Menjelajahi Kegelapan Abadi Gunung Kidul
Rabu, 17 Oktober 2018 tepatnya pukul 21:00, seingatku, itu adalah jadwal keberangkatan terakhir menuju Stasiun Kutoarjo, dan kami pun harus sudah berkumpul di sekretariat ASTACALA pukul 18:00. Padahal, kuliah dan tugas sudah benar-benar memeras otakku seharian. Jujur, melelahkan. Apa yang aku pikirkan sungguh hampir tidak sama dengan kenyataan.
Di Stasiun Kiaracondong, sebelum keberangkatan, seperti biasa, kami melaksanakan budaya ASTACALA yang sudah sangat kental, yaitu “kuluk-kuluk” atau makan bersama seluruh teman-temanku yang mengantar. Setengah jam sebelum keberangkatan, kami sudah bergegas masuk ke dalam kereta, tentunya untuk menata bawaan kami terlebih dahulu. Pontang-panting kami memasuki lorong kereta yang sempit dikarenakan tas carier kami yang besarnya sudah seperti keteguhan hati kami dalam melakukan perjalan ini.
Perjalanan di dalam kereta terasa membosankan, karena kami hanya berdiam diri saja menunggu waktunya tiba saat sampai di Stasiun Kutoarjo. Kami memfokuskan mengumpulkan tenaga untuk perjalanan keesokan harinya.
Waktu langit masih temaram, sebelum azan Subuh berkumandang, tibalah kami tim Peminatan Caving -sebutanku kepada gerombolan kami- di Stasiun Kutoarjo. Perjalanan dilanjutkan dengan kereta Prameks menuju Stasiun Lempuyangan pukul 06:00. Ternyata benar, menunggu itu melelahkan. Aku memutuskan untuk merebahkan badan sebentar, aku tidak ingin membuang waktuku dengan sia-sia. Aku percaya rehat sebentar dapat membangun semangat baru, dan tentunya yang paling penting, waktu tunggu terasa seperti angin lalu.
Sesampai di Stasiun Lempuyangan, tim kecil kami harus dibagi lagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ditugaskan untuk meminjam kendaraan di Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gajah Mada (MAPAGAMA). Kelompok kedua langsung menuju ke lokasi, yaitu Gua Ndilem dan Gua Senen. Aku kebetulan tergabung dengan kelompok peminjam kendaraan. Beruntunglah MAPAGAMA berbaik hati meminjamkan kendaraannya untuk kegiatan penjelajahan gua kami ini.
Perjalanan dari MAPAGAMA ke Gua Ndilem dan Gua Senen memakan waktu sekitar tiga jam. Lagi dan lagi, ini sangat melelahkan. Istirahatku tadi seakan kurang cukup untuk menutupi rintihan pegal dan lelah tubuhku. Belum lagi, Aku dan Kak Adet harus menyelesaikan perizinan kegiatan sebelum dapat menyusul teman-teman yang lain. Sungguh, ini benar-benar membuatku jengkel. Sialnya, Kak Adet salah alur dalam meminta perizinan, yang seharusnya dari desa, lalu kecamatan, dan polsek, menjadi kecamatan, polsek, lalu desa. Sungguh benar-benar jengkel. Tapi ku maklumi karena mungkin perjalanan yang sedikit membuat fisik ini luntur, mempengaruhi pikiran yang membuatnya menjadi tidak sejalan.
Setelah perizinan sudah beres, berangkatlah kami ke lokasi gua. Disana teman-temanku sudah masuk terlebih dulu ke Gua Ndilem. Lalu secepatnya aku makan, dan berganti pakaian memakai cover all. Masuklah aku kedalam Gua Ndilem bersama Kak Ambar sementara Kak Adet menjaga camp untuk sementara.
Masuklah kami di entrance. Ornamen di dalam gua terlihat sangat luar biasa, besar dan indah. Tak kuasa aku menahan ketakjubanku pada apa yang aku lihat. Tanganku segera merogoh kantong tas yang kubawa. Kuambil saja kamera dari dalamnya. Butuh teknik khusus untuk mengambil gambar dari dalam gua. Tak mudah mendokumentasikan sebuah gua. Gelap, tak banyak cahaya, alhasil aku agak kerepotan untuk mendapatkan hasil gambar yang indah.
Aku selalu berdecak kagum ketika langkahku semakin dalam menelusuri gua. Kesempatan ini tak akan aku sia-siakan untuk belajar pemetaan gua dengan teknik yang sudah diajarkan oleh instruktur kami. Sempat sebelum itu, kedua instruktur kami berdebat tentang teknik pengambilan data gua, kami sedikit bingung dan menjadi rancu mana yang harus digunakan. Namun, masalah terselesaikan karena sudah ditemui dimana letak kesalahannya, dan kami pun melanjutkan pemetaan.
