Guha dan Kisahnya : Purnama Si Penipu
Masih teringat suasana di kala siang hari itu, dimana hatiku yang penuh akan rasa bersalah. Pukul 12.30 baru kami berangkat meninggalkan sekretariat Astacala. Realita dan rencana ternyata tidak padu. Kelalaianku menjadi faktor utama yang membuat rencana operasional perjalanan kami rancu. Saat itu hanya ada satu ungkapan yang terus menghantui : penyesalan. Kepalaku selalu tunduk, memandang ke bawah, tak berani aku menatap wajah-wajah yang dari tadi menungguku untuk segera berangkat. “Belum berangkat saja sudah kena masalah”, Sesalku. Susu sudah tumpah, yang sudah biarlah sudah. Tak usah terlalu diratapi apalagi diperdebatkan, tak ada gunanya. Segera saja kami berangkat, karena kami harus segera mengejar ketertinggalan.

Kami pun memulai perjalanan dengan hujan yang mengguyur sepanjang perjalanan. Derasnya, membuat basah seragam hitamku. Suara hiruk pikuk jalan menemani penantian . Setelah menunggu 30 menit di depan toko bangunan, mobil hijau kecil dengan lecet di tubuhnya mulai mendekati kami. Ardiyansyah mulai beraksi, ia adalah anggota tim yang kami andalkan untuk menego harga tiap kali kami bertransaksi. Dia keturunan sunda asli. Aku berharap akang sopir luluh, agar bersedia menurunkan harga atas nama ikatan keturunan bumi pasundan.
Pace mulai mengatur bawaan kami di dalam mobil. Setelahnya kami masuk satu persatu cari posisi wenak. Aku pun duduk di tempat yang sangat membuatku bernostalgia akan masa kecilku dulu, saat sering naik angkot : duduk tepat di depan pintu angkot. Hal sepele inilah yang membuatku kembali bisa tersenyum, sedikit lupa akan persoalan terlambat tadi.
“Haha belum masuk hutan aja, udah tersesat. Gimana nasib kalian ntar di hutan”, Sindir Bang Tulup. Mobil angkutan melaju ke arah yang tak jelas. Akang sopir bingung. Ia tak begitu mengerti jalan menuju Desa Neglawangi. Angkot sering berhenti demi menanyakan arah pasti menuju desa tujuan. Bang Tulup sendiri adalah anggota dari Mapala Unisi Yogyakarta. Kebetulan waktu mengizinkan dia untuk berpartisipasi dalam perjalanan ini, sebagai partisipan dan juga sebagai pembimbing, karena kebetulan dia sudah khatam betul dalam berkegiatan gunung hutan.
Sampailah kami tepat di depan kantor Kepala Desa Neglawangi. Kabut yang mulai menelan desa itu tampak seperti menunggu kedatangan kami. Ditemani rasa dingin, kami pun turun dan mulai mengeluarkan carrier satu persatu dari angkot. Senyum pun terbit di muka akang sopir setelah menerima uang hasil jerih payahnya, namun tak lama kemudian ia kembali murung. Mungkin saja ia terpikirkan akan jalan kembali pulang, jalan penuh lika-liku yang ia lewati tadi, semoga ia masih mengingatnya dan tak tersesat lagi. Semangat wahai Bapak! Tuhan menyertaimu.
Meninjau kekosongan kantor kepala desa yang perlahan mulai dikunjungi kabut, kami duduk di terasnya menyiapkan sesajen makan siang kami. Akhirnya satu momen dimana kami tampak sangat bahagia datang. Saatnya makan siang!!! Tak butuh waktu lama gunung nasi terbabat habis, lauk pauk mulai gaib hilang satu persatu. Seperti ungkapan lama mengatakan jika perutmu kenyang maka hatimu akan senang. Ini tampak persis seperti apa yang terjadi. Sisa bungkus nasi perlahan dikumpulkan dan dibuang. Selepasnya, tak lupa kewajiban kami tunaikan : sholat.
Kami pun berkumpul memulai mempelajari dan mengaplikasikan materi navigasi darat. Mem-plotting posisi kita di peta merupakan poin terpenting dalam bernavigasi. Kita harus tau posisi kita di dalam peta sesuai dengan medan sebenarnya. Setelahnya, kami pun melanjutkan perjalanan untuk mencari punggungan awal tempat kami akan mulai mendaki. Sayang seribu sayang, hujan deras kembali mengguyur, waktu pun sudah mengisyaratkan malam segera berkunjung. Untungnya, warga setempat mengizinkan kami untuk menginap di rumah beliau. Kesempatan itu pun tak kami sia-siakan, untuk beristirahat, pun dengan menggali informasi mengenai Gunung Guha, lokasi tujuan kami.
***
Setelah berpamitan dengan pemilik rumah, kami bersiap. Pak Roni hansip rumah, tak rela kami pergi sendiri. Beliau menemani kami untuk berjalan lebih jauh lagi. Pak Roni merupakan sosok yang hangat. Beliau sering mengajak kami bercanda sepanjang perjalanan. Bahkan, cabe Gembrot ia berikan kepada kami sebagai bekal, yang ia petik dari sekitar punggungan yang kami tanjaki. Setelah melewati beberapa punggungan, Pak Roni memutuskan untuk berhenti memandu kami. Ia merasa sungkan karena takut mengganggu proses pendidikan kami. Akhirnya ia pamit dan mendoakan kami selamat sampai tujuan.

Kami mendaki Gunung Guha lewat Gunung Kendeng. Disana, terdapat tumbuhan unik seperti Kantong Semar. Bahkan ada beberapa daun Talas yang begitu lebar yang ku lihat di sepanjang jalan. Hujan memang akrab dengan kami, tak henti-henti ia menyambangi. Kontur yang rapat juga terus kami daki. Sesekali berhenti, untuk mengisi tenaga kembali. Setelah sekian lama, sampailah kami di sabana Gunung Kendeng. Banyaknya duri yang melekat di celana , sepatu dan tangan menjadi saksi bisu dalam usaha kami menuju sabana ini.
Hujan yang terus mengguyur mengajarkan kembali betapa pentingnya api di setiap perjalanan gunung hutan. Ranting-ranting serta kayu-kayu besar segera dikumpulkan sebagai bahan baku awal pembuatan api untuk menemani kami berkemah. Sial nasib kami. Api tak kunjung menunjukkan terangnya, hanya gemuruh langit dan derasnya hujan yang menunjukkan sosoknya .
***
Sisa-sisa sampah kami kumpulkan. kami tak mau meninggalkan sampah sisa berkemah, walau hanya sehelai benang. Sampah yang sudah terkumpul dimasukkan ke dalam carrier. Keindahan sabana tidak kami sia-siakan untuk berfoto bersama sebelum melanjutkan perjalanan. Dari titik ini, teknik man to man kami gunakan. Man to man adalah sebuah cara untuk menuju sebuah titik pada peta yang telah diukur terlebih dahulu sudutnya menggunakan alat bantu navigasi seperti peta, protaktor, pulpen dan tentu saja kompas. Sederhananya metode ini membutuhkan minimal dua orang. Orang pertama berfungsi menjadi compass man yang bertugas untuk mengarahkan langkah atau destinasi orang kedua berdasarkan pengukuran sudut. Orang pertama ini memberi arahan kepada orang kedua untuk membuka jalur ke arah suatu titik atau tempat yang menonjol. Orang kedua berperan sebagai algojo yang bertugas untuk membuka jalur dan memberikan akses jalan di rute yang memiliki banyak hambatan supaya orang di belakangnya dapat melewati rute itu.

Pace dengan inisiatif mengambil peran sebagai algojo penebas rimba hutan. Rambut gondrong dan mukanya yang sangar memberikan citra kepada orang lain bahwa ia adalah orang yang tangguh. Pace dulunya anggota Sispala. Dari latar belakangnya tersebut kami mengedepankan ia dalam persoalan navigasi.
Dari belakang, aku melihat Pace mulai ragu, langkahnya sudah tidak mantap. Medan yang kami lalui juga sudah terasa aneh. Kak Ambar sebagai pendamping berteriak dari kejauhan, “Yakin ini jalurnya?” Teriakannya menjadi sambaran petir di telinga kami yang membuat kami kaget.
Kak Ambar, Bang Wau dan Bang Tulup menanyakan soal jalur kami. Gelak tawa pecah, mereka tak habis pikir akan jalur yang kami lalui. Pace membela diri, atau lebih tepatnya mulai beralasan. Meyakinkan pendamping – Kak Ambar, Bang Wau dan Bang Tulup – soal jalurnya. Pace berdalih lembahan adalah jalur yang tepat untuk mencapai punggungan yang dituju. Pendamping mengoreksi dengan candaan mereka, menginstruksikan kami untuk bernavigasi kembali.
Aku mengambil alih peran Pace, sedang Shania bertugas sebagai compass man. Aku sedikit ragu akan partner ku ini. Dia seakan memberi arahan dengan tidak teliti. Hanya sekedar melihat kompas, tapi tidak menunjukkan arah yang presisi. Usaha tak akan mengkhianati hasil. Proses yang tak cermat berbuah sesat. Lagi dan lagi kami terjebak di rimbanya hutan.
Bulan bersinar terang di atas langit yang gelap. Aktivitas camp mulai dilakukan. Di tengah kesibukan, Ardiyansyah meramal, “Nanti malam ga akan hujan, bulan purnama nampak jelas”. Tak kusangka, bisa juga dia meramal, tentunya kami bergembira akan kabar yang ia bawa. Tidurlah kami dengan tenang dan yakin hujan tak akan datang sesuai kabar dari pak dukun.
***
Esoknya kutemui kantong tidur basah, bahkan pasak tenda pun lepas. Atas kesaksian beberapa orang, ternyata malam kemarin terjadi badai besar. Semua mata menyorot ke Ardiyansyah, mempertanyakan ramalan saktinya. Ternyata purnama bukan tolak ukur akan datangnya hujan. Dan tentunya Ardiyansyah akan mendapati telinganya yang merah karena umpatan kami.
Setelah beberapa hari mencoba untuk navigasi menuju Gunung Guha , akhirnya kami tak kunjung berhasil. Sesak terasa di dada dan kekecewaan menumpuk di hati. Namun apa daya kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi inilah hasil usaha kami. Pendamping pun mengambil alih, mengganti jalur menuruni punggungan untuk sampai ke desa terdekat. Persediaan logistik adalah pertimbangan utama kami untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalan ini kami banyak menuai ilmu yang tak ternilai harganya. Ilmu ini kelak akan sangat berguna bagi kami ketika berkegiatan gunung hutan lagi. kegagalan seperti pembuatan api yang tak kunjung jadi, dimana saat kami benar-benar membutuhkannya, sungguh mengajarkan kami esensi api di kegiatan gunung hutan. Gagal sekali bukan berarti gagal kedepannya. Melalui kesalahan-kesalahan ini akan membuat kami bisa belajar lebih di kemudian. Teknik-teknik navigasi yang juga membutuhkan jam terbang tinggi menjadi tantangan kami ke depan dalam mempelajarinya lagi. Bukan cuma gemuruh di langit yang menemani kami sepanjang perjalanan ini, tapi gemuruh di hati kami masih terdengung hingga sekarang seraya mengingatkan kami untuk terus belajar dan belajar untuk mencapai tujuan suci di Astacala.
Terimakasih atas bimbingan Bang Wau , Kak Ambar dan Bang tulup. Semoga ilmu yang kami dapat bisa bermanfaat dalam kegiatan-kegitaan berikutnya, terutama kegiatan gunung hutan. Wahai puncak Gunung Guha ketahuilah, kami masih belum menyerah menghadapimu! Suatu saat nanti kami akan berdiri di atas dan dengan bangga membusungkan dada kami!
Tulisan Oleh : Andi Muhammad Nur (AM – 010 – GL)
Dokumentasi Oleh : Sie. Dokumentasi Tim Perjalanan GH Gunung Guha