Menemukan Keteguhan Hati di Gunung Kilimanjaro

Related Articles

Afrika adalah benua terbesar ketiga di dunia setelah Asia dan Amerika dan kedua terbanyak penduduknya setelah Asia. Dengan luas wilayah 30.224.050 km² termasuk pulau-pulau yang berdekatan. Baru-baru ini terjadi retakan didekat Ibu Kota Kenya, Nairobi, diprediksi bisa membuat Benua Afrika terbelah dua. Afrika akan terbagi menjadi dua lempeng utama yakni lempeng Nubia dan lempeng Somalia.

Dilansir dari media Kenya, Kenyans.co.ke, pembelahan daratan ini akan selesai dalam 50 juta tahun. Saat ini prosesnya diperkirakan telah berlangsung 25 juta tahun. Ahli geologi memperkirakan lempeng Somalia telah bergerak menjauh dari lempeng Nubia dengan laju 2,4 sentimeter per-tahun. Aktivitas saling mendorong atau menarik di kerak bumi menyebabkan batu meluncur ke atas atau ke bawah.
Namun selain berita tentang pergeseran lempeng tersebut, benua Afrika memang menyimpan banyak sekali keanekaragaman flora dan fauna hingga gurun pasir terluas di dunia, Gurun Sahara. Benua Afrika merupakan rumah bagi spesies kucing besar dan gorila. Ilmuan juga mengungkapkan bahwa manusia pertama yang hidup di bumi berasal dari Afrika. Benua ini masih sangat alami hingga banyak sekali taman nasional yang sangat luas. Afrika masih memiliki banyak objek keindahan alam, salah satunya yang tidak kalah terkenal yaitu Pegunungan Kilimanjaro. Namun gletser di Gunung Kilimanjaro yang telah berusia sekitar 10.000 tahun diprediksi akan habis pada tahun 2030.

“Seluruh bidang es, yang memegang sebagian besar sisa es glasial Kilimanjaro, mengalami penyusutan lebih dari 140 juta kaki kubik (4 juta meter kubik) es dalam 13 tahun terakhir,” kata Pascal Sirguey, seorang ilmuwan penelitian di University of Otago di New Zealand. Bidang itu berbentuk kubus berukuran sekitar 520 kaki (158 meter) di setiap sisi.

Terlepas dari kabar mengenai akan habisnya salju di puncak Kilimanjaro. Gunung tertinggi ke empat di dunia itu tidak pernah kehilangan magic-nya. Kilimanjaro masih menjadi tujuan favorit bagi sebagian orang, terkhusus para petualang atau pencinta alam. Kilimanjaro merupakan salah satu jenis gunung api di dunia yang masih aktif dan mempunyai ketinggian sekitar 19.341 kaki dari permukaan laut (5.895 mdpl).

***

Jika orang mengatakan “proses tidak akan mengkhianati hasil,” maka pengalamanku pada Agustus 2018 ini adalah hasilnya. Berawal dari dibukanya Astacala Tel-U International Expedition (ATEX), yaitu ekspedisi internasional pendakian gunung Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam ASTACALA Telkom University ke Gunung Kilimanjaro, Afrika. Sebelum pendakian, ada beberapa persiapan yang kami lakukan, salah satunya seleksi calon atlet. Seleksi dilakukan kurang lebih selama tiga bulan. Ada sekitar dua puluh orang anggota ASTACALA yang mengikuti seleksi calon atlet, dari mulai fisik sampai pembentukan mental calon atlet yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Pada akhirnya terpilihlah kami berdua, aku, Mohammad Qoyyum (AM – 020 – GL) dan Adhitia “Ableh” Rachman (AM – 019 – GL) serta seorang pendamping dari pihak Telkom University Jeffry Hasibuan.

Pendakian ini membawa beberapa misi, diantaranya menyambut kemerdekaan dengan pembacaan teks proklamasi di lokasi tertinggi untuk memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, misi kebudayaan memainkan alat musik Karinding khas Jawa Barat, riset mengenai tata kelola Taman Nasional Kilimanjaro sebagai perbandingan untuk taman nasional di Indonesia agar menjadi lebih baik untuk mendukung konservasi di Indonesia serta ikut merayakan ulang tahun Telkom University yang ke-5 pada tanggal 31 Agustus 2018

11 Agustus 2018 – Langkah Pertama di Tanzania, Afrika

Kami dibantu satu guide dari Monkey Adventure, Mr. Gadhi (60 tahun). Mr. Gadhi sangat ramah, lucu dan mahir berbahasa inggris. Dia langsung mengarahkan kami mengurus registrasi Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dan berkenalan dengan beberapa rekan-rekan yang akan ikut bersama kami.

Pukul 11.00 kami sudah bersiap menuju Mandara Huts (2400 mdpl), basecamp yang terdapat di jalur Maranggu, salah satu jalur menuju puncak Kilimanjaro. Pendakian melalui jalur Maranggu tidak membutuhkan tenda untuk berkemah, melainkan menggunakan Huts, sejenis pondokan untuk para pendaki bermalam. Perjalanan menuju Mandara Huts membutuhkan waktu lima jam dengan kondisi lingkungan berada di zona Rain Forest, lebatnya pepohonan dan tingginya rerumputan dengan jalur yang perlahan menaik. Sepanjang jalur Maranggu, kita dapat menemukan hewan dan tumbuhan endemik seperti monyet bulu hitam dan putih, serta tumbuhan empeties Kilimanjaro.

Di tengah-tengah perjalanan, guide kami berteriak, “Pole-Pole” yang artinya pelan-pelan, selain itu terkadang dia juga berteriak, “keep ship-ship” yang maksudnya mengingatkan kami untuk minum.

“Ini bertujuan agar stamina lebih kuat dan stabil,” ujar guide Mr. Ghadi. Kata-kata tersebut menjadi tips tersendiri bagi kami pada pendakian Kilimanjaro ini.

Pukul 16.15 waktu Tanzania, kami telah sampai di Mandara Huts (2400 mdpl), registrasi kembali dilakukan agar bisa mendapatkan huts, lalu beberapa menit kemudian kami dipanggil Maichel, asisten guide kami untuk makan malam. Menu makan malam saat itu sup kacang, roti bakar dan kopi Kilimanjaro. Setelah selesai makan, kami briefing untuk perjalanan besok menuju Harombo Huts Basecamp.

12 Agustus 2018 – Kram

Pukul 05.00 kami melanjutkan perjalanan menuju Harombo Huts (3700 mdpl). Suhu pagi hari di Mandara kurang lebih 5ºC. perjalanan menuju Harombo Huts yang berjarak sebelas kilometer dengan jarak tempuh kurang lebih enam jam dengan kondisi zona Main Forest, yakni banyaknya savana yang luas serta jalur berbatu, dilengkapi tanjakan panjang. Kami berpikir ini adalah jalur terberat kedua sepanjang pendakian.

Dikelilingi banyaknya bunga Eidelweis yang sedang mekar, pertama kalinya di jalur ini aku melihat betapa megahnya puncak Kilimanjaro dari kejauhan. Jalur ini juga yang membuat kedua pahaku kram seketika di tanjakan yang terjal, kurang lebih saat menempuh jarak sepuluh kilometer. Akhirnya perjalanan diistirahatkan sejenak. Ableh terus membantu meredakan kram di kakiku dan guide memberikanku semangat.

“Ya Tuhan jangan sampai aku kena AMS dan tidak bisa ngelanjutin perjalanan,” bisikku dalam hati.

AMS yaitu (Acute Mountain Sickness) penyakit yang dialami tubuh manusia yang diakibatkan karena tubuh manusia gagal untuk melakukan adaptasi terhadap ketinggian. Disebabkan karena pada ketinggian tersebut tekanan udara sangat rendah sehingga kadar oksigen juga ikut menjadi sangat rendah. Tekanan udara sangat rendah sehingga kadar oksigen juga ikut menipis.

Setelah beberapa menit istirahat akhirnya kakiku mulai membaik, dan kami melanjutkan perjalanan menuju Harombo.

“Memang menantang, jadi wajar kalau terkena keram,“ ujar Michel, asisten guide.

Pukul 14.00 kami sampai di Harombo Huts dan langsung menulis di reception. Setelah mendapatkan Huts kami langsung bergegas mengganti baju. Di Harombo Huts suhu tercatat sekitar 13ºC

Di basecamp inilah kami memainkan alat musik Karinding, seketika kami menjadi pusat perhatian. Mereka bingung sekaligus tertarik melihat kami memainkan alat musik karinding.

Di perjalanan menuju Harombo kami sering bertemu burung gagak yang terbang bebas dan sesekali melihat tupai. Kami juga melewati bukit yang konon katanya bukit tersebut dulunya digunakan sebagai penyembahan oleh Suku Chaga, suku asli Swahili yang sekarang suku tersebut dilarang bersembahyang semenjak areal ini menjadi taman nasional.

Menu makan malam kali ini Butter Rice dan ikan. Setelah itu kami briefing untuk perjalanan besok. Tengah malam ketika semua sudah tertidur, aku terbangun melihat thermometer yang menunjukkan angka minus dua derajat. Embun yang menempel di rerumputan menjadi es, bahkan air di dalam botol minumku hampir membeku.

13 Agustus 2018 – AMS Menyergap Ableh

Pagi hari sarapan sudah siap, dan snack untuk kami bawa pun sudah terbungkus rapi. Usai pemanasan kami berangkat. Beban yang kami bawa rata-rata dua puluh kilogram per-orang. Menuju second basecamp, jalur yang kita lalui masih berupa tanah dan berbatuan. Tidak ada pohon sama sekali sejauh mata memandang, hanya tanaman merambat dan rerumputan. Sepatu yang kami pakai pun masih sepatu trek biasa.

 

Medan selanjutnya lebih menantang dari pada empat jam pertama, lebih terjal dan udara terasa dingin walaupun matahari begitu terik. Jalur inilah tempat pertama kalinya aku melihat sungai membeku di perjalanan menuju Kibo (4700 mdpl), dengan jarak sembilan kilometer, estimasi ditempuh dalam waktu empat jam dengan zona savana yang luas dan panjang serta terlihatnya megahnya Uhuru Peak (Puncak Kilimanjaro), putihnya es abadi Kilimanjaro.

Harombo adalah tempat terakhir kami bisa mendapatkan air, oleh karena itu kami harus membawa air lebih banyak dari biasanya agar cukup untuk sisa perjalanan kami hingga akhirnya nanti kami kembali ke Harombo. Selama perjalanan menuju Kibo, kami harus melintasi Alpine Zone, zona gurun dengan cuaca ekstrim, kadang panas terik beberapa menit kemudian suhu bisa berkabut dan sangat dingin, lalu tiba-tiba saja angin bisa berhembus kencang, membuat wajah kami terasa seperti disilet-silet.

Perjalanan menuju Kibo, semua tim mulai merasa terkena penyakit ketinggian, dengan gejalanya, yakni pusing dan mual-mual, karena tipisnya oksigen dan jalur yang sangat panjang membuat tenaga kami terkuras lebih banyak.

This is the last water point post, we take a rest and keep ship-ship, and eat your dates, to recover your energy,“ ujar Mr. Ghadi, mengingatkan kami untuk beristirahat, minum dan mengemil kurma di pos titik pengambilan air terakhir.

Setelah enam jam perjalanan kami pun tiba di Kibo pukul 14.00. Setibanya di sana kami makan siang lalu kami memutuskan untuk langsung beristirahat. Ketika waktu makan malam tiba kami dibangunkan, setelah itu briefing untuk memutuskan summit attack, kami sepakat untuk summit attack pukul 00.30.

Udara semakin dingin dan oksigen pun semakin menipis. Setelah makan malam, tiba-tiba Ableh muntah-muntah. Suasana seketika menjadi tegang, kami takut jika Ableh terkena AMS, dan tidak dapat melanjutkan pendakian. Untuk membantu meredakan sakit yang dialami Ableh, kami memberikannya obat, lalu diperintahkan untuk langsung beristirahat.

14 Agustus 2018 – Keteguhan Hati Summit Attack

Jalur Kibo Hut ke Uhuru Peak (5895 mdpl) inilah puncak perjalanan kami. Jika dari Horombo Puncak Kilimanjaro sudah terlihat sedangkan di Kibo, puncaknya malah tidak terlihat terhalang medan yang harus kami lalui dengan sudut kemiringan hampir tujuh puluh derajat dan suhu mencapai nol derajat dengan kondisi tubuh yang semakin drop.

Sempat muncul kekhawatiran di benakku kegagalan. Aku takut collapse di tengah perjalanan dan aku akan menghambat pergerakan orang-orang dalam satu timku. Oksigen yang semakin menipis membuatku lemas. Tetapi ketika melihat lagi ke belakang, perjalanan menuju Kilimanjaro sudah sejauh ini. Aku tidak mau menyerah dan mengecewakan keluarga besarku, ASTACALA yang telah menitipkan amanah, mengibarkan bendera ASTACALA di puncak putih Kilimanjaro. Selama tubuh masih dinyatakan mampu, harus tetap melangkah.

Medan terakhir yang kami lalui adalah pasir berkerikil. Dua langkah naik, seketika turun juga satu langkah karena medan kerikil yang sangat menghambat pergerakan langkah kaki kami. Batu-batu yang tidak kokoh membuat kami mudah tergelincir, dan sulit untuk naik. Guide terus mengingatkan agar jangan terlalu buru-buru, pelan-pelan saja, “pole-pole” dalam bahasa Tanzania. Langkah kecil namun konsisten.

Selama perjalanan aku membuat pola langkahku sendiri, setiap sepuluh langkah lalu berhenti untuk mengambil oksigen sebanyak banyaknya. Di tengah kelelahan kami ditegur.

“Ayo! Fokus saja sama langkah kalian, semakin dilihat semakin stres loh!” kata Elly, salah satu rekan pendakian kami.

“I don’t care, Elly!” gumamku dalam hati.

Kemiringan gunung dan kerikil-kerikil pun memaksa kami berjalan zig-zag, membuat perjalanan terasa semakin jauh setiap kami menambah ketinggian, dan semakin pening kepala kami. Paru-paruku “berteriak” meminta asupan oksigen lebih banyak. Kami dipaksa untuk menembus batas kemampuan. Push to the limit. Saat itu aku terus mengulang-ulang kalimat di kepalaku

“Pole-pole, Cindy, pole-pole. There will be a time that you feel like you wanna give up, but don’t give up. Please, keep going. Don’t give up”.

Berjalan di medan sulit selama lima jam, kami harus mendaki batu-batu besar. Perlahan tapi pasti, tibalah kami di ujung berbatuan itu dengan terengah-engah. Kami melihat pemandangan luar biasa yaitu beberapa tebing gletser.

Di tengah-tengah perjalanan aku terus berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan dan kelancaran, kami semakin lemas sedangkan istirahat kami sangat sedikit. Mr. Ghadi dan Rama (salah satu tim perjalanan kami) tidak pernah berhenti menyemangati.

Tiba-tiba, sebagian dari tim, Elly dan Kris terpaksa harus turun karena Elly terkena gejala AMS. Keselamatan yang utama. Dengan berat hati mereka turun dan tidak dapat mencapai puncak. Mentalku langsung down, membayangkan bagaimana kalau aku juga terkena AMS. Tapi Mr. Ghadi tidak pernah berhenti menyemangati kami dengan nyanyian dan obrolan ringan agar tetap fokus dan tidak berpikir macam-macam.

Matahari semakin terlihat. Sunrise yang sangat indah dipandang dari tempat kami berdiri, Ghilmans Point (5681 mdpl). Betapa gembiranya kami dengan wajah yang lelah, dan semangat pun kembali pulih, menuju puncak salju abadi Kilimanjaro. Ketika kami beristirahat sejenak di Ghilman’s Point, Mr. Ghadi berkata,

”Kalau tidak kuat sebaiknya kita sampai disini saja toh kita juga sudah dapat sertifikat“.

Tapi kami optimis dapat mencapai puncak dan bisa kembali turun dengan selamat. Kami yakinkan Mr. Ghadi bahwa kami mampu. Akhirnya tim yang tersisa sepakat untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju Uhuru Peak.

Aku merasa mendapatkan tenaga tambahan entah dari mana datangnya. Pandangan kembali aku fokuskan, rasa lelah tiba-tiba hilang, langkah pun terasa lebih enteng. Perjalanan dari Ghilman’s Point menuju Uhuru Peak lebih landai dari perjalanan sebelumnya yang hanya berbatuan besar yang memperlambat langkah kaki kami.

Meskipun lebih landai dengan ketinggian yang semakin bertambah, aku merasakan nyeri di dada sebelah kiriku. Apapun yang aku rasakan, aku selalu melaporkannya ke Mr. Ghadi karena aku tidak mau mencurangi tubuhku sendiri, keselamatan yang paling utama.

It’s normal, selama masih sanggup berdiri atur saja nafasmu, aku juga merasakan hal yang sama,“ kata Mr. Ghadi.

Mendaki Gunung Kilimanjaro merupakan tantangan yang berbeda. Dengan ketinggian 5.895 mdpl, bukanlah hal yang aneh jika orang menghadapi ancaman kesehatan di puncak Kilimanjaro. Meskipun terhindar dari penyakit ketinggian, udara di sana sangat tipis dan dingin sehingga bernapas jadi salah satu aktivitas yang sangat sulit. Tak heran jika sekitar 60% orang yang mencoba mendaki Kilimanjaro kembali turun sebelum mereka mencapai puncak. Akhirnya Puncak Kilimanjaro atau Uhuru Peak terlihat. Semakin dekat, semakin terjangkau.

Pukul 09.40 terlihatlah papan itu, papan selamat datang, papan kemenangan kami. Spontan kami pun menangis dan sujud syukur. Tuhan memberikan kekuatan sangat besar dari apa yang kami bayangkan. Berkibarlah bendera itu, bendera kebanggaan kami di puncak putih Kilimanjaro, cita-cita saudara-saudara kami. Di puncak Kilimanjaro angin sangat kencang, suhu ektrim mencapai minus dua puluh derajat, kami memanfaatkan waktu semaksimal mungkin.

Akhirnya kami berhasil menggapai puncak putih Kilimanjaro, berkat do’a dan semangat dari keluarga besar ASTACALA, serta dukungan seluruh pihak yang ikut menyukseskan ekspedisi ini.

Terima kasih.

ASTACALA!

 

Referensi Tulisan: detik.com, National Geographic

 


Tulisan Oleh Mohammad Qoyyum (AM – 020 – Gemuruh Langit)

Dokumentasi oleh ASTACALA Tel-U International Expedition (ATEX)

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

NASA Pantau Awan Misterius

        Awan biru keperakan yang tersebar menyelubungi langit di seluruh bumi memancing kecurigaan Badan Antariksa Amerika Serikat NASA. Sebuah wahana akan dikirimkan untuk...

Di Negeri Laskar Pelangi

Dari dalam pesawat yang baru terbang puluhan menit dari Jakarta, saya melihat hijaunya Pulau Belitung lengkap dengan beberapa landscape bopeng pertambangan timah di beberapa...

Impianku yang Terwujud di Kampung Londok

Saat saya menyadari tidak semua impian dapat menjadi kenyataan…yah, tak satupun dari kita tahu seberapa panjang umur kita dan apa yang akan terjadi pada...