. Daun itu dinamakan white tea, yang berharga Rp50.000 setiap 1 kg.

Selesai memetik, saya dan Bang John pamit dengan Abah Jono untuk pergi ke Kampung Cerem, setelah berbicara dengan Pak Aceng di kebun teh. Kami pergi kesana untuk bersilaturahmi dan menanyakan informasi terkait macan tutul dan Cagar Alam.

Kampung Cerem itu berada di puncak kebun teh. Yah, kurang lebih memakan waktu selama setengah jam dengan berjalan kaki. Pemandangannya bukan main bagusnya, selama perjalanan kita bisa langsung melihat pemandangan Cagar Alam dari kebun teh.

Di Kampung Cerem, kita disambut oleh banyak anjing. Tiap ada orang baru datang sepertinya anjing-anjing itu selalu berisik, sampai kami merasa tidak enak ketika datang kesana…Tetapi, disana saya bertemu Pak Keling dan disambut baik juga oleh istri beliau. Setelah itu kita pun banyak bercerita dan mengobrol. Sebelum kita pamit pulang, Pak Keling mengajak kami untuk melihat langsung perbatasan kebun teh dengan Cagar Alam, dan ternyata Eren dan Bang Yayat sudah sampai di rumah Abah Jono saat kami dalam perjalanan pulang dari Kampung Cerem ke Kampung Londok.

Warung Bu Dewi

Setelahnya kita pun memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di warung Kampung Londok bagian atas di sore hari, sembari melihat warga yang sedang bermain voli. Jadi, di Kampung Londok itu ada satu lapangan yang biasanya digunakan warga disana untuk bermain voli di setiap sore harinya, wah, seru bukan?.

Dengan terbatasnya juga sinyal di desa itu,  jadi di setiap malamnya biasanya warga banyak menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan keluarga sembari menonton TV bersama-sama. Kemudian esok harinya tim menyusul pun datang.

Esok harinya kita pun lanjut mengisi agenda harian dengan melanjutkan silaturahmi dan menanyakan informasi kepada warga disana, sampai di hari terakhir kita pun bertemu kembali dengan tim hutan.

Sebelum pulang kita makan bersama-sama terlebih dahulu di warungnya Bu Dewi, setelah itu kita berpamitan bersama warga-warga disana, yah rasanya sangat sedih dan terharu sekali ketika kita mau meninggalkan kampung Londok.

Karena jujur rasanya walaupun capek harus keliling kesana kemari, akan tetapi capek itu seketika hilang ketika bertemu warga dan disambut dengan orang orang yang amat baik dan ramah dan selalu berbagi kepada kami, walaupun kondisi ekonomi warga disana pas-pasan. Apalagi saya selalu diajarkan untuk selalu bersyukur dari warga-warga disana. Yah, mungkin segitu saja cerita dari saya, saya harap warga di Kampung Londok selalu dipermudah hidupnya dan rezekinya, begitupun yang sudah ingin membaca cerita saya kali ini :).


Tulisan Oleh: Tiara Febriyanti | AM-021-JB

3 thoughts on “Impianku yang Terwujud di Kampung Londok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *