Sembunyi di Balik Kata Pecinta Alam
Masih menjadi tanda tanya besar apa arti pecinta alam, khususnya di Indonesia. Banyak referensi dan banyak arti dari berbagai kalangan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Konsep pecinta alam pertama kali dicetuskan oleh Soe Hok Gie pada tahun 1964. Gerakan “Pecinta Alam” awalnya adalah pergerakan perlawanan yang murni kultur kebebasan sipil atas invasi militer dengan doktrin militerisme – patriotik. Perlawanan ini dilakukan dengan mengambil cara berpetualang, seperti yang telah dituliskan oleh Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran.
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” tulis Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran.
Jiwa perlawanan inilah yang seharusnya terus bertahan hingga kini untuk melawan berbagai aspek. Salah satunya kebijakan-kebijakan tentang lingkungan atau advokasi lingkungan.
Dikutip dari laman Wikipedia, arti pecinta alam adalah istilah yang dipergunakan untuk kelompok-kelompok yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam. Di Indonesia istilah ini mengalami pergeseran makna, yaitu merujuk pada kelompok yang bergerak di bidang petualangan alam bebas.
Bagi saya berkegiatan alam bebas tidaklah masalah, karena memang alam bebas adalah wadah untuk belajar dan turun langsung melihat alam secara konsep ekologis, bagaimana kita melihat atau mempelajari interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Jadi keduanya harus, saya tekankan, keduanya harus saling berkaitan dan saling mendukung.
Akan tetapi sangat disayangkan, poin bergerak di konservasi sudah mulai ditinggalkan kebanyakan pecinta alam, isu gerakan konservasi pecinta alam sendiri belum memperlihatkan sinergi gerakan konservasi yang dinamis. Lebih banyak kegiatan yang menunjukkan corak kegiatan alam bebas daripada gerakan konservasi seperti kegiatan penaklukan gunung, sungai, tebing dan makin hari makin terjadi pergeseran makna dengan gaya hidup penuh kebebasan, celana sobek, rambut panjang, aksesoris carabiner, serta hiasan tali prusik ditangannya.
Kita lupa akan kodrat sebagai pecinta alam yang tertuang pada kode etik pecinta alam. Dalam kode etik pun tidak ada kata yang mengisaratkan eksplorasi kegiatan alam bebas. Namun saat ini, kita terlalu sibuk melakukan ekspedisi-ekspedisi yang banyak manfaatnya untuk pencinta alam sendiri, tetapi rendah manfaat bagi alam dan lingkungan.
Pergesearan makna pecinta alam sendiri mungkin dipengaruhi juga dari peran pemerintah saat masa orde baru. Dalam Republika (25/02/2004) dinyatakan bahwa “Degradasi kultura dalam tubuh pecinta alam memang bukan tanpa alasan, semasa orde baru arah pecinta alam diarahkan untuk tidak mengikuti pola dan gerak serta taktik Greenpeace atau the German Green yang selalu mengkritisi setiap kebijakan pemerintahan yang tidak ramah lingkungan terlebih merusak lingkungan.”
Tapi sampai kapan degradasi kultura ini dipertahankan? Jangan seperti oknum di pemerintahan yang selalu memanfaatkan lingkungan habis-habisan, setalah hampir habis kekayaan alamnya baru berpikir.
Bangun, Bung! Yang mengaku sebagai pecinta alam. Indonesia butuh kita para pecinta alam, kita punya peran penting untuk membina generasi-generasi muda sadar lingkungan dengan berbagai kondisi alam, sikap itu ditempa dalam pendidikan dasar pecinta alam.
Dalam kode etik pecinta alam yang sudah disepakati bersama pun sudah jelas tertuang pada poin ke-2 yakni:
“Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya.”
Sudah terjadi penyimpangan yang sangat jauh dari kode etik itu, ditambah lagi terjadi tren pemanfaatan yang kebablasan dari alam yang menjadi objek. Salah satu contoh kecilnya seperti yang dibuktikan Data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang menunjukkan setiap pengunjung membuang sekitar 0,5 kilogram sampah di Gunung Semeru. Padahal, setiap hari gunung tersebut disambangi 200 hingga 500 pendaki. Dapat disimpulkan, di Gunung Semeru ada sekitar 250 kilogram sampah per hari. Lalu ini salah siapa? Salah pecinta alam? Karena setiap pendaki menyebut diri mereka pecinta alam.
Lantas apa yang sudah kita perbuat untuk alam kita ini? Apa kita sudah melestarikan alam ini? Dikatakan sebagai pecinta alam jika dalam menggunakan sumber alam harus sesuai dengan kebutuhannya, yang jadi pertanyaan apakah merusak alam sudah menjadi kebutuhan manusia? Dipikir secara akal sehat tentu tidak masuk akal, bodoh sekali jika kita berpikir demikian.
Terlalu banyak pertanyaan dan keresahan bagi saya tentang pecinta alam. Berkecamuk bersama rasa gelisah, apakah kita hanya bersembunyi di balik kata pecinta alam demi mendapat pengakuan publik dari gagahnya lambang yang tertempel di baju, tanpa tau makna dari kata pecinta alam.
Kemudian apakah pecinta alam itu hanya untuk orang yang suka berkegiatan alam bebas? Terlalu naif jika kita menyimpulkan demikian. Pecinta alam bukan bagaimana berkegiatan alam bebas. Secara harfiah pecinta dan penggiat itu berbeda, secara pola pikir dan perilaku seharusnya berbeda pula walau kenyataanya sekarang keduanya sulit dibedakan. Penggiat alam hanya menikmati alam tanpa memikirkan sisi ekologisnya, sedangkan pecinta alam selain melihat keindahan alam juga melakukan pengamatan secara ekologis. Contohnya seperti, jika kita ke Danau Ranu Pani di bawah kaki Gunung Semeru, di danau tersebut terjadi pertumbuhan signifikan dari tumbuhan salvinia, jika dibiarkan akar dan daun salvinia yang mati akan terus tertimbun. Proses sedimentasi ini kemungkinan akan merusak ekosistem serta mengeringkan danau. Sebagai pecinta alam dan berdasarkan hasil pengamatan, kita harus menemukan solusi dan melakukan aksi nyata. Contoh lain, bisa juga dari hal kecil seperti membeli produk lokal. Terlihat sepele tapi jika dilihat dengan pengamatan pecinta alam lebih dalam lagi maka akan diketahui ternyata dengan membeli produk lokal, karbon yang dihasilkan dari proses produksi lebih sedikit, penggunaan bahan bakar dari proses pengirimannya pun berkurang.
Selain menikmati keindahan alam, saat berkegiatan alam bebas pun harus menjaga dan mencintai lingkungan tersebut. Ketika sudah cinta, lalu cintamu dirusak, apakah hanya diam? Pecinta alam lebih tentang bagaimana bersikap dan bertanggung jawab. Di mana ketika sudah cinta, lebih dalam lagi memaknai arti cinta, kita akan melakukan yang terbaik bagi alam yang menjadi objek, termasuk menjaga alam tersebut dari kerusakan agar bumi yang kita pinjam dari anak cucu kita ini tetap lestari.
Bagaimana generasi sekarang? Bersikap kalau ada kejadian yang berhubungan dengan kegiatan organisasi kepecintaalaman, lebih sering bertindak jika sudah terjadi kerusakan, sedang untuk urusan gerakan menjaga lingkungan masih tertidur lelap. Ternina-bobokkan oleh sebuah euforia dari doktrin film yang panjangnya hanya 5 cm, berakibat pada pengabaian prinsip-prinsip dasar menjaga kelestarian alam, serta merusak citra “Pecinta Alam” yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pada hakikatnya semua manusia di dunia ini adalah pecinta alam, karena manusia diturunkan di muka bumi untuk menjadi khalifah menjaga bumi dari kerusakan alam dan pertumpahan darah. Manusia memang makhluk yang sangat gila, mereka menyembah Tuhan yang tidak terlihat tapi merusak alam yang terlihat. Tanpa mereka sadari alam yang sedang mereka rusak adalah bentuk manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
Sebenarnya banyak problematika di Indonesia yang pecinta alam harusnya sadar betul ingin berbuat apa? Mengingatkan saya pada sebuah puisi oleh Sengon Karta berjudul Di Balik Kisah Tanah.
Prahara dalam sebuah kisah
Menyebar resah-resah
Tani dipaksa menyembah
Membiasakan alunan instrumental penggusuran tanah
Desa lebih parah lagi
Pertambangan didahului hak hidup dihabisi
Monsanto, freeport, chevron adalah pundi-pundi
Menghantui setiap tani-tani
Menghampiri serupa izrail tanpa permisi
Negara sempat bersumpah
Tertuang di hikayat pasal 33 undang-undang dasar 1945
Rakyat bukanlah ceceran sampah
Bualan-bualan diabadikan menjadi cita-cita
Terejawantah aturan tata ruang kota
Ambisi investasi lebih menghegemoni
Daripada padi-padi yang menjadi nasi
Lebih peduli dengan tonggak-tonggak besi siap ditanami
Menjadi apartemen, cafe-cafe dan prostitusi
Kisah ini takkan pernah lelah
Padi takkan membuat goyah pemerintah
Hutang-hutang menggusur rakyat tak bersalah
Sekali lagi, ini adalah kisah dibalik tanah
Diam sajakah?”
Lestari alamku, semoga Tuhan berkenan.
Tulisan oleh Aulia Rahman (AM – 018 – Duri Samsara)
Ilustrasi Gambar oleh Mikaela Clarissa (AM – 006 – Duri Samsara)