Gunung Gede, Sebuah Kisah Keramahan Ramadhan
Jalur pendakian yang berada di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ini memang tidak setenar jalur Cibodas, tidak secepat jalur Gunung Putri, dan tidak sepanjang layaknya jalur Salabintana di Sukabumi.
Di pertengahan Ramadhan lalu, aku bersama dengan kawan-kawan Astacala merencanakan pendakian menuju Gede dan Pangrango. Kami sepakat untuk bertemu di pusat kota Cianjur, karena aku berangkat dari Jakarta dan empat temanku lainnya (Rachman, Ojan, Ayati, dan Andhary) berangkat dari sekretariat di Bandung. Cukup lama aku menunggu mereka di pusat kuliner kota Cianjur, sampai akhirnya mereka tiba sekitar pukul 02.00 pagi.
Tak lama beristirahat, kami langsung menuju desa yang kami jadikan titik start pendakian. Kurang lebih perlu waktu sekitar 30 menit untuk menuju titik tersebut. Sesampainya di sana kami meletakkan carrier di masjid yang letaknya berada tidak jauh dari titik awal pendakian. Kemudian aku dan Ayati mencari makanan untuk santapan sahur kami pagi itu. Walaupun bertepatan dengan bulan Ramadhan, namun kami tetap akan melakukan pendakian untuk rekreasi kami. Lelahnya pendakian bukan halangan bagi kami untuk tetap berpuasa Ramadhan selama di perjalanan.
Mungkin karena berada di pedesaan dekat hutan, tak ada satu pun warung makan yang kami temui membuka warungnya untuk para musafir yang kebingungan mencari santapan sahur seperti kami. Karena tak kunjung menemukan warung makan, aku berpikir untuk memasak saja logistik yang kami bawa. Hingga akhirnya ada seorang bapak penduduk setempat yang kami tanyakan di mana letak warung yang buka untuk sahur kami. Ayati dengan logat sundanya mencoba bertanya.
Niatnya hanya bertanya, ternyata kami malah diajak untuk sahur bersama di rumah bapak tersebut. Kalau aku tidak lupa beliau bernama Pak Didin. Beliau tinggal dengan seorang anak dan istri di rumah sederhana di dekat kebun miliknya. Tidak hanya menawarkan sahur di rumahnya, bahkan kami pun diizinkan beristirahat di rumahnya sebelum meneruskan perjalanan. Sungguh baik sekali keluarga Pak Didin. Dan inilah keramahan pertama kali yang aku rasakan pada pendakianku kali ini. Kalian hanya akan dapatkan ini di Indonesia. Ya Indonesia, negeriku tercinta!
****
Hujan mengucapkan selamat pagi padaku saat aku hendak bangun dari tidurku yang nyenyak. Cuaca pagi yang syahdu membuatku ingin kembali mendekam tempat tidurku yang beralaskan lantai dan karpet. Hingga sekitar pukul 10.00 kami baru berpamitan dengan Pak Didin dan kembali melanjutkan perjalanan ke Desa Pasiripis yang awalnya kami jadikan titik start pada plot-an peta kami.
Titik start pada petaku didapat oleh Rachman dari internet. Berdasarkan informasi yang rachman kumpulkan, di sana terdapat jalur yang biasa dilalui oleh warga sekitar. Tetapi ternyata jalan yang kami lalui sekarang ini tidak melewati Desa Pasiripis, melainkan melalui Desa Galudra. Kami berhenti dan bertanya letak Desa Pasiripis pada warga, ternyata kami harus kembali ke jalan yang sudah kami lewati untuk kesana. Aku memberi saran kepada teman-temanku untuk naik lewat Desa Galudra saja. Karena dari info sekilas yang aku dapat, lebih enak lewat Desa Galudra. Sudah ada jalur yang biasa dilewati warga untuk ke Gunung Gede. Jadi kami tidak perlu merintis jalur lagi. Jalur ini pun terkadang suka digunakan oleh pendaki yang sudah mengenal daerah sini. Memang belum banyak yang tahu, karena jalur ini termasuk jalur ilegal. Bahkan akses untuk menuju desa ini pun masih terbilang sulit, karena belum ada kendaraan umum untuk mencapai desa ini. Kalau dari jalan besar mungkin bisa naik ojek atau carter mobil. Tapi kali ini kami menggunakan motor pribadi sebagai kendaraan kami.
Setelah berunding kami pun memutuskan untuk mendaki melalui jalur Desa Galudra. Kami memarkirkan motor kami di pekarangan rumah Pak Ahmad, salah satu warga yang rumahnya terletak di ujung pemukiman. Tidak ada pemukiman lagi setelah rumah beliau. Di sini lah keramahan selanjutnya yang aku dapatkan. Nanti akan aku ceritakan tentang Pak Ahmad ini.
****
Hamparan perkebunan yang luas terlihat setelah berjalan melewati rumah Pak Ahmad. Hujan rintik masih membasahi jalan yang kami lalui, namun tidak mengalahkan semangat kami untuk bertemu Suryakencana.
Kami memerlukan berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 kilometer dari rumah Pak Ahmad untuk sampai ke gerbang awal jalur pendakian. Kami diantar oleh seorang warga sekitar, yang aku lupa namanya, untuk mencapai sana. Sekalian beliau ingin mencari rumput untuk ternak kambingnya. Di perjalanan menuju gerbang awal terlihat Gunung Gede menyambut dari kejauhan. Kami akan tiba di sana, tunggu kami di puncakmu.
Jalan setapak sudah tersedia di hutan yang kami lalui. Hutan yang masih asri dan tidak ada pendaki lain yang kami temui. Hanya kami berlima di sana. Serasa hutan milik kami.
Trek di sini tidak terlalu terjal, jadi cukup nyaman untuk berjalan disaat kami berpuasa. Tidak terlalu melelahkan dan cuaca pun tidak panas pada hari pertama pendakian ini.
Setelah berjalan jauh, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Kami pun beristirahat di tempat yang landai serta cukup untuk mendirikan kamp. Niatnya hanya istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan lagi, namun Ojan menyela, “Udah nge-kamp aja di sini, landai juga terus bisa masak buat buka.” Bener juga sih yang dibilang Ojan, pikirku dalam batin. Kalau perjalanan masih mau dilanjutkan, nanti bisa-bisa kami telat masak makanan buat buka puasa. Akhirnya kami memutuskan nge-kamp. Aku dan Rachman mencari kayu untuk bahan bakar api malam itu. Yang lainnya berbagi tugas mendirikan bivak dan memasak.
Masakan jadi, tak lama waktu buka pun datang. Ini pertama kalinya aku berbuka puasa di hutan. Nikmat meski hanya dengan makanan sederhana. Api tak lama mulai menyala stabil setelah kami berbuka, dan pembicaraan malam itu pun dimulai.
****
Sahur kali ini juga sahur pertamaku di hutan. Pukul 03.00 aku sudah bangun dan membangunkan yang lain untuk sahur. Ojan kali ini yang memasak. Bisa dibilang dia yang paling mahir memasak di antara kami semua. Maklum dia mahasiswa perhotelan, kerjaannya masak terus kalau kuliah.
Usai sahur kami kembali untuk tidur karena di luar masih gelap. Lalu pukul 09.00 kami kembali bangun. Tak langsung packing, kami malah bermalas-malasan dulu di dalam tenda. Setelah akhirnya Wage (sapaan Rachman) keluar dan turun ke sungai untuk mandi. Perjalanan kami lanjutkan pukul 10.00 dengan memutuskan untuk meneruskan punggungan yang telah kami lalui sebelumnya. Kami memutuskan untuk meneruskan satu punggungan karena ilmu itu kami dapat dari pendidikan Gunung Hutan yang belum lama kami lakukan.
Diawal perjalanan belum jauh dari kamp kami, masih terlihat jalan setapak. Namun setelah berjalan jauh, ternyata tidak ada trek pendakian di sana. Kami pun harus menebas semak untuk membuka jalur. Sampai salah satu dari kami bilang, “Wisata rasa GH (red. Pendidikan Gunung Hutan) nih namanya kalau nebas gini.” Maklum saat pendidikan GH, kami memang diajarkan untuk membuka dan menebas jalur. Karena pendidikan GH jalur pendakiannya kami yang menentukan, jadi kalau tidak ada jalur kami lah yang merintis jalur.
Kami bergantian menebas semak demi semak, perdu demi perdu, hingga kami semua kelelahan dan akhirnya lebih sering berhenti daripada berjalan. Kami berjalan kurang lebih sudah 4 jam, namun belum ada tanda-tanda kami telah dekat dengan Suryakencana. Padahal menurut warga di Desa Galudra, perjalanan ke Gunung Gede bisa ditempuh hanya dengan waktu paling lama 6 jam dari batas vegetasi. Tapi kami sudah dua hari di hutan dan belum sampai juga di tujuan. Ada yang salah nampaknya dengan jalur yang kami ambil ini.
Cuaca tampak mendung dan kabut mulai turun. Bersamaan dengan itu kami melihat sebuah tempat landai yang bisa dijadikan tempat kamp kedua kami. Seperti biasa Ojan mengeluarkan celetukan lagi, “Udahlah nge-kamp aja di sini!” Dengan memasang mimik wajahnya yang lelah setelah melakukan perjalanan sambil berpuasa. Celetukannya pun kami sambut sepakat.
Rachman dan Ayati bertugas mencari kayu. Aku dan Ojan mendirikan dome serta memasang flysheet. Andhary membereskan perkap di dalam dome. Dan lagi-lagi seperti biasa, Ojan yang memasak untuk santapan berbuka dengan di-asisteni oleh Sumi (sapaan Andhary). Aku membuat api, malam itu angin cukup kencang, tidak butuh waktu lama untuk menyalakan api.
Waktu berbuka datang, kami menyantap tempe goreng buatan Chef Ojan. Apapun jadi enak kalau kita lagi di gunung. Tak lama kami berbincang di depan api, kami pun masuk ke tenda untuk bergegas tidur. Letak kamp yang tidak begitu luas, membuat kami tidak bisa berlama-lama di depan api. Dan tidak boleh lupa kami pun belum sampe tujuan utama kami. Suryakencana mungkin sudah menunggu kedatangan kami.
****
Masih dengan suasana Ramadhan di hutan, aku yang bangun lebih dulu untuk sahur lalu kubangunkan Ayati, ia yang memasak makanan sahur kali ini. Menu sahurnya nasi goreng, cukup aneh sahur dengan nasi goreng. Kalau kata orang-orang, nasi goreng bikin haus disiang hari nanti. Tapi yasudahlah, berdoa saja biar puasanya ngga batal. Santapan sahur ditutup dengan sebatang rokok sebagai pencuci mulut. Tak ada sikat gigi, sebat pun jadi.
Kami melanjutkan perjalanan pada pukul 09.30, lebih cepat setengah jam dari hari sebelumnya. Masih dengan harapan yang sama, bertemu Suryakencana. Diawali dengan berdoa dan mengeluarkan sebilah golok sebagai persiapan untuk membuka jalur.
Semakin lama, jalur semakin tertutup dan bergelimangan pohon tumbang. Kami harus berjalan pelan bahkan merangkak.
Semangat kami pun membuahkan hasil, kami menemukan puncakan dimana letaknya sudah dekat dengan Suryakencana jika dilihat pada peta. Di puncakan tersebut ada jalan setapak. Kami berjalan ke arah selatan menelusuri jalan setapak tersebut. Akhirnya kami keluar dari hutan dan kami tiba di Suryakencana. Kaki yang mulai malas melangkah berubah menjadi senyum gembira. Meskipun kami sempat tercengang ketika melihat tulisan “Perhatian Jalur Terlarang” pada plang yang berada di jalur keluar kami. Tapi tak kami hiraukan, usaha kami terbayarkan setelah berhasil menginjakkan kaki di lahan seluas 50ha yang terletak pada ketinggian sekitar 2700mdpl itu.

Suryakencana adalah lokasi kamp ketiga kami, lokasi ternyaman dan terluas selama kami berkemah di kawasan Gunung Gede. Tidak ada pendaki lain ketika kami sampai di sana, lagi-lagi serasa milik sendiri.
Edelweiss menggodaku untuk dibawa pulang, sayangnya aku tak tergoda.
Lokasi kamp kami dekat dengan mata air, cukup jauh dari lokasi gerbang keluar kami dari hutan. Sekitar pukul 13.00 tenda dome kami sudah berdiri kokoh. Kami jadi memiliki banyak waktu luang untuk menikmati indahnya surga dunia ini. Tak jauh dari lokasi kamp ada air terjun mini serta “kolam renang” alami. Aku dan Wage bergegas mandi, kapan lagi bisa mandi di tempat umum seperti ini. Airnya dingin meski cuaca tak sedingin itu. Setelah mandi, aku berjemur beralaskan matras menghadap matahari yang perlahan mulai terlihat dari arah barat.
Gunung serasa pantai, itulah yang terpikir olehku. Perlahan matahari mulai terbenam, kami bersiap untuk berbuka dengan puding yang sudah dibuat Ojan. Malam itu kami tanpa api, tapi bukan berarti kami tidak bisa berbincang. Justru malam ini, malam yang aku tunggu kecerahannya. Keinginanku untuk melihat bintang-bintang bersinar dalam kegelapan. Cuaca malam itu pun sangat mendukung. Meskipun tidak bisa melihat Milky Way, namun bintang serta terbitnya bulan cukup membuat malam itu cerah. Aku bersyukur atas pemandangan yang indah seperti itu. Rasanya ingin berlama-lama di Suryakencana kalau setiap hari sky full of stars seperti ini. Momen tersebut sempat aku abadikan dengan kamera SLR yang Ayati bawa dari Bandung. Sekalian menambah pengalamanku dalam bidang fotografi.
Tanpa api bukan berarti tidak bisa menghangatkan diri. Keakraban justru yang menghangatkan kami. Kali ini kami kumpul di depan dome di bawah flysheet untuk memulai pembicaraan malam itu. Apa saja kami ceritakan. Mulai dari tentang sekre, hingga pengalaman pribadi kami.
Malam ini malam yang paling dingin dari malam-malam sebelumnya, karena lokasi kamp kami cukup terbuka. Angin berembus kencang dan tenda kamipun mulai berembun. Rencana kami untuk besok, setelah sahur kami langsung summit attack ke puncak Gede.

****
Embun pagi sudah membasahi kamp kami, cuaca dingin masih menyambut santap sahur kami. Tidak melanjutkan tidur setelah sahur, kami langsung packing dengan perlengkapan secukupnya menuju summit attack.
Kami tepat waktu tiba di puncak Gede, sempat melihat matahari terbit dari arah timur. Tidak terlihat begitu jelas, sebab puncak Gede mengarah ke arah utara, sehingga terhalang oleh pepohonan. Gunung Pangrango terlihat jelas dari puncak Gede. Niatnya kami mau kesana hari itu juga, namun karena ada suatu hal kami tidak jadi kesana. Dari puncak kami melihat tenda kami, dan hanya satu-satunya tenda yang berdiri di Suryakencana.
Perjalanan ini merupakan momen yang paling menggembirakan bagiku. Tepat di-usiaku yang ke-20 aku merayakannya di puncak Gunung Gede bersama keluarga baruku.

Setelah berlama-lama kami menikmati pemandangan di puncak dengan ditemani angin kencang, kami kembali ke lokasi kamp. Kami memutuskan untuk pulang hari itu juga.
Jalur pulang kami berbeda dengan jalur berangkat. Hanya berbeda punggungan saja, namun jalur pulang ini sudah ada jalurnya. Kami tinggal mengikuti jalur itu saja sambil berharap turun di desa yang sama dengan kami berangkat.
Jalur ini cukup curam, sehingga kami harus berhati-hati untuk melangkah. Kami telusuri terus jalur yang sudah ada, hingga akhirnya kami menemukan sungai yang dekat dengan lokasi kamp pertama kami. Benar saja, tak jauh dari sungai tersebut ada lokasi kamp pertama kami. Andai saja dari awal kami turun ke lembahan lalu pindah punggungan, mungkin kami tidak akan dua hari di dalam hutan. Mungkin kami bisa lebih lama di Suryakencana, mungkin kami bisa mencapai ke puncak Pangrango bahkan Lembah Mandalawangi. Tapi semua hanya kemungkinan, sekarang semua sudah terlanjur. Untuk pelajaran saja, selanjutnya kalau ingin ke Gunung Gede lewat jalur ini, begitu menemukan pertigaan ke arah kanan yang turun ke lembahan (sungai), ikuti saja jalurnya, jangan meneruskan melewati punggungan yang sama.
Akhirnya kami tiba di rumah Pak Ahmad lagi dengan wajah lelah, serta Sumi dengan kaki keseleonya. Tak lama kami dibukakan pintu oleh istri Pak Ahmad. Kedatangan kami pun disambut dengan ramah oleh beliau.
Di sini letak keramahan selanjutnya. Kami yang datang dengan motor kotor, ketika pulang, malah mendapati motor kami bersih mengkilap karena sudah dicuci oleh anak Pak Ahmad. Sungguh baik keluarga ini. Kami sudah diperbolehkan menitip motor bahkan menerima kembali motor dalam keadaan bersih. Kami pun ditawari untuk menginap sehari lagi di rumah beliau, namun karena ada urusan yang tidak bisa kami tinggalkan, kami akhirnya langsung pulang hari itu juga.
Pak Ahmad merupakan salah satu orang yang cukup terpandang di desanya. Menurut seorang warga sana, beliau adalah salah satu bos di desa itu. Entah bos yang dimaksud itu seperti apa. Mungkin karena beliau memiliki lahan kebun yang luas. Aku tidak tahu pasti tentang itu. Yang pasti keramahan serta kebaikan beliau sangat membantu kami untuk melakukan pendakian ini.
Terima kasih kepada Pak Didin dan Pak Ahmad atas kebaikan kalian. Kami tidak bisa membalas dengan materi. Mungkin lain kali kami akan berkunjung kembali untuk sekedar bersilaturahmi.

Terima kasih Indonesia telah menciptakan lingkungan yang ramah buatku. Ini Indonesiaku, negeri yang terkenal akan keramahannya.
Salam Lestari!
Tulisan oleh Luthfi Wiggi (AM-001-Duri Samsara)
Foto Dokumentasi Astacala