Belajar dari Guru Seko
Guru Seko adalah sosok yang tidak bisa lepas dari peningkatan kualitas pendidikan di Dusun Baku, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima. Seko berasal dari nama Asikin yang dalam budaya masyarakat Bima adalah sebuah panggilan khusus untuk orang yang mereka hormati (nama Catur bisa dipanggil Ceto-red). Berawal dari hobi beliau yang suka berburu rusa, pada 1992 perjalanan membawa beliau sampai pada sebuah perkampungan terisolasi di tengah pegunungan di Kecamatan Lambu, Kampung Baku namanya. Perkampungan itu ada karena masyarakat di desa terdekat yaitu Desa Sumi bercocok tanam di kampung itu dan tinggal sementara di sana, setelah beberapa tahun kemudian Kampung Baku semakin ramai karena semakin banyak penduduk yang tinggal tak hanya saat musim tanam, sehingga anak-anak juga ikut tinggal disana.
Pada 1992, di saat penduduk setempat masih terus disibukkan mencari makan, di kampung itu belum ada satupun warga yang lulus sekolah dasar, Guru Seko yang menjadi seorang pendatang baru tentu akan sulit untuk mencapai kesepakatan dengan warga. Di sinilah cerdasnya beliau dalam membaca kondisi dan berstrategi, akhirnya beliau mengajak salah satu ketua Rukun Tetangga (RT) yang bernama Abdurrahman. Beliau berdua menggerakkan masyarakat setempat untuk bersama-sama mendirikan sebuah sekolah di Baku. Pak Abdurrahman menjadi gateway antara Guru Seko dan masyarakat setempat. Lobi dan pendekatan dilakukan secara cukup radikal, karena masih banyak yang berpikir bahwa tanpa pendidikan pun masyarakat sudah bisa makan, minum, cari uang, jadi buat apa pendidikan? Ya, konflik adalah saudara kembar dari perubahan atau pendobrakan status quo. Warga Kampung Baku saat itu senyatanya sedang melakukan sebuah pertaruhan. Apakah perubahan (mendirikan sekolah-red) itu menghasilkan pembaruan atau tidak dan atau malah merepotkan orang tua karena anak-anak akan sibuk ke sekolah dan tak lagi membantu di lahan, tetapi bukankah tanpa perubahan tak ada pembaruan, tak ada kemajuan.
Berkat kesabaran dan kegigihan Guru Seko dan Pak Abdurrahman, warga pada akhirnya sepakat untuk membangun sekolah darurat. Situasi kampung begitu riuh, ada yang tengah sibuk mencari kayu, ada yang tengah sibuk mencari ilalang, para ibu-ibu sibuk menyiapkan makan dan minum untuk bapak-bapak yang bekerja. Beberapa hari berselang, terbangunlah sebuah sekolah darurat dari kayu, beralas tanah, kursi berkayu, beratap ilalang, hasil gotong royong warga. Terkait administrasi, beliau menyampaikan adanya sekolah darurat kepada pihak Dinas Pendidikan di tingkat kecamatan dan menetapkannya sebagai kelas jauh SDN Sumi.
Sekolah sudah ada, tapi siapa muridnya? Untuk mengawalinya Guru Seko mengajak beberapa anak muda berusia sekitar tiga belas tahun untuk masuk sebuah sekolah tak formal tersebut, dengan bantuan bapak Abdurrahman yang cukup berpengaruh disana. Terkumpullah sekitar sepuluh murid yang setiap harinya diajar oleh beliau dengan sukarela. Peralatan sekolah seperti pensil, buku, kapur, dan papan dibeli dari uang hasil menabung warga. Ya! Warga sedikit demi sedikit menabung, mengumpulkan uang untuk membeli perlengkapan sekolah yang nantinya akan dibelanjakan oleh beliau saat pulang ke Sape. Menjaga semangat murid yang sudah besar untuk mau bersekolah, mengenal abjad, duduk manis di kursi sekolah bukan hal yang mudah. Tak jarang beliau menjemput satu per satu muridnya di rumah atau kebun. Saat musim tanam atau panen tiba, beliau sudah berpasrah jika di sekolah hanya ada suara jangkrik karena anak-anak sibuk membantu orang tua. Tapi karena di masa awal-awal pendirian sekolah, beliau tidak terlalu memaksakan kondisi dengan mengharuskan tetap hadir.
