Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa

Sumpah pemuda terlahir di detik-detik akhir Kongres Pemuda II. Mohammad Yamin menyodorkan secarik kertas seraya berbisik kepada Soegondo Djojopoespito-Ketua dari Kongres tersebut-Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
“Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie. (Saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes)”
Kertas tersebut diparaf oleh Soegondo dan beberapa anggota lain sebagai tanda setuju. Akhirnya sumpah pemuda dibacakan oleh Soegondo dan diikuti semua peserta.
Sumpah Pemuda
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia
Jakarta, 28 Oktober 1928
Selain sumpah pemuda, pada kongres ini juga telah disepakati lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W. R. Supratman. Lagu Indonesia Raya pun dikumandangkan oleh W. R. Supratman dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan merdeka tidak jelas diperdengarkan. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pembubaran kongres ataupun penangkapan peserta karena kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda.
****
87 tahun berselang dari peristiwa bersejarah yang digagas oleh para pemuda Indonesia. Pemuda yang berhasil menyatukan semangatnya untuk meraih kemerdekaan. Mulai dari pergerakan Perhimpunan Indonesia di Belanda dengan majalahnya ‘Indonesia Merdeka’. Juga munculnya perhimpunan dan partai politik di Indonesia. Hingga diadakannya Kongres Pemuda I pada tahun 1926 dan Kongres Pemuda II pada tahun 1928.
Kongres pemuda dan keputusan-keputusannya yang dianggap remeh oleh Van Der Plaas-seorang pejabat kolonial untuk urusan negara jajahan. Van Der Plaas menertawakan diangkatnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Mengingat bahwa sebagian besar pembicara dalam kongres justru menggunakan Bahasa Belanda dan bahasa daerah. Tapi sejarah telah membuktikan bahwa perkiraan Van Der Plaas salah. Kongres itu justru mencetuskan persatuan nasional bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Meskipun Indonesia telah menikmati kemerdekaan selama puluhan tahun, semangat pemuda tak lantas padam. Belasan tahun lalu misalnya, mahasiswa bersatu dan menciptakan reformasi. Api masih menyala. Pemuda-pemuda Indonesia menunjukan rasa cintanya pada tanah air dengan cara yang sedikit berbeda dewasa ini. Menjelajah tiap-tiap jengkal negeri ini. Menunjukkan keindahan alam dan eksotisme sebagai bentuk kampanye bahwa Indonesia adalah negeri yang indah. Layak dicinta dan patut dijaga. Sesuatu yang indah memang mudah memikat hati. Lebih dalam bisa menumbuhkan rasa cinta pada tiap-tiap insan. Dan beginilah Indonesia, sangat dicintai para pemudanya. Keinginan untuk memajukan negeri rasanya dimiliki hampir seluruh pemuda.
Negeri ini beruntung memiliki pemuda-pemuda yang kritis. Pemuda yang peduli terhadap apa-apa saja yang sedang dihadapi negerinya. Pemuda yang mau mengawal dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah agar negeri ini tidak melenceng. Atau bisa juga agar pemimpin tidak salah menafsirkan arti kekuasaan. Lebih jauh untuk memberantas kejahatan, ketidak adilan dan keserakahan. Mengidamkan kemerdekaan dari penjajahan yang tak kasatmata.
Pemuda memang dekat sekali dengan kemauan yang keras, semangat yang berapi-api, bahkan terkadang pemberontak. Sering juga dieratkan dengan kesan gegabah, setengah matang atau tanpa perhitungan. Tapi ini bukanlah sesuatu yang benar-benar buruk, justru menjadikan pijakan awal untuk berperan terhadap negeri. Mulai dari mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah di media sosial. Menerbitkan berbagai macam petisi yang nantinya akan dikirim ke pemerintahan. Menggelar aksi demonstrasi. Atau aksi-aksi teatrikal agar keinginannya terlihat oleh pemerintah. Bahkan, beberapa pemuda melangkah lebih jauh lagi dari itu. Mengembangkan industri kreatif di berbagai bidang sebagai bentuk dukungan kepada pemerintahan. Menciptakan teknologi mutakhir yang harapannya bisa dikembangkan di tanah air.
Tapi, segala sesuatu memang ditakdirkan untuk berpasangan. Jika ada hal-hal baik, ada juga hal-hal buruk. Beberapa di antara kita, masih ada yang salah memaknai tentang isi dari sumpah pemuda. Di antara banyaknya pemuda yang mengkampanyekan tentang menjaga kelestarian lingkungan, ada yang justru terang-terangan merusaknya dengan dalih cinta tanah air. Memamerkan berbagai keindahan tapi lupa mengingatkan untuk menjaganya. Ada juga yang mengabadikan selogan-selogan nasionalis tapi menyisakan bekas yang justru mencoreng nama baik negerinya sendiri.
Banyak pemuda mendadak menjadi kritis dalam hal politik. Menyampaikan argumen panjang lebar layaknya politisi handal. Membagikan perspektifnya terhadap suatu masalah dengan menyertakan berita yang kadang belum jelas kebenarannya. Parahnya ada segelincir yang menyertakan kata-kata umpatan sebagai bentuk ketidak puasan kepada pemimpin-pemimpin dalam negeri. Tidak jarang juga para pemuda mengadakan aksi demo atau aksi teatrikal melawan kebijakan pemerintah. Tindakan yang kadang justru menambahkan masalah dalam negeri.
Melebarnya kasus kabut asap misalnya, sekian banyak pemuda tergerak. Membuat propaganda untuk membantu para korban. Menyalahkan siapapun yang diduga menjadi dalang kebakaran hutan. Pemerintah dianggap lamban, tidak berperikemanusiaan karena seolah tak mempedulikan nasib para korban. Beberapa justru mengajak untuk mengeksekusi pelaku pembakar hutan. Atau saat pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pencabutan subsidi BBM yang akan diubah menjadi subsidi pembangunan infrastruktur. Pemuda begitu kontra dengan kebijakan ini. Dilatar belakangi hal mulia seperti kesejahteraan rakyat kecil, namun caranya condong menuduh.
Pemuda yang pernah menyuarakan tentang BBM, kesejahteraan rakyat, kebersihan udara dan kabut asap, kemacetan dan banjir justru terkadang mengambil tindakan yang bertolak belakang. Juga lupa mengkonversi apa-apa yang disuarakan menjadi tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemuda masih terjebak dalam maraknya hedonisme dan kecanduan terhadap media sosial yang bisa menutup mata pemuda akan kesejahteraan rakyat yang diidamkan. Mengkambing hitamkan pemerintah perihal kemacetan dan BBM. Tapi masih sedikit yang bersedia menggunakan transportasi umum. Masih banyak yang nyaman mengendarai motor dan mobilnya masing-masing. Bahkan hanya untuk menempuh jarak puluhan meterpun harus menggunakan kendaraan bermotor. Kabut asap dan udara yang kotor, pemuda banyak ambil suara. Menunjukan kepedulian yang sangat tinggi akan kualitas udara dan pengaruhnya bagi pernafasan. Padahal, kadang para pemuda lupa bahwa rokok yang mereka hisap di hadapan orang banyak juga bisa menimbulkan penyakit pernafasan. Bahkan lupa emisi yang dihasilkan dari knalpot-knalpot kendaraannya yang bersatu dengan kendaraan lain juga mengurangi kebersihan udara. Atau asap-asap hasil dari ban-ban yang dibakar sebagai bentuk protes di tengah jalan. Selain itu, aksi yang seperti ini juga menimbulkan kemacetan. Bentuk protes yang justru menyebarkan dampak dari isi protes itu sendiri. Mencari-cari kesalahan pemerintah dalam penanganan banjir yang puluhan tahun belum menemukan jalan keluar. Padahal masih banyak pemuda yang belum bisa disiplin dalam membuang sampah. Juga tidak begitu peduli dengan keberadaan pohon maupun hutan. Kepedulian muncul hanya sesaat ketika masalah itu datang.
Apa yang kita lakukan cenderung melenceng dari nilai sumpah pemuda yang menjunjung persatuan. Mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai melenceng memang perlu dilakukan. Tapi bukan berarti para pemuda harus selamanya bersebrangan dengan pemerintah. Kritisi juga tidak berarti menjatuhkan atau mengumpat, karena sejatinya kritik bersifat membangun. Usahlah berlebihan hingga terkesan mencaci. Sadarkah bahwa hal-hal itu justru dapat menimbulkan perpecahan? Bukankah sejak berseragam putih merah dulu kita dikenalkan dengan pepatah ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’? Sah-sah saja mengkritisi pemerintah, tapi kita juga harus mendukung kinerja pemerintah dengan tindakan yang nyata. Karena pemuda memiliki potensi yang besar untuk melakukan perubahan. Bukankah pemuda merupakan agen perubahan? Sudahkah pemuda-pemuda menyiapkan generasi perubahan?
Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh. – Robert F. Kennedy
Tulisan oleh Fitra Ariffanto (A – 108 – LH)
Foto Dokumentasi Astacala
Sumber Sumpah Pemuda, Sejarah, Tokoh
colek perokok aktif sekre.
“Padahal, kadang para pemuda lupa bahwa rokok yang mereka hisap di hadapan orang banyak juga bisa menimbulkan penyakit pernafasan”