Malam pun tiba, dingin juga tak lupa mampir, walaupun tidak sedingin Kota Bandung, tetap saja, mereka tetap menjadi musuh utama yang harus dihindari. Aku dan Bang Andre, memaksa untuk membuat api untuk sedikit menghangatkan badan. Ternyata membuat api di Gunung Kidul tidak sesulit di Bandung. Mudah sekali, benar-benar mudah, aku akan menjamin hal itu. Hanya orang-orang lemah yang tidak bisa membuat api di daerah ini. Seperti biasa, api selalu menyatukan pembicaraan dari seluruh dunia. Entah dunia bagian mana, yang pasti bermakna dan berwawasan agar kita lebih terbuka terhadap pemikiran orang lain. Kami bercanda gurau dan berbagi cerita. Ketika jam sudah menunjuk pukul 00:00, kami mematikan api lalu beranjak istirahat.
***
Setelah aku menuntaskan makan pagi, kami bersiap untuk berangkat ke Gua Senen. Perasaan senang, was-was, penasaran bercampur aduk tepat saat kami akan berangkat ke Gua Senen, betapa tidak perasaanku terasa diaduk-aduk, ini kali pertama aku akan memasuki gua vertikal dengan teknik single rope technique, karena memang ini adalah teknik yang paling riskan dalam penerapannya, salah sedikit saja nyawa taruhannya.
Sesampainya kami di Gua Senen, kami mulai melakukan rigging atau membuat jalur yang diperuntukkan untuk menuruni gua vertikal. Turunlah kami satu persatu. Beberapa alat ternyata tidak bisa digunakan karena sudah terlalu ringkih. Akhirnya terjadilah pengatrolan alat dari bawah ke atas agar semua tim bisa turun.
Aku lihat semua tim sudah turun, langsung saja kami moncoba untuk menelusuri gua. Kami menulusuri semakin jauh dan dalam. Dibalik gelap dan pengapnya gua, aku temukan ornamen-ornamen hidup, suara tetesen air, dan sedikit makhlup hidup yang menghuninya. Tak jenuh-jenuh mataku menggeranyangi cantiknya gua ini. Oh ya, penampakan ini harus kami abadikan, kamera disiapkan, diangkat, atur iso, shutter speed, diafragma, lalu cekrek!!! Lewat ini, tiba-tiba semua anggota tim berubah jadi model, minta difoto, minta diabadikan gambarnya lewat kamera. “Untuk update Instagram.” Jelas Ivan usai bergaya di depan kamera.
“Ayo naik, sudah cukup!” Perintah Kak Ambar. Aktivitas segera dihentikan, termasuk aktivitas model dadakan pastinya.
Makan siang sudah menunggu, kami lumat semua karena memang nikmat. Walaupun panas sedikit membuat kami gerah dengan keadaan yang ada, namun kami tetap lahap mengisi tenanga. Semua lelah terbayarkan dengan perut yang penuh. Lalu kami lanjut membereskan alat dan set rigging, lalu kembali ke kamp.
Langit sudah menyentuh gelap, tapi api kami sudah menyala dengan terangnya. Pertukaran cerita dan canda gurau kembali terjadi. Nostalgia, perasaan, cinta, semua menjadi satu dan bukan hal yang lumrah lagi untuk ditertawakan. Waktu sudah menunjukan pukul 01:00 ada beberapa yang sudah beranjak istirahat terlebih dulu, dan masih ada yang betah berlama-lama bercengkrama dengan api, sedikit cahaya yang menyatukan seluruh pembicaraan dari seluruh dunia.
***
Mentari datang, menyilaukan mata yang sayup layu, kantung tidurku seakan menarik tubuhku untuk tetap berbaring, membuatku dilema untuk beranjak bangun. Kami sedikit telat dari jadwal yang sudah ditentukan. Kami bergegas membuat segelas susu dan kopi lalu membereskan alat kamp.Tak lama kendaraan yang sudah kami sewa datang menjemput. Pukul 08:00, kami berangkat melesat meninggalkan Gunung Kidul menuju sekretariat ASC (Acintyacunyata Speleological Club) untuk memperdalam ilmu pemetaan gua.
Aku dan Herdy harus berpisah dari rombongan, kendaraan yang kami pinjam harus ku kembalikan. Perjalanan terasa asik dan berkesan, karena kami bertukar cerita bagaimana kesan kami kemarin memasuki Gua Senen dan Gua Ndilem.
Alur perbincangan mulai tumbuh ketika sesampainya kami di Mapagama namun tak begitu awet. Tak terasa aku tertidur di bangku ditengah percakapan, mungkin karena kelelahan yang menimpa sudah tak terelakan lagi. Hanya 15 menit aku memejamkan mata. Tepat ketika kelopak mataku terbuka, aku tak melihat Herdy, entah menghilang kemana. Aku coba periksa kamar bagian belakang sekretariat. “Sial sekali!” kataku “Niat untuk mengajakku tidur di kamar pun tak ada.” Aku pun melanjutkan perbincangan dengan anggota Mapagama, saling bertukar cerita tentang mapala masing-masing. Tak lama mereka meminta maaf dikarenakan mereka ada jadwal operasional pukul 15:30 di Sungai Elo, jadi mau tak mau aku dan Herdy bergegas pergi ke ASC menggunakan kendaraan online.
Jujur, aku belum pernah ke ASC satu kalipun. Yang ku bayangkan adalah tempat yang hebat dan besar, karena ASC memang benar-benar sudah terkenal dalam bidang speologinya. Ternyata tak seperti ekspetasi, tempatnya kecil tampak dari depannya, memasuki lorong yang tak begitu panjang lalu sampailah di bagian dalamnya yang lumayan besar. Nantinya, kami akan belajar bersama mengenai ilmu pengolahan data gua menjadi sebuah peta setelah Maghrib. Sementara menunggu waktu Maghrib, beberapa anggota ada yang hanya ingin makan, dan ada yang ingin berjalan-jalan di sekitar Kota Yogyakarta. Aku pun ikut jalan-jalan ke Alun-Alun Kidul menaiki Transjogja. Asik dan asri ternyata kendaraan umum di Yogyakarta, layaknya melihat perempuan anggun, tenang, sejuk, dan nyaman.
Tak ada hal spesial yang kami lakukan di alun-alun, seperti biasa, hanya berfoto lalu pulang. Sudah itu saja. Transjogja yang kami naiki tidak sejalur dengan arah pulang kami ke ASC. Akhirnya kami menanyai petugas yang di sana, Transjogja nomor berapa yang harus dinaiki untuk hendak sampai lagi ke ASC. Dan akhirnya semuanya berujung terlambat, pukul 18:45 kami sampai di ASC. Kak Rosa, salah satu instruktur kami, mukanya sudah menekuk layaknya kertas yang sudah di remas berkali-kali dan tidak bisa kembali lagi. Hingga akhirnya materi pun dimulai setelah Isya.
Ku kira materi ini akan sedikit mudah, tapi ternyata benar kata pepatah, “Jangan pernah melihat suatu hal dari depan nya”. Benar saja kepalaku rasanya ingin pecah ketika menerima materi pengambilan data dan pemetaan. Otakku sudah seperti tak kuasa menampung semua materi yang diberikan dalam waktu satu malam itu. Tapi kami semua berusaha semampu mungkin untuk mengertinya, karena ilmu ini nantinya akan diterapkan di Pendidikan Caving selanjutnya, dan tentunya untuk upgrade ilmu yang sudah lama usang termakan debu dan waktu. Jam sudah menunjukan pukul 02:00. Kepala kami sudah penuh dengan semua pembelajaran baru yang membuat kami sedikit membenturkan kepala kami agar memahami semuanya dalam satu malam. Besoknya kami harus bangun pukul 08:00 untuk mandi dan bersiap berangkat ke Stasiun pukul 12:00. Ada beberapa yang memilih langsung beristirahat dan ada beberapa yang memilih untuk mengisi perut yang sudah meringis untuk diisi dengan suatu hal yang membuat ia bahagia.
***
Mentari kali ini tidak mempan terhadapku. Aku sedikit kesiangan dikarenakan kelelahan dan waktu tidur yang tidak cukup. Beruntung hanya beberapa orang saja, Kak Rosa dan yang lainnya bangun tepat waktu lalu bergegas untuk mandi. Sebelum keberangkatan kami ke Stasiun Lempuyangan kami mengadakan eval dan briefing, disini kami yang berangkat jalan-jalan ke Alun-Alun Kidul benar-benar dijadikan kambing hitam karena melanggar ROP yang sudah ditetapkan. Kami menerimanya walaupun dengan sedikit pembelaan bahwa kami salah jalur dalam pemilihan rute bus Transjogja. Kami semua sudah mandi dan berkemas. Jam sudah menunjukan pukul 12:00. Berangkatlah kami menuju Stasiun Lempuyangan menggunakan kendaraan online. Sesampainya kami pun masuk ke kereta pukul 13:15. Kelelahan bukanlah penghalang. Kami pun bercanda gurau, tawa mengiringi kebahagiaan dan kebanggaan kami telah berhasil memasuk Gua Senen dan Gua Ndilem, serta mempelajari materi pemetaan dan pengambilan data Gua. Tak lama kantuk pun datang, satu per satu dari kami terlelap tanpa sadar.
Pemberitahuan bahwa kami sudah sampai di Stasiun Kiaracondong terdengar, kami terbangun dan segera beranjak keluar stasiun untuk melanjutkan perjalanan menuju sekretariat ASTACALA menggunakan kendaraan online.
Untuk yang ingin mencoba susur gua, ingat ini baik-baik :
1.Jangan tinggalkan apapun kecuali jejak
2.Jangan mengambil apapun kecuali gambar dan data
3.Jangan membunuh apapun kecuali waktu
ASTACALA!!!
Tulisan Oleh : Faiz Sukma Dani (AM – 022 – Gemuruh Langit)
Dokumentasi Oleh : Tim Dokumentasi Pendidikan Lanjut Gemuruh Langit