Kampung Bena

Kampung Bena, Sebuah Peradaban Tertua yang Masih Tersisa di Flores

Perjalanan kali ini saya diajak ayah untuk menilik sedikit keelokan budaya pulau Flores. Pulau Flores sungguh berbeda dengan Pulau Timor yang cenderung kering, dimana Pulau Flores terlihat lebih hijau kerena merupakan daerah yang subur. Dikatakan demikian karena sewaktu kami menapaki wilayah Manggarai Barat, yang Ibukotanya Labuan Bajo, mulai terasa ada sesuatu yang berbeda dengan apa yang saya rasakan di Pulau Timor. Bukti kesuburan pulau Flores dapat saya temukan ketika kami menuju Kabupaten Manggarai, di sana saya bisa melihat betapa luasnya hamparan sawah yang tergelar, menambah indahnya panorama pulau Flores.

Perjalanan saya ke Flores bersamaan dengan tugas ayah saya mengelilingi Kantor Kepolisian Resor(Polres) yang berada di Pulau Flores. Sembari ayah bekerja memberikan sosialisasi program kerjanya, pada waktu luangnya,  ayah mengajak saya menikmati pulau Flores.

Saya berangkat dari bandara Husein Sastranegara, Bandung, menuju bandara El Tari di Kupang pada Selasa, 8 Maret 2016.

Pukul 10.55 WITA saya tiba di bandara El Tari Kupang dan langsung dijemput ayah. Tetapi, tujuan saya tidak hanya ke Kupang semata, melainkan transit 1 hari saja dan besoknya melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo dengan menggunakan pesawat udara.

Pukul 12.00 WITA kami tiba di bandara Komodo, Labuan Bajo dan langsung berangkat menuju daerah Waecicu untuk melihat pemandangan pulau-pulau di sekeliling pulau Flores dari atas bukit Amelia.

Kami tinggal di Labuan Bajo selama 3 hari. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan alat transportasi darat ke Kabupaten Ruteng, Manggarai. Permukaan jalan menuju Ruteng pun terbilang bagus karena sudah diaspal. Tetapi selama 6 jam perjalanan, kita akan menemukan jalanan yang berkelok- kelok 45 derajat. Inilah yang membuat saya mabuk darat, sehingga kami singgah dahulu ke salah satu desa yang berada di kecamatan Lebor, desa yang sungguh indah pemandangannya. Di sana terdapat hamparan sawah, yang kalau diperhatikan dengan saksama akan terlihat berbentuk jaring laba- laba terbesar di Indonesia.

Setelah merasa kondisi mulai membaik, kami pun melanjutkan kembali perjalanan darat dari Ruteng menuju kabupaten Ngada, yang memakan waktu tempuh 8 jam. Sesampainya di Ngada saya dan ayah langsung menuju penginapan untuk kemudian beristirahat, sambil menyiapkan energi untuk melanjutkan perjalanan besok menuju Kabupaten Ende.

Pagi hari tiba, seperti hari-hari sebelumnya saya menunggu ayah bekerja dahulu, dengan beristirahat di homestay.

Sekitar pukul 10.30 WITA ayah sudah kembali dari pekerjaannya. Tetapi kami tidak langsung berangkat ke Ende. Terlebih dahulu ayah mengajak saya melihat kampung adat Bena yang letaknya tidak terlalu jauh dari ibukota Ngada.

Desa adat Bena merupakan kampung prasejarah dan juga kampung tertua di Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Jarak dari Ngada menuju Kampung Bena sekitar 17,5 km, dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Kondisi permukaan jalan ke Bena juga sudah diaspal. Selain itu, selama menuju ke sana, mata kita akan dimanjakan dengan pepohonan yang rimbun dan bukit- bukit yang cantik menawan. Perjalanan yang cukup mengasyikan karena ini merupakan perjalanan pertama kali saya di pulau Flores.

Dengan bangunan rumah yang didominasi tumpukan bambu pada alas rumah dan dinding, atap berlapis alang-alang, lalu bebatuan pada jalan dan tangganya.
Bangunan rumah adat Bena didominasi konstruksi bambu pada alas rumah dan dinding, atap berlapis alang-alang, lalu bebatuan pada jalan dan tangganya.

Sekitar pukul 12:00 WITA kami telah sampai di tujuan. Waktu seakan berputar kembali ke zaman megalitikum, melihat sekeliling perkampungan yang masih asri dan sangat kental budaya tradisional. Arsitektur bangunannya juga masih sangat sederhana dan hanya memiliki satu pintu gerbang untuk akses keluar masuk desa ini. Dengan bangunan rumah yang didominasi tumpukan bambu pada alas rumah dan dinding, atap berlapis alang-alang, lalu bebatuan pada jalan dan tangganya. Listrik yang merupakan salah satu kebutuhan penting masyarakat modern juga belum sampai di desa ini, benar-benar seperti pada peradaban lampau.

Dengan ditemani ayah, saya pun mulai berjalan melintasi rumah demi rumah. Kedatangan kami disambut sangat hangat oleh warga Bena dengan senyum ramah gigi merah, bekas kebiasaan mereka memamah sirih pinang, sebagai ungkapan selamat datang serta penghormatan kepada tamu. Lalu kami disuguhi kopi, khas Flores, hangat yang diolah secara tradisional secara turun temurun. Saya pun hanyut dalam hangatnya keakraban dengan kepala desa Bena dan beberapa warga yang datang bercengkrama.

menikmati kebersamaan dan kehangatan kopi Flores (kiri-kanan ; ine bena, Bpk. Wakapolres Ngada, ayah, ine bena)
Menikmati kebersamaan dan kehangatan kopi Flores (kiri-kanan; ine bena, Bpk. Wakapolres Ngada, ayah, ine bena)

Sambil berbincang-bincang, kami diantar oleh kepala desa Bena untuk berkeliling disertai memberikan sedikit penjelasan tentang filosofi dari rumah adat Bena.

Rumah adat Bena memang memiliki keunikan tersendiri. Terlihat sebagian teras rumah diikat tanduk kerbau, rahang dan taring babi. Hal tersebut bukan hanya sebagai pajangan tetapi juga untuk menandakan status sosial sang pemilik rumah. Semakin banyak yang diikat di teras rumah, maka semakin tinggi status sosial keluarga tersebut. Tanduk, rahang dan taring semua didapatkan ketika mereka mengorbankan hewan ternak saat berlangsungnya upacara adat.

Rumah keluarga inti Sa’o Meze. Rumah adat kebanggaan orang Bena.
Rumah keluarga inti Sa’o Meze. Rumah adat kebanggaan orang Bena.

Kampung Bena mempunyai rumah keluarga inti yang merupakan kebanggan orang Bena. Orang Bena biasa menyebutnya Sa’o Meze. Sa’o Meze merupakan rumah nenek moyang perempuan yang dikenal dengan Sa’o Saka Pu’u. Ditandai dengan adanya miniatur bag’ha; yaitu simbol tusuk rambut yang terpasang pada masing-masing tepi atap. Sedangkan Sa’o Saka Labo merupakan rumah nenek moyang laki-laki. Ditandai dengan adanya boneka pria terbuat dari alang-alang dengan memegang parang dan lembing.

img_bena5
Rumah adat Sa’o Saka Labo; rumah nenek moyang laki-laki.

Sambil kami berkeliling dan berfoto-foto mulailah dari masing-masing keluarga mengeluarkan dan menawarkan hasil karya mereka. Kain tenun mulai disangkutkan pada bambu-bambu di teras rumah mereka masing- masing. Ada yang menjual aksesoris maupun batok kelapa yang sudah dibersihkan yang disulap menjadi mangkok dan sendok. Kerajinan tangan tersebut harganya pun tergolong semuanya sama. Tidak ada yang murah atau pun mahal.

Warga Bena menjajakan hasil kerajinan tangan mereka di serambi rumah untuk menarik pembeli dari wisatawan yang berkunjung.
Warga Bena menjajakan hasil kerajinan tangan mereka di serambi rumah untuk menarik pembeli dari wisatawan yang berkunjung.

Kain tenun dari Bena mempunyai ciri khas dari motifnya. Ada motif jara (kuda) sebagai alat transportasi mereka, motif wa’i manu (cakar ayam), karena ayam itu adalah hewan yang paling dihormati oleh orang Bena, ghi’u (garis dinamis), ngad’hu dan bhaga sebagai penghormatan pada rumah adat.

Warna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun pun menggunakan pewarna alami. Warna khas yang menyelimuti kain tenun Bena biasanya berwarna biru nila, merah, dan kuning. Kain tenun biasa para ine (wanita/ibu) buat di teras rumah sepanjang hari sambil mengurusi pekerjaan rumah tangga.

Wanita di Bena sangat dihargai dan derajatnya pun lebih tinggi daripada pria. Garis keturunan orang Bena pun mengikuti garis keturunan dari wanita. Jika wanita Bena menikah dengan pria luar desa, maka pria luar harus tinggal bersama di kampung Bena. Sebaliknya jika pria Bena menikah dengan wanita luar, maka pria Bena harus keluar dari kampung mengikuti wanita.

Kemudian saya berjalan menaiki anak tangga untuk ke lantai dua. Terlihat ada mimbar raksasa atau batu nabe yang terbuat dari tumpukan batuan pipih. Di bawah mimbar tersebut terdapat makam leluhur yang dihormati. Biasanya juga para tetua adat berdiri di atas mimbar ini untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kampung Bena dan tempat untuk menaruh sesaji hewan kurban untuk para leluhur saat pesta adat berlangsung.

Batu nabe yang terbuat dari tumpukan batuan pipih. Di bawah mimbar tersebut terdapat makam leluhur yang dihormati
Batu nabe yang terbuat dari tumpukan batuan pipih. Di bawah mimbar tersebut terdapat makam leluhur yang dihormati

Terlihat juga beberapa bangunan adat Ngad’hu dengan atap kerucut yang berisi kuburan dan tempat menyimpan sesajian kepada leluhur di tengah-tengah kisa nata, lapangan tempat di mana upacara adat ta’o sa’o meze diadakan.

Foto tangga untuk naik ke lantai dua, kisa nata.
Foto tangga untuk naik ke lantai dua, kisa nata.

Ta’o sa’o meze adalah pesta adat untuk meresmikan rumah adat baru. Semua orang dari luar desa pun diundang untuk meresmikan rumah adat. Tradisi ini sangat penting bagi orang Bena. Bagi keluarga yang mempunyai hewan ternak seperti sapi atau babi bisa menyumbangkannya untuk dikorbankan.

Bunyi kendang dan tarian Ja’i (tari kegembiraan) menghiasi pesta ta’o sa’o meze. Tari Ja’i ditarikan sehari sebelum hewan dikorbankan. Menjemput tamu dengan tarian pun merupakan peristiwa yang wajib bagi tuan rumah. Meskipun tamu yang diundang sampai ratusan, wajib hukumnya untuk dijemput satu per satu dengan tarian.

Penduduk Bena sangat menyukai pesta. Bagi mereka, pesta merupakan keadaan dimana mereka bisa berkumpul dan bersenang- senang bersama. Selama dua hari pesta adat ini diadakan. Hari terakhir hari dimana saatnya mengkorbankan hewan ternak. Ke Toa adalah sebutan bagi penjagal yang dipilih oleh tuan rumah atau penyelenggara pesta. Hewan yang akan dikorbankan akan ditaruh di bawah bangunan Ngad’hu sebagai penghormatan dan sesajian kepada leluhur. Setelah pengorbanan besar-besaran saatnya daging-daging pun diolah dan dimasak bersama-sama. Lelaki bagian memotong daging dan Ine (wanita) bagian memasaknya. Tradisi ini dilakukan terus menerus selama 12 abad. Di sini juga ada tradisi bahwa apapun yang disajikan harus dimakan tidak boleh dilewatkan satupun oleh para tamu. Dan jika sudah tidak memungkinkan untuk dimakan boleh dibawa pulang. Yang penting tidak boleh ada yang dilewatkan. Tersirat jelas pesan yang disampaikan bahwa masyarakat Bena sangat menghargai rizki yang didapat.

Dari dalam rumah adat saya melanjutkan berjalan ke arah paling selatan kampung ini. Di sana saya melihat batu besar menyerupai bukit  setinggi kurang lebih 1.000 meter. Dari sisi selatan Desa Bena saya juga dapat menikmati indahnya Gunung Inerie(2245 Mdpl) yang menjulang tinggi ke angkasa, seakan mengatakan kepada kita bahwa kami merindukan kehadiran para tamu undangan di desa kami. Desa Bena sendiri letaknya berada persis di kaki Gunung Inerie. Maka dari itu cuaca di sini sangat sejuk sama seperti di desa daerah pegunungan lainnya.

Pemandangan cantik gunung Inerie
Pemandangan cantik gunung Inerie

Ine artinya ibu dalam bahasa Ngada. Warga Bena pun percaya bahwa gunung Inerie adalah ibu mereka dan tempat bersemayamnya Dewa Azi, sebagai dewa pelindung kampung mereka.

Gunung Inerie adalah gunung vulkanik yang dikelilingi sumber air panas yang sekarang sudah menjadi tempat wisata pemandian air panas Soa dekat bandara Soa, Bajawa.

Sepanjang jalan menuju kampung Bena dipenuhi tumbuhan bambu.
Sepanjang jalan menuju kampung Bena dipenuhi tumbuhan bambu.

Gunung Inerie yang terakhir meletus pada 1970 lalu, menghasilkan kesuburan yang memberi peluang kepada warga masyarakat desa Bena untuk bercocok tanam, mulai dari sayur mayur, cengkeh, dan lain sebagainya dengan hasil pertanian yang melimpah. Disamping itu, salah satu hasil alam yang sangat menonjol, yaitu Ngada sebagai wilayah penghasil bambu beton, hal tersebut terlihat pada lingkungan sekitar dengan ukuran bambu raksasa dan pepohonan yang sangat rimbun sepanjang jalan menuju Bena.

Pemandangan dari Kampung Bena
Pemandangan dari Kampung Bena

Kesehariannya penduduk Bena menggunakan bahasa Ngada, bahasa asli daerah Bajawa. Warga Bena pada umumnya juga bekerja sebagai petani dengan menanam tanaman umur panjang seperti cengkeh, pala, kemiri, dan kelapa di sekeliling kampung mereka yang subur dan hijau ini. Pola kehidupan di kampung Bena ini pun tidak banyak berubah sejak beribu tahun lalu dan sangat terlihat dari gaya hidup mereka yang sederhana dan hanya bergantung pada alam sekitar untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari.

Waktu terus berjalan dan kampung Bena pun mulai beradaptasi dengan kehidupan modern seperti mulai memakai kaos. Walaupun masih banyak tetua yang masih memakai balutan tenun dan sebagian juga sudah mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Kini warga Bena pun telah mengenal agama. Mayoritas dari mereka merupakan pemeluk Katolik yang taat. Warga Bena termasuk warga yang religius yang ditandai dengan dibangunnya goa Maria yang tedapat di tengah-tengah perkampungan. Walaupun kampung mereka sangat jauh dari gereja Katolik tempat mereka ibadah, mereka tetap pergi beribadah setiap minggunya. Walaupun mereka sudah mengenal dan menganut agama tetapi mereka tidak menyingkirkan ataupun menghilangkan tradisi leluhur mereka.

Terdapat 9 suku berbeda di kampung Bena. Perbedaan setiap suku tersebut ditandai dengan bentuk rumah antara lain: suku Dizi, suku Khopa, suku Ngadha, suku Ago, suku Bena, suku Tiwi, suku Deru, suku Dhiwi dan suku Wato. Suku-suku di kampung inilah yang bersatu melestarikan tradisi di sini.

Kampung Bena sangat disukai oleh para turis mancanegara dari Amerika, Jepang, Rusia, Inggris, dan lain-lain. Banyak diantara turis yang berkunjung kemari untuk melakukan studi maupun untuk menikmati suasana masa lampau yang jarang ditemukan di kota-kota besar sembari menikmati indahnya gunung Inerie. Tak heran kampung Bena terkenal sebagai salah satu tujuan berwisata di Flores.

Banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari Kampung Bena, saling menghormati, berbagi dan menghargai alam pun membuat saya sadar betapa pentingnya itu agar terciptanya kehidupan yang harmonis sama seperti kehidupan di Kampung Bena. Semoga cerita ini bisa menginspirasi dan menambah pengetahuan kita betapa beragamnya budaya tanah air dan tidak malu untuk menjadi penerus budaya di daerah masing-masing. Demikian sepenggal cerita perjalanan saya di pulau Flores.

Foto dan tulisan oleh Mikaela Clarissa
(AM-006-Duri Samsara)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *