Yogyakarta memiliki keistimewaannya tersendiri, alamnya yang indah menarik hati untuk berkunjung. Sebulan lamanya tim pemintan angkatan Rawa Embun dan Jemari Bumantara mempersiapkan segala keperluan yang ada untuk kegiatan yang kami beri nama “Ekspedisi Menilik Surga Di Tanah Keraton”. Ada banyak sekali huru-hara yang timbul dan juga munculnya berbagai tekanan dari segala arah membuat rasa putus asa mulai menyelimuti setiap anggota tim. Mungkin, apabila tim kami tidak mendapat dorongan dari abang kakak pengurus Astacala sudah pasti ekspedisi ini hanya akan menjadi wacana belaka.
Tepat di hari Selasa 8 Maret 2021, tim ekspedisi resmi di berangkat ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Perjalanan menggunakan travel di malam hari. Sesampainya di Yogyakarta kami beramah-tamah terlebih dahulu di Mapala Unisi, setelah itu setiap divisi peminatan melanjutkan perjalanan ke lokasi operasional masing-masing, Kabupaten Magelang menjadi tujuan divisi Rafting dan Kabupaten Gunungkidul bagi divisi Rock Climbing dan Caving.
Desa Pacarejo, Kabupaten Gunungkidul merupakan tempat operasional divisi Caving. Hari pertama kedatangan kami mengunjungi Gua Jomblang, disini hanya berfokus pada explore gua. Bersyukur selama persiapan pra-operasional kami sudah beberapa kali latihan di tempat yang memiliki ketinggian yang sedikit mengguncang mental, sehingga untuk ketinggian Gua Jomblang yang mencapai 60 meter kami tidak begitu panik walaupun tetap saja masih ada rasa panik yang menggetarkan jiwa dan raga, namun rasa itu sedikit terminimalisirkan oleh latihan-latihan sebelumnya.

Ada banyak sekali hal baru yang didapatkan dari ekspedisi ini seperti di dalam gua ternyata batu dapat mengeluarkan air, baik hanya tetesan-tetesan hingga derasnya air bagaikan pancuran alami. Air itu muncul dari rembesan air pepohonan di atas permukaan, selain itu tetesan air tersebut dapat menciptakan berbagai macam ornamen-ornamen yang cantik di dalam gua. Di dalam keheningan dan kegelapan gua dengan ditemani oleh irama tak teratur yang berasal dari rembesan air yang menetes dengan tenang menjadikan suasana di dalam sana begitu syahdu sebagai tanda keagungan dari yang Maha Pencipta. Sayang sekali penjelajahan kami harus dipercepat karena cuaca di atas sana mulai tidak bersahabat, demi keselamatan seluruh tim kami harus bergegas kembali ke basecamp.
Kami hanya membuat dua lintasan yang mana satu lintasan tersebut hanya dapat digunakan oleh seorang saja sehingga kami harus saling bergantian dan jarak pergantian tersebut membutuhkan waktu yang sedikit lama dikarenakan gua yang memiliki kedalaman yang cukup mencemaskan. Kemudian giliran aku untuk naik, rintik hujan mulai melaju dengan cepat sebagai pertanda bahwa malam ini kami akan ditemani dengan derasnya kiriman hujan dari langit. Sambil bergerak menuju ke atas dengan menggunakan Single Rope Technique (SRT), sesekali aku memandangi alam sekitar yang hanya mampu diterangi oleh headlamp yang aku kenakan dan ketika aku menghadapkan cahaya menuju langit, tampak seperti tampilan sinematik dengan tempo slow motion, rasanya begitu dramatis bagaikan sedang berada di genre film romansa dengan akhir yang menyedihkan. Banyak sekali tenaga yang terkuras untuk naik menuju atas sana dan ditambah lagi dengan udara yang semakin dingin. Sesampainya di basecamp, kami langsung disambut dengan teh hangat yang sudah disiapkan oleh tim basecamp yang kami memberinya sebutan “Baginda” singkatan dari bagian dapur. Setelahnya kami membersihkan diri dan istirahat untuk persiapan di keesokan hari.
Di hari berikutnya kami melanjutkan ekspedisi di Gua Song Ciut. Disana kami bukan hanya sekedar menjelajahi, namun kami mulai melakukan pemetaan sebagai output yang akan kami berikan sebagai buah tangan dari ekspedisi ini. Untuk kedalamannya sendiri lebih pendek apabila dibandingkan dengan Gua Jomblang. Ketika sampai di bawah ternyata gua tersebut memiliki turunan lagi, namun kami tidak bisa melanjutkannya karena jalur yang ada sangat merusak tali, apabila dilanjutkan tentu saja akan sangat membahayakan dan ada kemungkinan tali akan putus ketika digunakan. Menurut informasi gua vertikal terhubung dengan gua horizontal di sisi lainnya sehingga, berdasarkan keputusan perjalanan akan dilanjutkan esok hari. Seperti biasa untuk naik ke atas harus berganti-gantian namun, ketika itu pendamping kami yang bernama bang Tablo menjatuhkan matras yang dibawa ke turunan yang mana tidak bisa kami lalui. Berdasarkan etika penelusur gua kami sangat tidak diperkenankan meninggalkan barang apapun di dalam gua sehingga salah satu cara terbaik adalah menemukan gua horizontal yang terhubung di gua vertikal Song Ciut tujuannya bukan hanya mencari matras tersebut melainkan kami harus menyelesaikan output pemetaan yang sudah kami rancang sebelum operasional.


Keesokan harinya mulai pencarian Gua Horizontal Song Taweng tersebut dengan tim yang terdiri dari tiga orang, untuk sisanya mendapat arahan dari instruktur untuk mengikuti kuliah di kelas masing-masing sesuai dengan jadwal yang ada, hal ini dikarenakan surat dispensasi yang kami ajukan belum mendapat kabar dari bagian kemahasiswaan sehingga kami harus tetap menghadiri kelas meskipun sedang melakukan kegiatan operasional. Ketika tim pencarian gua kembali, mereka memberi informasi bahwa telah berhasil menemukan gua horizontal sehingga keesokan harinya kami semua akan kesana untuk melanjutkan pemetaan dan juga mengambil matras yang jatuh.

Perjalanan dimulai ketika pagi hari pada saat cahaya matahari masih di selimuti kabut, dengan terkantuk-kantuk kami mulai menuju ke gua tersebut. Ternyata perjalanan untuk menuju kesana sangat curam, kami diharuskan melewati punggungan yang terjal dan ditumbuhi tanaman berduri, untung saja kami menggunakan pakaian coverall sehingga melindungi kami dari tajamnya duri-duri. Sesampainya di lokasi, kami langsung melakukan pemetaan. Kami tidak menemukan banyak ornamen hidup di sana namun, kami berkesempatan untuk pertama kalinya melihat seperti apa bentuk dari sump yang berisikan air. Aku tidak dapat bergabung untuk menjelajah lebih dalam dikarenakan bekas tusukan duri di telapak kaki masih belum sembuh sehingga, aku hanya ditemani oleh bang Tablo dan kak Fel di luar sump. Sayangnya mereka tidak dapat menjelajah lebih dalam lagi dikarenakan hanya membawa satu tabung oksigen dan apabila ingin menelusuri lebih jauh masing-masing orang harus memiliki satu tabung oksigen, karena semakin dalam gua maka oksigen yang ada di dalamnya semakin sedikit.

Ketika perjalanan kembali menuju basecamp kami menggunakan jalur awal yang curam, kemudian ada kejadian tak terduga di kala itu. Dua orang dari tim kami jatuh dari tanjakan bersama dengan batu yang dijadikan pegangan, syukur mereka tidak mengalami luka serius dan hanya luka-luka kecil. Perjalanan yang menanjak dan sangat terjal menjadikan seluruh tim kami mengalami kelelahan sehingga perjalanan balik sedikit melambat. Ketika sampai di basecamp kami mulai merapikan dan mengemas barang-barang untuk persiapan pulang sembari menunggu mobil travel datang menjemput kami. Setelah dijemput kami tidak langsung kembali ke Bandung, melainkan berpamitan terlebih dahulu kepada Mapala Unisi karena sudah banyak membantu kami dalam mempersiapkan keperluan operasional. Setelahnya, kami kembali ke Bandung pada sore hari dan tiba pada waktu fajar. Sesampainya di sana kami segera beristirahat karena keesokan harinya masih banyak hal yang harus dikerjakan seperti membersihkan alat dan mengembalikan alat yang dipinjam. Semoga dengan diadakannya peminatan ini kami dapat meneruskan ilmu yang telah diajarkan abang kakak Astacala kepada adik-adik kami nantinya.
ASTACALA!!!
Tulisan Oleh Kerti Eriani | AM-023-JB
Keren banget kalian luar biasaa
ASTACALA!!!
Mantab! Luar biasa. ASTACALA!!!