Bersepeda di Bali, dari Kintamani ke Klungkung (Bagian 3)
Ini adalah sambungan catatan perjalanan saya sebelumnya. Bersepeda bersama Anatoli Marbun “Bolenk”, dari Kintamani ke Klungkung. Kami sudah menempuh dua etape : Suter ke Pempatan, dan Pempatan ke Muncan. Berikutnya, kami akan menempuh etape ketiga.
Etape Ketiga : Muncan – Sangkan Gunung
Kami sudah selesai makan siang di sebuah warung di Muncan. Menunya mie ayam bakso. Karena saya lapar dan lelah, rasanya menjadi sangat nikmat. Mangkok mie sampai bersih.
Perjalanan di etape ketiga ini merupakan yang paling mudah. Karena seluruhnya adalah jalan beraspal. Menghubungkan Desa Muncan dengan Desa Sangkan Gunung.
Kami mulai mengayuh sepeda lagi. Tak lupa sebelumnya mengisi ulang botol minum dengan air mineral. Jalan menurun terus. Dengan pemandangan sawah yang hijau. Juga beberapa rumah di pinggir jalan. Karena jalannya cukup besar, anjing-anjing di pinggir jalan tak banyak tingkah. Tak banyak menggonggong atau mengejar seperti di etape kedua. Mungkin karena telah terbiasa melihat kendaraan lewat.
Walaupun jalur etape ketiga ini mudah dari segi kontur medan, tapi berbahaya dari segi lalu lintas. Cukup ramai kendaraan. Kebanyakan sepeda motor. Dan sesekali mobil kecil serta truk.
Ada kali kecil mengalir di sisi jalan. Memanjang mengikuti jalur. Membatasi jalan dengan sawah. Airnya jernih. Bening. Tapi di dasarnya banyak sampah plastik. Masalah sampah plastik memang jadi isu lingkungan di mana-mana. Semoga dengan digalakkannya kampanye minimalisasi plastik bisa mengurangi pencemaran-pencemaran seperti ini.
Selain persawahan, pemandangan di jalur etape tiga ini adalah perbukitan. Dengan kebun-kebun kelapa serta cengkih. Banyak cengkih yang dijemur di pinggir jalan. Di depan rumah-rumah penduduk. Cengkihnya mengering. Mengeluarkan aroma yang khas.
Menghirup bau cengkih ini mengingatkan saya akan Pupuan, kecamatan di lereng Gunung Batukaru, di Kabupaten Tabanan. Mendiang kakek saya adalah petani di daerah itu. Menghasilkan kopi dan cengkih. Waktu kecil, saya sering menghabiskan liburan di sana. Bersama sepupu-sepupu saya. Aroma cengkih saat bersepeda ini memicu gelombang memori di otak ke masa silam. Rasanya mengharu biru.
Tak sampai lima belas menit dari Muncan, kami sudah tiba di pertigaan jalan Desa Sangkan Gunung. Rumah-rumah padat, karena merupakan titik nol desa. Ini adalah akhir etape ketiga. Waktu tempuhnya paling cepat di antara etape-etape lainnya. Sangat cepat.
Seperti namanya, Sangkan Gunung adalah desa yang berada di ketinggian. Ibarat di gunung. Walaupun hanya sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Kalau boleh dibilang, desa ini ada di atas bukit. Karena daerah di sekelilingnya jauh lebih rendah.
Bolenk berkomentar bahwa desa ini jorok. Saya kira karena ada aliran limbah dapur. Yang mengalir di got, di samping tempat kami berhenti. Tapi yang Bolenk maksud adalah jorok karena banyak sampah plastik. Rasanya banyak yang membuang sampah sembarangan. Kantong kresek, bungkus snack dan permen bertebaran. Bahkan menggumpal bersama tanah dan rumput di pinggir jalan. Saya tak membantah. Karena memang begitu kenyataannya.
Etape Keempat : Sangkan Gunung – Tangkup
Dari Desa Sangkan Gunung, perjalanan akan dilanjutkan ke etape keempat. Menuju Desa Tangkup. Tapi untuk turun ke Desa Tangkup, harus mendaki bukit dulu. Sepeda pun dikayuh dan dituntun. Di pertengahan tanjakan, kami beristirahat di bawah pohon cengkih. Suasananya yang rindang sangat pas untuk merebahkan badan. Lagipula jalan sepi.
Rebahan sekitar sepuluh menit saja. Mendaki dilanjutkan. Dengan menuntun sepeda. Usai pendakian, kami tiba di pertigaan jalan. Ke kiri menuju Sidemen. Ke kanan menuju Tangkup. Jalan ke arah Tangkup lebih kecil. Juga berbatu. Kami ke arah sana.
Jalur ke Tangkup melalui beberapa rumah-rumah penduduk. Tapi jarak satu rumah dengan rumah lain berjauhan. Juga pondok-pondok petani. Sisanya sebagian besar adalah tegalan. Banyak pohon cengkih dan kelapa.
Kami bertemu dengan seorang ibu yang sedang membawa kelapa dan kayu bakar. Rumahnya di dekat sana. Ngobrol basa-basi sebentar. Tentang arah jalan, yang sebenarnya sudah saya tahu. Juga tentang di mana rumah dan tegalannya.
Beda ketinggian antara Sangkan Gunung dan Tangkup cukup besar. Ini menyebabkan jalan setapak kecil ini memiliki turunan-turunan yang curam. Bahkan ada yang 45 derajat. Setengah dari tegak lurus. Ini pengamatan saya. Besar sudutnya kira-kira begitu.
Sepeda yang dipakai Bolenk remnya kurang pakem. Kami berhenti di sebuah tikungan. Di samping lereng perkebunan yang terjal. Tak mau ambil resiko, kami memperbaiki kekencangan rem. Supaya benar-benar kuat mencengkeram.
Tapi kemudian, Bolenk memutuskan untuk menuntun sepeda. Jika sebelumnya menuntun karena tanjakan, sekarang karena turunan. Sedangkan saya mencoba tetap di atas sepeda saja. Pelan-pelan. Kadang kedua kaki menginjak tanah. Tak mau sepeda meluncur kebablasan. Kalau bablas, bisa terperosok ke lereng yang dalam.
Ketika turunan mulai melandai, Bolenk menaiki sepeda lagi. Jalan berliku, berkelok-kelok. Lebih baik daripada tadi, yang menurun lurus. Di satu titik, ada air terjun kecil. Terdengar bergemericik dari kejauhan. Airnya berwarna putih.
Jalan setapak mulai melebar. Menjadi makadam. Persawahan Desa Tangkup sudah mulai terlihat jelas. Ada beberapa petani di tengah sawah. Ada juga beberapa petani sedang mengikat sayur di pinggir jmakadam yang kami lalui ini.
Di tepi sawah, ada pondok. Teduh. Sayang untuk dilewatkan begitu saja. Saya berhenti di sana. Sambil mengajak Bolenk beristirahat. Ternyata masih ada sepotong biskuit yang tersisa. Hasil mengorek-orek isi tas. Kami memakannya. Sambil melihat sawah dan bukit di depan kami. Pemandangannya indah.
Petani yang tadi mengikat sayur ikut duduk di pondok. Bertanya, kami dari mana dan mau ke mana. Ia cukup kaget ketika tahu saya bersepeda dari Kintamani. Jauh juga. Tapi Klungkung sudah dekat. Paling sejam lagi sampai. Begitu katanya.
Kami berpamitan. Melanjutkan perjalanan. Jalan makadam yang kami lalui berujung di jalan beraspal. Jalan desa yang menghubungkan Tangkup dan Wangsean. Dua desa yang berdekatan di akhir etape keempat.
Sesampainya di tepi desa, kami berbelok ke jalan setapak di tengah sawah. Ada pura di ujungnya. Sepertinya akan ada upacara piodalan. Ada kain-kain dan penjor terpasang di sana. Juga loud speaker yang mengalunkan gamelan bali.
Jalan setapak di sawah ini tersambung ke perumahan penduduk. Berupa gang kecil. Di ujung gang, kami berbalik. Karena gang nantinya berubah menjadi anak tangga. Ke sebuah villa. Sebenarnya bisa dilalui. Tapi cukup menyusahkan jika membawa sepeda.
Kami tiba di jalan desa Tangkup. Tak jauh dari gang tadi. Jalan desa kami susuri ke arah selatan. Menuju jembatan Sungai Telaga Waja. Jika kita berarung jeram di Telaga Waja, maka jembatan ini adalah titik akhir pengarungan. Perbatasan Kabupaten Karangasem dengan Klungkung.
Dan kami pun sampai di dekat jembatan. Berhenti di sebuah warung yang sedang tutup. Beristirahat lagi. Sambil melihat-lihat pondokan milik operator arung jeram di sebelah. Kami pernah arung jeram dan beristirahat di sana dulu.
Dengan sampainya kami di jembatan perbatasan di Tangkup, etape keempat pun telah selesai. Tinggal satu etape lagi menuju Kota Semarapura. Dan hari telah beranjak sore. Semoga kami tak kemalaman sampai di rumah. []
Tulisan oleh I Komang Gde Subagia
Foto oleh Anatoli Marbun