Sehari ke Pohen

Tak banyak yang tahu tentang sebuah gunung di Bali yang bernama Pohen. Karena memang kurang dikenal. Tak seperti Gunung Agung atau Gunung Batur yang banyak pendaki mengunjunginya.

Gunung Pohen adalah salah satu puncakan atau gunung di kawasan Cagar Alam Batukaru. Cagar alam satu-satunya yang ada di Pulau Bali. Lokasinya di Tabanan, Bali.

Dengan tinggi 2.063 meter di atas permukaan laut, Gunung Pohen berdiri berdampingan dengan gunung-gunung lainnya di kawasan cagar alam. Selain Pohen, ada Gunung Batukaru, Sanghyang, Lesung, Tapak, dan Adeng.

Mengajak Kimmy

Gunung Pohen dilihat dari salah satu kemah induk Geothermal
Peta pegunungan di Bali bagian tengah

Pagi itu, saya bersama Dwiana Putra, Ufo, berangkat dari Kota Denpasar menuju kaki Gunung Pohen di Bedugul. Kami akan mendaki ke sana, sambil berolahraga di akhir pekan. Mendakinya secara tiktok, naik dan turun dalam sehari.

Dan kami tak hanya berdua. Ada teman baru yang ikut. Teman baru saya ini bernama Kimmy. Panggilannya Kim. Ia adalah seekor anjing berusia lima bulan. Peliharaan Ufo.

Kim, anjing usia lima bulan peliharaan Ufo
Kim dalam perjalanan Denpasar – Bedugul

Ufo baru kali ini mengajak anjingnya jalan jauh. Mendaki gunung. Katanya mau mencoba, bagaimana jika Si Kim ini ikut serta. Biasanya, Kim sudah terbiasa mengikutinya jika olahraga lari pagi atau lari. Dan sejauh ini oke-oke saja. Naik gunung, harusya oke juga.

Dari Denpasar ke Bedugul

Dalam perjalanan menuju Bedugul, kami sempatkan mampir di Desa Blahkiuh. Sarapan bubur di dekat pasar. Pagi-pagi seperti ini, saya lihat ada banyak penjual bubur kaki lima yang berjualan di pinggir jalan.

Bubur yang menjadi menu sarapan kami adalah bubur dari beras. Yang ditaburi serundeng dan sayur. Di daerah saya di Klungkung, biasanya disebut bubuh masak. Kadang ada juga yang menyebutnya bubuh nasi. Disajikan dalam piring beralaskan kertas minyak. Dengan sendok berupa sidu, dari daun pisang.

Penjual bubur bubuh masak di Blahkiuh
Bubur dengan sendoknya yang berupa sidu dari daun pisang

Kami yang berniat membeli bekal makan siang berupa nasi lawar kuwir di Sangeh, akhirnya tak jadi. Warung lawar kuwir yang kami datangi belum buka karena masih terlalu pagi. Ya sudah. Nanti beli makan siangnya di Bedugul saja.

Bedugul

Kami tiba di Bedugul di pagi masih cukup sejuk dan dingin. Wajar saja, Bedugul berada di ketinggian sekitar 1.300 sampai 1.400 mdpl (meter dari permukaan laut).

Bedugul jika dilihat di peta topografi merupakan sebuah kaldera pegunungan di tengah Pulau Bali. Diapit gigiran Gunung Catur di sisi timur dan pegunungan Batukaru di sisi barat. Jalan utama yang menghubungkan Denpasar dan Singaraja membelah kaldera, melintang di tengahnya.

Sepeda motor milik petani di Bedugul
Salah satu aktivitas warga di Bedugul : mencari kayu bakar di hutan

Nama Bedugul sendiri sebenarnya bukanlah nama wilayah administrasi. Melainkan nama kawasan wisata. Yang dalam perkiraan saya, berasal dari istilah pura subak. Tempat suci yang berhubungan dengan aktivitas pengairan masyarakat dalam mengelola pertanian.

Secara administrasi, Bedugul ini berada di Desa Candikuning. Di Kecamatan Baturiti, Tabanan. Danau Beratan dan Kebun Raya Eka Karya menjadi daya tarik utama si kawasan hijau Bali bagian tengah ini.

