Menikmati Kopi Sambil Belajar di Kedai Kopi Malabar

“Kok gak laku-laku ya?” Itulah yang aku pikirkan sejak aku duduk di tengah-tengah Telkom University Convention Hall (TUCH) sembari menawarkan minuman dingin kepada para wisudawan-wisudawati yang sepertinya tidak peduli dengan daganganku. Ya, hari ini aku berjualan minuman dingin untuk dana usaha salah satu kegiatan Astacala yang tidak lama lagi akan diselenggarakan. Ditemani oleh temanku yang sangat cerewet dan bermuka tebal, Maringga, kami menawarkan minuman dingin kepada orang-orang yang berlalu-lalang di TUCH.

“Yang haus, yang haus ayo minuman dingin seger-seger.

“Ayo, bang, teh, dibeli yang seger-seger.

Itulah kalimat yang sering kami pakai saat menawarkan minuman. Tak hanya wisudawan-wisudawati yang kami tawarkan. Tukang foto wisuda, tukang sosis, tukang gorengan, keluarga dari para wisudawan-wisudawati, bahkan sesama penjual minuman dingin pun kami tawarkan.

Semakin siang, jumlah orang yang berlalu-lalang di TUCH semakin sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah pedagang yang mulai memadati TUCH. Saking banyaknya, para satpam yang berjaga di TUCH mengusir para pedagang yang mulai nekat mendekati pintu utama TUCH, termasuk kami yang sedang duduk mematung.

Setelah diusir, kami dan juga kawan-kawanku yang berjualan minuman (Titin, Bella, Ayati, Samsu, dan Bogun) di lapak lainnya memutuskan untuk kembali ke sekretariat karena kondisi TUCH yang sepi dan tidak memungkinkan lagi untuk berjualan.

Box berisi minuman yang tersisa kami letakkan di kulkas untuk dijual kembali di depan sekretariat. Aku menghela napas karena letih dan kepanasan sambil meneguk air putih dan menghisap rokok untuk mengembalikan stamina.

Baru selesai merokok, Rendy yang sedang memegang alat mandi berteriak, “Mar! ngopi yuk ke Pengalengan!”

“Ya ayok!” jawab Maringga.

“Berangkat sekarang buruan!” balas Rendy.

Eh bodoh! Katanya berangkat sekarang kok masih pegang alat mandi sama handuk?” sahut Maringga kesal.

“Ya setelah gue mandi, sans(santai -red) lah!” balas Rendy dengan santainya.

“Sen, lo ikut nggak?” Tanya Rendy.

“Kalo dibayarin gue ikut,” balasku. Memang dari kemarin aku tidak punya uang. Untuk makan saja aku ngutang sana-sini.

Sans lah bos!” balas Rendy.

Akupun mengajak Bogun yang sedang memijat kakinya yang sakit karena baru turun dari Gunung Cikuray.

“Boleh tuh, gue lagi pengen ngopi sambil sans,” jawabnya antusias.

Setelah Rendy mandi, kami berempat berangkat menuju Pengalengan. Karena waktu luang yang kami miliki cukup banyak, perjalanan kami tidak terburu-buru. Justru kami sering beristirahat mengingat jarak tempuh yang kami lalui juga cukup jauh. Beberapa jam kemudian kami sampai di Malabar Mountain Coffee, sebuah rumah roasting kopi yang terkenal di Kabupaten Bandung. Kami menyebut Malabar Mountain Coffee dengan sebutan ‘Kopi Malabar’.

Tampak depan kedai kopi malabar
Tampak depan kedai kopi malabar

Bukannya bau kopi yang menyambut kami sesampainya di Kopi Malabar, justru bau kotoran hewan yang kami temui. Ternyata terdapat peternakan sapi tidak jauh dari pelataran rumah Kopi Malabar. Kami meletakkan barang bawaan kami di saung sebelum masuk kedalam rumah Kopi Malabar.

Aku, Maringga, dan Rendy masuk ke dalam. Sedangkan Bogun bersantai terlebih dahulu sambil meletakkan kakinya ke atas kursi. Bau kotoran hewan hilang saat kami masuk ke dalam rumah. Semerbak aroma kopi yang pekat mengalahkan bau kotoran hewan yang menyerbak di luar sana. Selain bau kopi, ternyata suasana di dalam sini sangat sederhana.

Walaupun tidak terlalu tinggi, rumah ini menggunakan kayu sebagai pondasi utama dan triplek kayu berwarna putih sebagai tembok. Empat toples besar berisi biji kopi diletakkan di samping pintu masuk. Di tengah ruangan terdapat meja kayu besar dengan beberapa buah gelas kosong di atasnya.

Aku kira di dalam rumah ini hanya mempunyai biji kopi. Ternyata di samping meja terdapat mesin giling kopi yang berukuran cukup besar. Tak hanya itu, di depan mesin giling kopi ada juga kettle, timbangan kopi, dan alat seduh kopi manual (V60, Syphon) dan otomatis (Espresso Machine).

Mesin-mesin penggiling kopi
Berbagai macam alat seduh kopi yang ada di Kedai Kopi Malabar

Kamera yang kupegang daritadi tak berhenti memotret setiap detil yang ada di dalam sini. Saat aku sedang asyik memotret, tiba-tiba ada sekelompok orang masuk ke dalam. Mereka adalah tamu yang berasal dari Samarinda yang sedang belajar tentang kopi. Aku kaget karena mereka jauh-jauh datang hanya untuk mencicipi kopi. Mereka belajar cara mencicipi rasa kopi yang biasa disebut cupping.

Cupping adalah suatu kegiatan mencoba cita rasa suatu produk kopi untuk mengetahui kualitas kopi tersebut dengan cara memberikan penilaian. Dalam kopi istilah cupping berarti pengetesan karakter minuman kopi, setiap varietas tanaman kopi memiliki karakter berbeda, dan dapat dipadu padankan untuk menciptakan rasa yang diinginkan, hal ini disebut blending. Kegiatan penilaian ini dilakukan dangan cara mencium (sniffing), menyeruput (slurping), dan meneguk (swallowing) kopi tersebut.

Rombongan tamu dari Samarinda mencoba cupping
Rombongan tamu dari Samarinda mencoba cupping

Dalam cupping, penilaian yang pertama adalah menghirup aroma kopi  yang mengepul dari kopi bubuk yang belum diseduh. Langkah kedua yaitu mengambil gelas berisi 7 gram bubuk kopi yang dua menit sebelumnya diseduh air 150 ml dan mendekatkannya ke hidung. Dengan sendok, ampasnya disibak ke pinggir dan dihirup aromanya.

Sensasi seperti apakah yang terasa dari uapnya? Apakah enzymatic (seperti bunga, buah, rempah), sugar browning/gula panggang (seperti kacang, karamel, cokelat), atau dry distillation/bakaran (karbon, bumbu, obat-obatan)?

Penilaian ketiga adalah acidity, keasaman kopi. Tahapan ini dimulai dari mengangkat gelas, menyingkirkan ampas ke gelas kosong, menyendok kopi, lalu menyeruput sampai bunyi. Saat kopi menyentuh langit-langit mulut dan tepian bawah lidah, lidah akan merasakan keasaman seperti ketika menyantap buah atau menyesap anggur, dengan selintas rasa “manis”. Skala penilaiannya 1 (very flat), 3 (very soft), 5 (slightly sharp), 7 (very sharp), dan 10 (very bright).

Keempat, sampailah pada point terpenting : flavor (cita rasa). Penilaian ini berfungsi untuk merasakan apakah ada paduan aroma dan rasa ketika kopi menguapi langit-langit mulut saat diseruput. Skala penilaian untuk aspek cita rasa ini antara 1 (terpayah) dan 10 (terhebat).

Langkah kelima, body, kekentalan dari lemak, minyak, dan endapan yang terasa ketika kopi diseruput. Skala nilainya 1 (very thin), 4 (light), 6 (full), 9 (heavy) dan 10 (very heavy).

Langkah ketiga sampai kelima di atas, kopi cukup diseruput, tak sampai diteguk. Begitu cukup merasa-rasa, kopi dimuntahkan lagi ke gelas ampas. Bila belum yakin, bisa diulang lagi. Kopi baru diteguk pada tahap keenam, aftertaste untuk merasakan cita rasa yang melekat di kerongkongan saat kopi diteguk. Skala untuk tahap keenam ini antara 1 (terpayah) dan 10 (terhebat).

Di antara langkah ketiga sempai keenam, meneguk air bening dapat dilakukan untuk menetralkan mulut. Yang terakhir yaitu memberikan cupper’s point/balance atau nilai keseluruhan pada semua kategori tadi dengan skala -5 (terpayah) dan +5 (terhebat)

Disaat mereka telah selesai cupping, kami ditawarkan untuk melakukan cupping secara cuma-cuma. Pada awalnya kami malu, karena diajak terus-menerus, akhirnya kami melakukan cupping. Ada 6 jenis kopi yang disajikan dengan proses yang berbeda-beda, yaitu.

  • Natural

Juga dikenal dengan dry process, metode ini adalah teknik paling tua dalam proses kopi. Setelah panen, buah kopi kemudian disebarkan di atas alas-alas plastik untuk dijemur di bawah matahari. Beberapa produsen kopi kadang menjemurnya di teras bata atau di meja-meja pengering khusus yang memiliki airflow (pengalir udara) di sekitar buah kopi. Ketika dijemur di bawah matahari, biji-biji kopi ini harus dibolak-balik secara berkala agar biji kopi mengering secara merata, juga untuk menghindari jamur/pembusukan.

  • Fully-washed

Atau yang juga dikenal dengan sebutan wet process. Umumnya, proses ini bertujuan untuk menghilangkan semua kulit-kulit daging yang lengket di biji kopi sebelum ia dikeringkan. Setelah dipanen, buah-buah kopi biasanya diseleksi lebih dahulu dengan merendamnya di dalam air. Buah yang mengapung akan disingkirkan, sementara yang tenggelam di dasar akan dibiarkan untuk diproses karena buah-buah itulah yang dianggap telah matang.

Selanjutnya kulit luar dan kulit daging buah kopi akan dibuang dengan menggunakan mesin khusus yang disebut depulper (pengupas). Biji kopi yang sudah terlepas dari kulitnya ini kemudian dibersihkan/washed dengan memasukkannya ke dalam bejana khusus berisi air agar sisa-sisa kulit yang masih melekat pada kopi bisa luruh sepenuhnya karena proses fermentasi.

  • Honey

Proses ini agak mirip dengan pulped natural dan umumnya digunakan di banyak negara-negara Amerika Tengah seperti Costa Rica dan El Salvador. Buah kopi dikupas dengan mesin mekanis, tapi metode ini menggunakan lebih sedikit air jika dibandingkan pulped natural process. Mesin depulper bisa dikendalikan untuk menentukan seberapa banyak daging buah yang mau tetap ditinggalkan di bijinya sebelum dijemur. Kulit daging yang tersisa ini dalam Bahasa Spanyol diistilahkan dengan miel yang berarti madu (honey). Dari situlah proses ini kemudian dinamakan—jadi prosesnya bukan dengan memakai madu, ya.

  • Premium Blend

Proses ini adalah gabungan dari proses natural, honey, dan fully-washed dengan takaran yang hanya diketahui oleh peracik kopi

  • Blue

Proses ini hampir mirip dengan proses fully-washed. Hanya kualitas biji kopi dengan proses blue lebih rendah dibandingkan dengan proses fully-washed.

  • Robusta

Robusta merupakan keturunan dari beberapa jenis spesies kopi yang banyak dijumpai di Kolumbia, Indonesia, dan juga Filipina. Ciri-ciri kopi robusta biasanya akan terasa menyerupai cokelat. Bau yang dihasilkan juga manis. Dari segi tekstur kopi robusta cenderung kasar dan memiliki warna yang bervariasi.

Setelah kami melakukan cupping, salah satu karyawan Kopi Malabar yang bernama Mang Dedy menawarkan kopi kepada kami. Tentu saja kami mengiyakan tawarannya. Dengan sigap Mang Dedy menyeduh kopi Arabica Blue dengan metode penyeduhan manual V60. Rasa kopi hasil seduhan Mang Dedy sangat berbeda dibandingkan dengan kopi yang biasa kubuat. Rasio kopi dengan air pas. Tidak terlalu pahit dan tidak terlalu hambar.

Mang Dedy beraksi kembali. Dia menyeduh kopi Arabica natural dengan metode penyeduhan yang paling sederhana, Kopi Tubruk. Kami kembali takjub dengan hasil seduhan Mang Dedy.

Mang Dedy menyeduhkan kopi arabica untuk kami
Mang Dedy menyeduhkan kopi arabica untuk kami

Beberapa saat kemudian, tamu dari Samarinda tadi pamit kepada kami karena mereka harus kembali ke villa untuk beristirahat. Setelah mereka pergi, kami dan karyawan Kopi Malabar mulai membakar rokok karena dari sore kami tidak merokok. Kopi panas serta angin yang sejuk terasa kurang kalau tidak menghisap rokok.

Kami berempat bersantai dengan karyawan Kopi Malabar sambil menghabiskan duabelas gelas kopi sisa cupping tadi sore. Walaupun sudah tidak panas lagi, kami dengan santai menyeruput habis kopi dari dalam gelas. Daripada dibuang, lebih baik kami habiskan. Hitung-hitung kopi gratis.

Saking banyaknya kopi yang kami teguk, kami mulai merasakan akibatnya. Bogun sering sendawa karena asam lambungnya naik, aku bolak-balik ke kamar mandi karena kebelet kencing. Dan Maringga mulai mules. Yang paling aneh adalah Rendy. Tak ada keluhan sama sekali. Memang, Rendy sangat menyukai kopi. Satu hari dia bisa menghabiskan tiga gelas lebih kopi pahit.

Rendy yang daritadi memperhatikan cara cupping ternyata masih belum puas. Rendy bertanya kepada salah satu karyawan Kopi Malabar yang bernama Mang Asep tentang kopi. Akupun tidak terlalu mengerti apa pembicaraan mereka. Aku sibuk mencicipi kopi yang masih banyak.

Rendy berdiskusi mengenai kopi
Rendy berdiskusi mengenai kopi

Hari semakin malam. Kami mulai meninggalkan Kopi Malabar. Sebelum pulang, Rendy menyempatkan diri untuk membeli setengah kilogram biji kopi Arabica natural. Kami kembali ke sekretariat diselimuti dinginnya malam.

Aku belajar banyak dari Kopi Malabar, mulai dari proses, cupping, penyeduhan manual, sampai mencicipi kopi berbagai variasi.

Satu hal yang lucu dari kata-kata Mang Dedy saat bercanda dengan kami,

“Kalau mau manis, jangan minum kopi. Minum sirup saja!”

 

(sumber : OttencoffeekulinerjourneyNG Indonesia)


Foto dan Tulisan oleh M. Seno Maulana (AM – 014 – Cakar Alam)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *