Kebo dalam Kenangan
Kami mengenangnya bukan untuk memperpanjang runtutan kesedihan, sekali-kali tidak. Untuk saat ini. Kami menangisinya bukan untuk meratapi kepergiannya yang tetap mendadak, meskipun ia kini sudah terlepas dari rasa sakit yang selama ini tersembunyi.
Sengaja atau tidak, keceriaannya lewat balasan pesan di grup, membuat kami kadang lupa, bahwa saat itu ia sedang menahan sakit. Dan rupanya, Sang Khalik memberikan keputusan yang lain, mengajaknya kembali. Dan kami tak bisa berbuat banyak. Tak juga bisa menolak. Yang pasti, saat ini kami belajar. Bahwa keabadian itu ternyata ada. Seperti kebaikan yang selama ini ia tinggalkan. Herry Soenanto, saudara terdekat kami, dua hari yang lalu meninggalkan kami.
Sabtu pagi, grup tiba-tiba lebih gelisah. Ada kabar duka dari Rumah Sakit Darmais. Kebo (panggilan akrab kami selama ini) sudah pergi untuk selamanya. Meninggalkan hidup, sanak family, dunia fana, dan tentu saja kami.
Kesedihan menyeruak. Mungkin ada juga yang terisak. Lontaran kata, doa, dan ucapan bela sungkawa mengalir deras. Ada yang terhenyak, ada yang tersentak. Seolah-olah kepergiannya begitu mendadak. Dan memang mendadak. Terlalu terburu-buru. Dan kami yang tertinggal serasa tak siap.
***
Lama kegelisahan berumur hampir seharian. Diujung hari, stamina kami melantunkan kata demi kata. Untuk sekedar mengenang dan berbagi. Yang akhirnya mengendur juga. Kaki-kaki mulai bergerak pulang. Meninggalkannya yang kini berada di peraduan terbaik. Dan kami, sedikit seperti tersadar, bahwa hari telah hampir lewat. Kami memikirkan keceriaannya, lewat foto-fotonya yang tak pernah terlihat kecewa.
Oh… Bila Tuhan telah memberikan jalan yang terbaik untuknya, maka tentu saja, kami harus mengambil pelajaran terbaik dari apa yang telah ia berikan selama ini.
Kebo, saya mengenalnya belasan tahun silam. Kulitnya legam bermata tajam. Ia di Astacala sebagai angkatan API. Yang di kemudian hari didapuk sebagai Ketua (periode ke-4). Konon, nama yang disematkan kepadanya bukan tanpa alasan. Staminanya yang kuat, keberaniannya di lapangan, menjadi musabab itu. Sekuat kerbau yang terkenal itu. Ada juga yang menyangkut-pautkannya dengan asal daerahnya, Kebumen. Kebo-man alias orang Kebumen.
Apa pun alasan itu, tapi nama itu seolah sangat tepat ia sandang. Saban hari, kami sering lari telanjang kaki mengelilingi kampus. Dan seingat saya tak ada yang sekuat Kebo. Nafasnya tak pernah habis menyemangati kami yang sedikit-sedikit berhenti, mengeluh, dan kembali berhenti.
Soal stamina kerbau yang ia miliki kembali menyeruak mengagumkan, ketika kami mengetahui bahwa ia pernah mengayuh sepeda dari Kebumen menuju Bandung. Kala itu, hal seperti ini dianggap aneh dan tentu saja mencengangkan.
Stamina Kebo tidak hanya soal fisik, tentu saja ini yang lebih membanggakan. Kala itu, Kebo menggawangi Astacala di masa peralihan, dari Gedung I menuju Gedung Student Center.
Di masa itu, dan sebagaimana masa peralihan biasanya. Tantangan sebuah organisasi bertambah dan berlipat-lipat. Wajarnya sebuah organisasi (UKM), kalau tak kuat, maka akan habis. Tapi Astacala tidak, bisa jadi karena Kebo tepat sebagai ketua-nya saat itu.
Bayangkan saja, dari puluhan UKM yang mendiami Gedung I, hanya segelintir yang bertahan. Ada beberapa UKM kedaerahan, UKM Masjur, Himpunan jurusan, semuanya hampir kolaps. Tapi Astacala, tetap berdiri tegak, walau dengan segilintir orang–dan ini pun dapat diperdebatkan.
Apa rahasinya? Saya berani menjamin, itu karena stamina yang dimiliki Kebo.
Satu lagi, selain masalah stamina, Kebo memiliki kelincahan yang jarang dimiliki oleh kebanyakan organisasi PMPA.
Suatu hari, karena itu juga cukup dikenal organisasi dakwah, Astacala pernah berkolaborasi dengan mereka. Di satu sisi banyak yang menganggapnya tabu, tapi disisi lain membuktikan inilah kelincahannya menjalankan organisasi.
Singkat cerita, kegigihan Kebo inilah yang menurutku menurun pada pengurus-pengurus periode berikutnya.
Dan cerita itu, adalah emas bagi Astacala. Tak boleh dilupakan. Dan tak akan.
Selamat jalan, Bo. Maafkan kami bila tak sepadan menjaga hari-hari terakhirmu. []
Oleh Jimi Piter