Di Bedugul, saya membeli dua bungkus nasi kuning. Sementara Ufo membeli beberapa bungkus maknaan ringan dan air mineral. Juga beberapa potong sosis. Nasi kuning dan makanan ringan untuk bekal kami mendaki. Sedangkan sosis untuk bekalnya Kim.

Titik Awal Pendakian

Setelah perbekalan yang diperlukan cukup, kami pun bergerak lagi. Menuju kawasan geothermal, pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada di pinggang Gunung Pohen.

Seorang bapak-bapak yang merupakan warga setempat menghampiri kami yang baru saja tiba si depan pintu gerbang kawasan geothermal.

“Pak, parkirnya di sana saja. Kalau di sini, nggak diizinkan sama Perusahaan” Begitu kata bapak tersebut, yang kemudian saya ketahui bernama I Ketut Sentana. Ia menunjukkan sebuah lahan terbuka di samping ladang.

Perusahaan yang dimaksud I Ketut Sentana adalah PT Pertamina Geothermal Energy dan Bali Energy. Dua perusahaan yang mengelola proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Bedugul yang kini mangkrak.

Kami pun memarkir kendaraan di lahan terbuka di tepian ladang. Kata I Ketut Sentana, baru beberapa bulan ini ia dan kelompok warga Candikuning membuka lahan parkir. Nantinya akan dilengkapi juga dengan kamar kecil. Akhir pekan, lumayan banyak pendaki yang datang. Pendapatannya lumayan untuk menambah kas desa, katanya.

Saya bersama I Ketut Sentana

Memulai Pendakian

Pukul sembilan pagi, pendakian pun dimulai. Kami menyusuri tepian hutan dan ladang. Saya melihat tanaman pere yang mendominasi ladang-ladang di Bedugul. Saya kira, itu adalah tanaman bawang.

Di kejauhan arah timur, terlihat Danau Beratan dan Gunung Catur. Sementara ke arah barat, hanya pepohonan hutan yang lebat. Gunung Tapak di sebelah utara. Serta puncak Gunung Pohen yang punggungannya terlihat rata dan gersang.

Tanaman pere di ladang-ladang warga
Tanaman pere
Gunung Catur yang terlihat jauh di timur

Setelah menyusuri jalan setapak, kami tiba di jalan aspal kecil yang kondisinya tak baik-baik amat. Itu adalah jalan penghubung tiga kemah induk pengeboran panas bumi.

Kami menyusuri jalan beraspal itu. Sampai akhirnya tiba di pertigaan jalan. Sebuah patung Hanoman berdiri tegak di sana. Ufo pun ngaturang canang.

Sebagai orang Bali, melakukan perjalanan di hutan sebaiknya berbekal canang. Hampir di setiap titik di hutan-hutan di Bali terdapat tempat-tempat menghaturkan canang.  Seluruh tempat di kawasan Cagar Alam Batukaru disucikan oleh masyarakat Pulau Dewata sejak dulu.

Menyusuri jalan aspal yang sudah rusak di kawasan Geothermal
Di Patung Hanoman

Mendaki Pinggang Pohen

Jalan setapak menuju Puncak Pohen diawali dari Patung Hanoman ini. Pepohonan besar menjulang tinggi. Serasah bertebaran di permukaan tanah. Kim yang tak diikat berlarian ke sana kemari. Sepertinya ia begitu gembira diajak jalan-jalan ke hutan.

Mendaki Pohen sebenarnya bisa dibilang tak terlalu sulit. Walaupun demikian, kita tetap harus berhati-hati. Ketinggiannya hanya dua ribu meter. Awal pendakiannya dimulai dari ketinggian seribu enam ratusan meter. Ini berarti elevasinya sekitar empat ratus meter saja. Kata I Ketut Sentana, “dua jam sudah sampai di puncak”.

Tapi saya biasanya selalu memberikan tambahan waktu dari waktu pendakian normal. Maklum, waktu itu relatif. Dua jam belum tentu sama untuk setiap orang. Saya memperkirakan, tiga sampai empat jam ke puncak.

Pohon yang tinggi dan besar banyak dijumpai di sepanjang jalur pendakian
Suasana hutan di awal-awal pendakian Gunung Pohen
Gunung Tapak yang berada di sebelah utara Gunung Pohen 

Tak ada “bonus” yang berarti di jalur pendakian. Semuanya menanjak. Jika dilihat pada peta topografi, Gunung Pohen ini seperti kerucut yang tumpul. Tak ada punggungannya yang begitu jelas. Bisa dibilang, saya mendaki pinggangnya.

Suasana di sepanjang jalur pendakian bisa dibilang standar. Dengan pepohonan tropis khas pegunungan di Bali. Menjelang puncak, mulai banyak tumbuh pohon pinus, perdu, dan semak-semak. Jalur juga makin terjal dan berdebu. Jika musim hujan, tentu akan sangat licin.

Karena mendaki dari sisi utara, saya bisa melihat Gunung Tapak di sebelah utara. Serta Danau Beratan, Gunung Catur, dan kawasan Bedugul di sisi timur. Cukup indah.

Bersama Kimmy

Kim, anjing yang ikut mendaki bersama kami begitu bersemangat. Ia lari-lari mendahului. Jika sudah jauh di depan, ia akan menunggu. Bahkan seringkali berbalik. Memastikan kami masih menyusulnya dari belakang.

Ada kalanya, ia berlari-lari turun ke bawah. Lalu naik lagi. Mungkin tenaganya masih banyak. Dasar anjing. Ia tentu tak mengerti bahwa perjalanan masih jauh dan tenaga perlu disimpan.

Benar saja, ketika jalur makin terjal menjelang puncak, Kim mulai kelelahan. Ia sempat tak mau jalan. Ngambek. Tapi melihat kami tetap berjalan, ia terpaksa mengikuti. Mungkin takut ditinggal. Sesekali ia juga harus diangkat supaya bisa melewati beda ketinggian yang tak bisa dilaluinya.

Saya mengira bahwa anjing bisa hilang jika tak diikat dan dibiarkan berkeliaran di gunung. Tapi untuk Kim, ia selalu bersama kami. Anjing kampung ini ternyata selalu berjalan mengikuti tuannya. Jadinya aman.

Kim menunggu kami ketika ia sudah berjalan di depan
Ufo sedang memberikan minum pada Kim

Saat istirahat, Ufo membagi minum untuknya. Ufo telah membawa wadah khusus. Plus sepotong sosis ketika kami makan biskuit. Jadi kami sama-sama istirahat. Sama-sama makan dan minum. Gembira. Berbagi dengan mahluk lain itu memang menyenangkan.

Tiba di Puncak

Akhirnya kami tiba di puncak. Tepat pada tengah hari, tengai tepet. Jika dihitung dari bawah, waktu yang kami perlukan ke puncak adalah tiga jam. 

Tak ada siapa pun. Hanya kami bertiga. Walaupun nantinya ada tiga pemuda yang datang. Katanya, mereka dari Bangli. Mahasiswa Udayana yang sedang mengisi waktu akhir pekan.

Jalur pendakian menjelang puncak
Menjelang puncak, pepohonan mulai jarang. Vegetasi didominasi oleh perdu dan semak-semak.
Pelinggih di Puncak Gunung Pohen
Panel surya di Puncak Gunung Pohen

Ada sebuah pelinggih berselimutkan kain putih kuning. Berdiri di bawah pohon, di tanah datar yang tak begitu luas. Ada juga seperangkat peralatan listrik tenaga surya. Sepertinya digunakan untuk penerangan saat piodalan atau rahinan di pelinggih kecil ini oleh warga setempat.

Ufo, Gejor, dan Kim
Ufo dan Kim
Gejor dan Kim

Pulau Kuali

Dari Puncak Pohen, saya melihat hutan di sebelah barat. Jauh di bawah. Yang samar-samar terhalang pepohonan dan kabut yang tipis. 

Hutan di bawah sana cukup lebat. Berupa lembah yang memisahkan Gunung Pohen dan Gunung Sanghyang. Yang rasanya jarang dijamah manusia. Karena tempatnya yang begitu terpencil. Diapit gunung di sana sini.

Katanya, lembah itu disebut sebagai Pulau Kuali. Karena bentuknya seperti kuali yang besar dan luas. 

Gunung Pohen menjadi bagian dari Cagar Alam Batukaru

Sedih sekali rasanya membayangkan jika daerah tersebut dibuka untuk proyek. Jika dilihat di peta, ada satu kemah pengeboran panas bumi yang lokasinya masuk ke arah Pulau Kuali ini.

Tapi untung saja, proyek panas bumi ini tidak berlanjut. Saya malah bersyukur proyek tersebut mangkrak.

Beristirahat

Kami beristirahat cukup lama di Puncak Pohen. Ngaturang canang dan bersembahyang. Makan biskuit dan nasi kuning. Sampai tidur-tiduran melepas lelah.

Ufo ngaturang canang di Puncak Pohen
Ufo ngaturang canang di Puncak Pohen
Makan nasi kuning, Guys!

Kim tampaknya lelah sekali. Usai makan beberapa potong sosis dan sisa nasi kuning, ia tertidur lelap dan mendengkur.

Berhasil ke puncak gunung, rasanya prestasi yang  gemilang untuk anjing sekecil itu. Mungkin ia anjing satu-satunya atau anjing pertama yang ke Gunung Pohen.

Melihatnya mendaki, mengingatkan saya akan kisah pewayangan. Tentang Yudistira bersama anjingnya mendaki Mahameru, mencari moksa. Sang anjing setia menemani sulung Pandawa itu sampai akhir perjalanan hidupnya. 

Konon, anjing adalah satu-satunya mahluk di dunia yang mencintai tuannya lebih dari ia mencintai dirinya sendiri.

Melihat Kemah Geothermal

Jam setengah dua siang, kami turun. Kembali menyusuri jalur yang ditempuh sebelumnya. Karena perjalanan turun, waktu tempuh lebih cepat. Jam tiga kurang, kami sudah sampai di Patung Hanoman.

Karena hari belum terlalu sore, kami menuju salah satu kemah pengeboran panas bumi yang lokasinya tak begitu jauh. Mau melihat-lihat ada apa di sana.

Infrastruktur pembangkit listrik di salah satu kemah induk Geothermal yang kini mangkrak
Infrastruktur pembangkit listrik di salah satu kemah induk Geothermal yang kini mangkrak
Infrastruktur pembangkit listrik di salah satu kemah induk Geothermal yang kini mangkrak

Hamparan rumput seluas lapangan sepak bola terbentang, dikelilingi pepohonan hutan. Di pojok lapangan, ada pondok terbengkalai dan bangunan tak berpenghuni. Di tengah lapangan, terpasang peralatan pengeboran. Tak ada siapa pun di sana.

Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi ini sudah dimulai sejak lama. Tepatnya dari tahun 1974. Proyeknya sudah mendapatkan izin operasional sejak tahun 1996. Tapi setelahnya, masyarakat sekitar melakukan penolakan.

Lokasi proyek adalah wilayah yang disakralkan oleh warga sekitar, juga oleh masyarakat Bali pada umumnya. Selain itu, Cagar Alam Batukaru yang merupakan penyangga utama sumber air danau-danau sekitarnya, ditakutkan akan rusak.

Tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika proyek tersebut terus berlanjut. Mungkin hutan dan sumber air di tepian Gunung Pohen lama kelamaan akan hancur. 

***

Manusia kadang merasa tak pernah cukup. Kekayaan hanya dihitung dalam ukuran materi. Seperti hitungan mega watt listrik yang bisa dihasilkan dari mengebor lahan di hutan perawan. 

Sementara kekayaan hutan dengan segala keanekaragaman hayatinya dan udara segar yang dihasilkan sepanjang hari, jarang dihitung sebagai kekayaan yang tak ternilai.

Dalam semilir angin yang berhembus saya berharap, semoga Gunung Pohen dan gunung-gunung di sekitarnya tetap terjaga dan selalu lestari. []

Tulisan dan Foto oleh I Komang Gde Subagia

One thought on “Sehari ke Pohen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *