Mendaki Gunung Abig dari Bandung hingga Garut
Rintik hujan kala itu menambah kesejukan malam di Kota Bandung. Baru saja kami selesai mengemas perbekalan ke dalam carrier dan briefing untuk operasional esok pagi. Aku, Ahmad Fauzan (AM-010–DS), dan Alfinna Tyas (AM–002-CA ) akan menjalankan kegiatan Operasional Gunung Hutan yang didampingi oleh Fahmi Arief Maulana (A–106–LH) , M. Nuruzzamanirridha (A–119–AF ) serta Anatoli Marbun (A–071–KA) dan Marcellus Haninditya ( AM–021–CA) sebagai partisipan. Kami akan berangkat menuju Gunung Abig di Desa Sentosa, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Sabtu, 21 Mei 2016.
Sabtu, 21 Mei 2016
Waktu menunjukan pukul 04.00 pagi, di sekretariat Astacala, aku bangun lebih awal. Malamnya aku sebenarnya merasa sulit untuk tidur, tapi hal tersebut tidak menyurutkan semangatku menyambut pagi ini. Aku pun membantu membangunkan yang lain.
Sebelum berangkat, tidak lupa kami mengecek kembali barang bawaan yang akan dibawa. Tepat pukul 05.00 pagi, dengan menjinjing tas carrier dan menggunakan pakaian lapangan lengkap, kami mulai melangkahkan kaki meninggalkan sekretariat menuju jalan Radio Palasari untuk menumpang angkutan umum tujuan Pangalengan.
Ilmu gunung hutan adalah materi dasar kepecintaalaman yang mengajarkan kemampuan dan keahlian berkegiatan di alam terbuka khususnya pada lingkungan gunung dan hutan. Pada dasarnya, ketika akan melaksanakan kegiatan ini, terlebih dahulu harus dibekali oleh pengetahuan navigasi darat dan survival. Penddikan Gunung Hutan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pendidikan lanjut Anggota Muda Astacala.
Sekitar satu jam perjalanan menggunakan elf, tiba lah kami di pasar Pangalengan. Suasana pasar Pangalengan sudah ramai saat kami tiba. Hingar bingar suara penjual dan pembeli mengisi keramaian tersebut. Kami segera mencari sarapan. Di tempat sarapan, kami bertanya kepada pemilik warung mengenai transportasi apa yang bisa digunakan untuk menuju Desa Srikandi. Ternyata dengan menggunakan mobil angkutan antar desa yang disewa, kami langsung bisa menuju Desa Srikandi.
Desa Srikandi merupakan lokasi yang menjadi titik awal perjalanan kami menuju Gunung Abig. Sambil berorientasi, aku memperhatikan kondisi sekitar Desa Srikandi. Tidak banyak rumah yang aku temukan. Mungkin hanya ada sedikit keluarga yang tinggal di sini. Aku juga menemukan sebuah gedung sekolah, yang kondisinya juga minim sekali. Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Srikandi adalah pekerja kebun teh.
Sesampainya di desa, kami langsung menuju rumah kepala desa untuk berpamitan dan meminta izin memasuki kawasan. Setelah memastikan titik awal pendakian, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Tak lupa, kami juga berdoa terlebih dahulu untuk kelancaran kegiatan ini agar diberikan kesehatan dan keselamatan, karena kemanapun kita melakukan perjalanan adalah sampai di rumah dengan selamat tujuannya.
Perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Sebelum memasuki hutan, kami berjalan terlebih dahulu di area perkebunan. Jarak antara desa ke dalam hutan terbilang cukup jauh. Lelah nya perjalanan pun mulai terasa.
Kegiatan Diklan Gunung Hutan kelompok kami sebenarnya juga diikuti oleh dua anggota muda dan satu partisipan lainnya, tetapi karena kendala urusan mereka tidak bisa bergabung bersama kami. Kelompok kami bisa dibilang kelompok dengan jumlah orang terbanyak dibandingkan kelompok lain. Hal tersebut menambah keseruan dalam cerita di perjalanan ini.
Matahari mulai condong ke ufuk barat, sore itu kami telah sampai di titik kamp pertama dengan kondisi tim kelelahan. Tak berapaa lama gerimis pun mulai datang. Di camp pertama ini, kami akan melaksanakan materi membuat kamp perorangan. Materi ini sebenarnya telah kami dapatkan sebelumnya pada saat pendidikan dasar, jadi tidak cukup menyulitkan untuk kami.
Pendamping mulai menetapkan lokasi tempat dimana kami harus mendirikan kamp, karena kampnya harus berjauhan antar individu, jadilah jarak kamp kami terpaut jauh dengan yang lainnya dan di sini lah rasa keberanian mulai diuji.
Aku menempati kamp di mana jaraknya cukup jauh dari Ojan dan Tyas. Awalnya, aku sedikit ragu mendirikan kamp di situ. Aku kembali bertanya kepada pendamping apakah boleh pindah tempat kamp. Aku merasa cemas karena tepat di belakang kamp ku merupakan turunan terjal dan gelap yang terasa menyeramkan, atau mungkin karena aku baru pertama kali membuat camp sendiri ditempat yang berjauhan seperti itu. Tetapi bang Ucup meyakinkan kalau tempat itu layak dan tidak masalah di mana pun kamp berada asal kita membuat tempat tersebut aman untuk dijadikan camp. Aku berusaha berdamai dengan perasaan cemas ini. Aku menyugestikan pada diri ku bahwa aku berani dan bisa melewati ini, walaupun rasa waswas tetap saja ada.
Diselimuti rasa waswas aku bergegas menyiapkan kamp, mulai dari memasang selter flysheet, mencari kayu mati dan mempersiapkan segala kelengkapan sampai kamp memenuhi syarat aman. Setelah beberapa jam menyiapkan kamp, aku dipanggil untuk menuju kamp pendamping. Di sana kami mulai menyiapkan masakan untuk makan malam.
Kali ini tugas untuk memasak dilaksanakan oleh Ojan. Tidak diragukan lagi bagaimana lihainya dia dalam memasak. Tak jarang aku bertanya cara membuat masakan dengannya, maklum aku berada di level masih sangat pemula dalam memasak. Ayam asam manis bumbu saus lafonte menjadi hidangan spesial kami malam ini. Ditambah kondisi cuaca yang bersahabat menjadikan makan malam kali ini semakin nikmat. Setelah makan dan membereskan seluruh perlengkapan makan, kami berkumpul di depan api dan melakukan evaluasi. Dari diriku sendiri, bagian yang menyenangkan pada saat berkegiatan di alam bebas seperti ini adalah ketika di malam hari. Pada saat itu kami semua berkumpul untuk makan dan sedikit merenggangkan otot di depan api unggun sambil berbagi cerita.
Minggu, 22 Mei 2016
Hari pertama telah kami lewati. Kami melanjutkan perjalanan yang dirasa masih sangat jauh untuk menuju puncak Abig. Esok harinya seperti biasa, setelah selesai packing, terlebih dahulu kami melakukan navigasi, ketika dirasa cukup, kami baru memulai perjalanan. Setapak demi setapak kami susuri, akar dan duri jadi ujian tersendiri. Senda gurau pun tak terlewati.
Menurutku kegiatan gunung hutan ini merupakan kegiatan yang cukup sulit, disamping kami harus menentukan jalur yang akan dilalui sendiri, kami juga belum mengetahui medan yang akan ditempuh, menjadikan perjalanan penuh tantangan dan itu lah yang membuat semakin berkesan. Berbagai keterampilan softskill kami diasah di sini, mulai dari percaya diri dalam mengambil keputusan, cepat dalam bertindak dan tak lupa kerja sama antar kelompok juga dibutuhkan. Masalah yang sering kami alami saat itu adalah ketidakyakinan dalam menentukan jalur. Maklum, kami masih dalam tahap belajar dan jam terbang pun masih kurang, hal tersebut yang menjadikan durasi perjalanan kami jadi panjang.
Hujan kembali mengiringi perjalanan kami, setelah berjam-jam berjalan. Tujuan kami masih belum terlihat. Jalur kali ini sangat berat, jalan yang menanjak dan licin karena hujan menjadikan kami harus sangat berhati-hati dalam berjalan. Dengan menggunakan teknik man to man, kami berjalan mengikuti arah yang ditujukan sudut kompas menuju tempat tujuan kita yang telah disesuaikan dengan peta. Hatiku mulai cemas tak karuan, di sini mental pun mulai diuji. Sore menjelang, saat itu kondisi berkabut dan gerimis, ketika kami menyesuaikan jalur sebenarnya dengan di peta, ternyata untuk melanjutkan perjalanan harus melewati punggungan yang curam menurun. Karena dirasa tidak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan, kami memutuskan untuk berhenti dan membuat kamp di sebuah puncakan yang cukup lebar.
Kali ini materi yang akan dipraktikkan, yaitu membuat kamp kelompok. Kami langsung membagi tugas untuk menyiapkan segalanya. Tyas menyiapkan logistik untuk memasak, Ojan dan yang lainnya mendirikan tenda, sebagian mencari kayu. Dan aku ditugaskan untuk membuat api.
Api merupakan salah satu kebutuhan vital. Ketika cuaca dingin dan hujan, wajib rasanya mengusahakan api menyala untuk mengeringkan pakaian dan menghangatkan tubuh agar terhindar dari Hypothermia. Kali ini, aku dibimbing untuk membuat api oleh bang Bolenk. Mulai dari cara mencari pemantik yang benar, membedakan kayu basah dan kering juga teknik membuat api itu sendiri. Setelah beberapa lama membuat api, akhirnya api yang ku buat pun jadi, itu juga dengan dibantu oleh bang Ucup.
Hujan deras menjadikan malam semakin dingin, tetapi terasa hangat karena kami semua berkumpul di depan api, ditambah makanan yang sudah siap untuk di santap. Dibanding hari pertama, hari ini kami bercerita lebih banyak, ada curhat terselubung, cerita perjalanan para pendamping dan banyak lagi. Semuanya seru dan sangat sayang jika dilewatkan. Setelah evaluasi, kami istirahat menyiapkan tenaga menuju ke puncak Abig esok hari.
Senin, 23 Mei 2016
Pagi yang cerah mengawali hari ini, tapi sayang, bang Bolenk sudah harus pulang ke kota, karena ada urusan. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan sisa anggota 6 orang.
Di perjalanan selanjutnya, medan yang kami lalui cukup berat, kami harus menelusuri turunan curam dan harus menebas membuka jalur. Ojan memimpin perjalanan kali ini. Benar-benar harus ekstra hati-hati dalam memilih pijakan, salah memijak sedikit entah apa yang sudah menunggu di bawah. Untungnya cuaca bersahabat, sehingga tidak turun hujan dan tidak ada kendala yang berarti. Sepanjang perjalanan aku terus berdoa agar diberi kemudahan agar cepat menuju ke puncak. Beberapa selang waktu kemudian, harapan pun terwujud. Akhirnya puncak tujuan kami terlihat. Tibalah juga kami di puncak Gunung Abig. Senang hati tak karuan, ekspresi wajah sumringah pun tak tersembunyikan, beratnya beban perjalanan yang menemani tadi terasa hilang seketika, ketika menginjakkan kaki di sini, di puncak Abig (2043 mdpl).
Puncak Abig merupakan daratan berbentuk agak lonjong seluas kira-kira seukuran satu dome besar kapasitas 6 orang. Di atas sini kami menemukan kerangka bekas bivak alam yang masih utuh. Kami juga menemukan cacing Sondari, ukurannya tidak terlalu besar, tetapi panjangnya bisa mencapai lengan orang dewasa. Cacing tersebut kami bawa untuk dijadikan lauk tambahan makan malam nanti.
Setelah diskusi untuk tempat membuat kamp hari ini, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju sadelan, titik kamp plotan awal kami, yang berjarak 5 kontur dari puncakan Abig. Sesampainya di sadelan, kami pun menghentikan perjalanan. Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 06.00 sore, kami segera mendirikan kamp.
Malam ini kami akan mempraktikkan materi tidur kalong. Tidur kalong adalah tidur terjaga yang, biasanya, tempatnya di batang pohon tinggi. Tidur kalong berfungsi untuk menjaga diri kita ketika merasa kamp yang kita tempati tidak aman, seperti rawan banjir atau terdapat tanda-tanda binatang buas. Dengan menggunakan ponco dan membawa lilin untuk penerangan, kami melakukan tidur kalong selama 3 jam. Rasa kantuk saat tidur kalong tidak dapat terhindarkan, makanya untuk tetap terjaga Aku, Tyas, dan Ojan mulai bercerita untuk mengusir kantuk. Sementara itu di kamp, bang Hanin, bang Doci, dan bang Ucup mempersiapkan makanan dan juga api. Hari yang melelahkan pun terlewati.
Selasa, 24 Mei 2016
Bivak alam menjadi materi kami di hari berikutnya. Bivak alam merupakan shelter buatan yang menggunakan bahan-bahan yang didapatkan dari alam. Bahan-bahan tersebut terdiri dari kayu untuk kerangka, dedaunan sebagai atap, dan akar sulur atau kulit pelepah pisang sebagai pengganti tali. Kemudian bahan-bahan tersebut disusun sedemikian rupa hingga membentuk bivak.
Kami segera berbagi tugas, aku mencari kayu, Tyas mencari bahan atap, Ojan membangun bivak dan api. Kondisi lokasi kami mendirikan kamp saat itu cukup lapang, tetapi berada di antara dua lembahan, hal tersebut membuat angin berhembus cukup kencang menuju area kamp, menambah dingin udara sore itu. Kendati demikian, kami harus tetap bergerak cepat untuk menyelesaikan bivak sebelum gelap menyambut.
Malam ini, jika merujuk ROP(Rencana Operasional Perjalanan), seharusnya kami sudah sampai di pemukiman penduduk. Tetapi karena berbagai faktor, mengharuskan kami bermalam lagi. Saat-saat seperti ini kemampuan manajemen logistik dan air menjadi sangat berarti. Pengalaman ini menjadi pelajaran bagi kami, bahwa manajemen logistik perlu diperhatikan bahkan bukan saat seperti ini saja tetapi juga dari awal perjalanan.
Rabu, 25 Mei 2016
Rabu pun tiba. Hari ini merupakan hari terakhir kami berada di hutan sebelum menuju desa terdekat. Rasa rindu kota pun terasa. Tapi bagaimana pun juga, pernah merasakan tinggal di dalam hutan kali ini merupakan pengalaman yang sulit untuk ditemukan di mana pun.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke desa, kami singgah sebentar melihat danau yang ada di sana, yaitu Situ Cirompang. Untuk menuju Cirompang tidaklah sulit, karena ternyata sudah ada jalur motor cross. Tetapi medannya sedikit licin, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Jalan terus menurun, terdengar suara aliran sungai tak jauh dari jalur kami. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar di dekat sungai dan istirahat untuk makan makanan ringan.
Pada Siang harinya kami tiba di tujuan terakhir, yaitu Situ Cirompang. Di sini kami melakukan pengenalan materi Search and Rescue (SAR), sekaligus istirahat dan makan siang. Istirahat kami cukup santai tidak terburu-buru, karena kami sudah hampir dekat dengan desa, sekitar 2 atau 3 jam jalan santai, begitu kata bang Ucup. Sebelumnya, Bang Bolenk dan Bang Ucup sudah pernah ke Situ Cirompang untuk sekedar jalan-jalan, katanya. Situ Cirompang merupakan danau di desa Gunung Jampang, Kabupaten Garut. Danau yang luas tersebut terlihat seperti hamparan rumput yang lapang dikarenakan di permukaan airnya terdapat tumbuhan air. Dengan di pandu oleh bang Ucup, kami mempraktikan materi String line dan pencarian survivor. Sekitar jam 2 siang, kami melanjutkan perjalanan menuju desa.
Perjalanan menuju desa tak sedekat apa yang aku bayangkan. Walaupun sudah menemukan area perkebunan, tetap saja area pemukiman masih belum terlihat juga. Saat itu, kaki yang perih karena lecet semakin terasa ketika berjalan di bebatuan. Kami juga berpapasan dengan beberapa warga yang sedang bekerja di perkebunan.
Malam menjelang, cahaya lampu pedesaan terlihat. Akhirnya kami tiba di Desa Gunung Jampang. Desa ini merupakan desa yang terletak di daerah terpelosok di bawah kaki Gunung Jampang. Kami yang hendak menemui kepala desa bertanya kepada seorang warga, tetapi warga tersebut tidak mengerti bahasa kami karena mayoritas warga di sini menggunakan bahasa sunda. Untung saja ada orang yang mengerti, jadilah kami diantar ke rumah Pak Kades. Tetapi sayang Bapak Kades sedang tidak ada, akhirnya salah satu warga dengan senang hati menawarkan kami untuk menginap di ruangan miliknya. Kami memutuskan untuk beristirahat di sana.
Saat aku dan Tyas hendak membeli alat mandi di sebuah warung, kami berbincang- bincang dengan beberapa warga yang kebetulan sedang berkumpul di sana. Ketika sedang asik mengobrol, ibu pemilik warung menawarkan aku dan Tyas untuk mandi di rumahnya. Aku menerima tawaran tersebut dan langsung mengambil perlengkapan pribadi. Berhari – hari tidak mandi di hutan, setelah mandi segar sekali rasanya, menjadikan segala lelah hilang seketika. Di rumahnya, beliau bercerita banyak tentang kampungnya. Aku juga tak lupa bertanya tentang transportasi untuk menuju ke kota. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 09.00 malam. Kami langsung berpamitan dan kembali ke tempat peristirahatan. Ternyata setibanya kami di sana, makan malam sudah tersedia. Aku dan Tyas langsung disuruh makan. Walaupun dengan menu yang sederhana, tetapi sangat terasa nikmat. Aku bahkan sampai tambah piring ke tiga. Ini merupakan pengalaman pertamaku menetap sementara di sebuah desa sekeluarnya dari hutan. Dan ternyata warga di Desa Gunung Jampang sangat baik dan ramah. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih untuk segala bantuan yang diberikan.
Kamis, 26 Mei 2016
Kamis pagi pukul 05.00, kami bersiap-siap untuk menuju tempat truk berada. Dari Desa Gunung Jampang, truk merupakan satu-satunya kendaraan yang membawa warga maupun barang ke kota. Setelah cukup menampung barang dan penumpang, truk pun berangkat. Medan yang dilalui naik turun, bebatuan, dan menyeberangi sungai. Ini juga merupakan pengalaman pertamaku. Sekitar 6 jam perjalanan akhirnya kami sampai di Boyongbong, Kab. Garut. Setelah itu kami langsung melanjutkan perjalanan menuju sekretariat Astacala. Dan akhirnya kami sampai di sekretariat dengan selamat.
Perjalanan Gunung Hutan kali ini merupakan perjalanan yang sangat berkesan untukku. Perjalanan 6 hari penuh tantangan di hutan. Susah dan senang, banyak pelajaran yang didapatkan, serta pengalaman yang sarat akan cerita. Semoga apa yang dilakukan ini dapat bermanfaat baik untuk diriku sendiri maupun orang lain. Aku, kamu, dan kalian harus yakin dan percaya perjalanan yang sangat panjang dan jauh itu akan menghasilkan suatu kisah cerita yang indah.
Tulisan oleh Saskia Latifah Choir (AM–014–Duri Samsara)
Foto oleh Tim Pendidikan Lanjut Gunung Hutan dan SAR
sukses slalu ya 🙂
thank you mas bloh
Aku pernah melakukan perjalanan..dari kampungku cileunca…waktu itu dalam tragedi..pencarian jasad/awak pesawat…gantole yang jatuh tepatnya di gunung karasak sebelah abig..aku beserta rombongan tni.warga sekitar.wanadri dll. Berangkat jam 3:00 subuh….sampai lokasi sekitar jam 12