Tidak puas sampai di situ, beliau terus mengusahakan yang terbaik untuk sekolah tersebut agar bisa berdiri sendiri, memiliki gedung sendiri, mengurus administrasi sendiri. Dengan begitu dinas akan mendukung ketersediaan guru dan ujungnya murid semakin banyak karena para orang tua di Baku tidak perlu lagi menyekolahkan anak mereka di Sumi yang jarak tempuhnya sekitar 25 km. Berkali-kali menempuh jarak antara Sape-Bima untuk mengurus administrasi, akhirnya niat mulia beliau terwujud juga. Pada 1995, berdirilah Sekolah Dasar Negeri Instruksi Presiden Baku (SDN Inpres Baku) dan dibangunlah tiga ruang kelas. Beliau juga mengajak istrinya yang juga seorang guru SD (Bu Naha) dan salah satu warga tetangga desa beliau yang baru saja lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) untuk turut mengajar disana-Pak Junaidin namanya-beliau tidak pernah pindah mengajar dan masih terus setia mengabdi di sini. Di awal ajaran baru mulai ditertibkan administrasi dengan penerimaan siswa baru. Karena jarak yang jauh beliau bertiga membuat sebuah pondok untuk tinggal sembari bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika musim panen atau buah, sebagai penghargaan kepada guru-guru yang rela meninggalkan kenyamanan di rumah, warga sering memberikan sesuatu, entah itu buah, padi, bawang, ataupun jagung.
Kondisi Kampung Baku berangsur membaik pasca ditetapkan sebagai daerah transmigrasi pada 2005 dan berubah menjadi Dusun Baku, jam belajar menjadi lebih tertib, murid semakin banyak, beberapa prestasi juga berhasil diraih. Empat belas tahun kemudian beliau dipindahkan ke sekolah di bawah untuk posisi yang sama-kepala sekolah. Tetapi karena kepala SDN Inpres Baku meninggal pada 2010 dan tidak ada yang berkenan menjadi kepala sekolah karena masalah jalan dan kondisi di sana, akhirnya Guru Seko kembali dipanggil untuk menjadi kepala sekolah disana.
Hari ini, 23 tahun sudah sekolah itu berdiri, memberikan jejak terbaik untuk murid, guru, dan masyarakat setempat. Murid yang dulu diajar, sekarang telah banyak yang menjadi rekan kerja sebagai guru, beberapa sudah ada yang berhasil dengan bertani, merantau ke luar pulau, ataupun pergi ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja, dan tentu saja banyak yang telah berhasil memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Pendidikan menjadi salah satu sarana terbesarnya. Sekolah yang awalnya dari bambu telah dibangun secara permanen. Untuk kebutuhan guru yang jauh dibuatkanlah rumah dinas. Demi menambah minat baca telah dibangunkan sebuah perpustakaan.
Pada Mei 2015 lalu Guru Seko, sang pembuka jalan perbaikan pendidikan di Baku secara de jure telah berhasil menyelesaikan masa baktinya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Saatnya orang lain yang akan melanjutkan estafet peningkatan pendidikan di Baku. Kepedulian, kesabaran, kegigihan, optimisme, kecerdasan membaca kondisi dan berstrategi, kelihaian menjalin hubungan baik dengan warga ataupun pejabat, keberanian melakukan perubahan, mendobrak kebiasaan, dan melakukan sesuatu berdasar minat menjadi hal yang saya pelajari dari beliau. Alea Jacta Est!
Catatan: Dibuat Mei 2015
Tulisan dan foto oleh Muhammad Catur Saifudin (A – 109 – LH)
tanggal bikin tulisan kapan Catur?