Perjalanan ke Moncong Lojong, Tapi …
Siang itu ku duduk di balai bambu depan sebuah warung yang biasa ku sebut warung “Kawat” handphone-ku berdering, ternyata pesan jejaring sosial Whatsapp dari Oca (A – 094 – LP) salah satu anggota Astacala.
“Yung, sibuk ga? Kalau ga ke Kedai Pojok Adiyaksa buat ROP” isi pesan yang ku terima.
Jauh hari sebelum aku menerima pesan dari Oca, kami sudah merencanakan sebuah perjalanan ke sebuah tempat di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan tepatnya Gn. Moncong Lojong. Aku pun menunggangi kuda besi yang sehari-hari ku gunakan di Kota Makassar menuju Kedai Kopi yang ku tuliskan tadi. Sambil membaca ROP yang telah Oca susun, kami menceritakan hal-hal lucu yang pernah kami dapatkan di Sekretariat Astacala.
“Eh Yung, ajak Ikhlas dan Lanang coba?” Dua orang yang juga anggota Astacala, Lanang (AM – 012 – LH) dan Ikhlas (AM – 015 – CA). Ternyata yang termakan rayuan hanya Lanang.
***
Aku, Oca dan dua rekannya yakni Neru dan Dian membeli logistik dan mengemasnya bersama perlengkapan yang sudah tercantum dalam ROP di rumah Neru, kecuali Lanang yang masih sibuk dengan profesi yang kini digelutinya. Setelah segala keperluan tersusun rapi di dalam ransel, aku dan Oca kembali ke kediaman masing-masing untuk berbuka puasa terlebih dahulu. 19.30 WITA, kami pun berkumpul kembali di rumah Neru dan langsung berangkat menuju kediaman Lanang. Kelima anggota tim telah berkumpul dan berangkat pukul 20.30 WITA. Dengan tiga buah sepeda motor yang sudah siap untuk menempuh perjalanan.
“Selamat Datang di Kabupaten Bantaeng, Selamat Menikmati Keindahan Bantaeng” tulisan pada gapura yang hendak ku lewati, seakan menegaskan keindahan daerah ini. Bantaeng atau dikenal dengan sebutan ‘Butta Toa’ yang artinya Tanah Tua. Daerah yang rapih nan bersih, dimana jalan utama berbatasan langsung dengan pegunungan dan pantai. Sangat memanjakan mata.
Tujuan pertama kami adalah rumah Ari (rekan Oca) tempat dimana kami menumpang untuk istirahat dan makan sahur. Kami pun disambut ramah, disajikan beberapa makanan khas daerah Bantaeng. Sempat kami berbagi cerita hingga satu persatu anggota tim izin untuk beristirahat karena kelelahan. Jam dinding menunjukkan pukul 03.45 WITA, kami diajak menyantap makanan yang telah disajikan Ari sebagai santapan sahur. Lalu kembali bercengkrama satu sama lain dan kembali beristirahat untuk memulihkan kondisi.
Sang mentari telah terbit di ufuk timur, aku masih terlelap. Aku memang agak sulit untuk meninggalkan nikmatnya dunia mimpi. Pukul 07.30 WITA aku baru memberi salam pada sang mentari. Aku dan tim bergegas menyiapkan diri dan segala kebutuhan untuk melanjutkan perjalanan. Memanaskan mesin sepeda motor dan kami pun berangkat. Kami sempat mengalami kesulitan dalam perjalanan menuju ke tempat tersebut. Tapi dengan menggunakan petunjuk Ari sebelumnya, ditambah dengan arahan warga sekitar, tibalah kami di Desa Lanying, Kecamatan Loka, Kabupaten Bantaeng. Aku bernavigasi untuk menentukan titik start kami di peta, sementara Oca dan Lanang menanyakan tempat dimana kami bisa menitipkan motor. Kami diarahkan ke rumah bapak kepala dusun, namun beliau sedang berada di kebunnya. Kami juga kedatangan seorang polisi hutan yang sedang patroli. Beliau mengizinkan kami dan meminta foto untuk laporan.
Langkah kami dimulai. Kami berjalan menuju pintu masuk hutan yang diarahkan oleh bapak polisi hutan tadi. Tak lama berjalan, kami menemukan Pos 1. Dipisahkan jarak yang cukup jauh, kami pun mencapai Pos 2. Menurut informasi, Gn. Moncong Lojong ini dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan Pos 7. Jarak antar pos yang cukup jauh membuat kami memutuskan untuk mencari jalur alternatif yang lebih dekat. Pergerakan tim semakin melambat karena teriknya sinar matahari yang menguapkan nutrisi dalam tubuh. Walaupun sebenarnya tubuh yang berpuasa ini tak memiliki banyak asupan nutrisi.
Akhirnya target menyambangi puncak Moncong Lojong tak tercapai. Kemudian kami mencari tempat yang lapang agar kami bisa beristirahat dengan aman dan nyaman malam itu. Membangun camp, mencari kayu bakar dan menyajikan hidangan berbuka puasa telah dilaksanakan. Hingga Matahari terbenam kami pun menyantap hidangan berbuka puasa. Setelah berbuka puasa dan melaksanakan sholat (bagi yang melaksanakan), kami berbagi tawa di depan api yang menerangi rimba malam itu. Ah, nasib menjadi yang paling muda, selalu menjadi bahan lelucon.
Matahari kembali menghangatkan bumi dan aku kembali menjadi jawara dunia mimpi. Aku terbangun dan bergegas merapihkan perlengkapan dan mengemasnya kembali dalam ransel. Kemudian kami berdiskusi menentukan jalur untuk kembali ke Desa Lanying. Jalur telah ditentukan, ransel sudah meminta untuk digendong, kami meninggalkan hutan dengan sedikit kecewa karena target tak tercapai. Agak sial, jalur yang kami lalui buntu dan ujungnya dipenuhi semak belukar. Kami pun membersihkan semak belukar tersebut dan membuat jalur baru hingga akhirnya menemukan kembali jalur para Polisi Hutan.
”Sudah tak sanggup saya, Bro” kata yang keluar dari mulut Oca ketika kami tiba di titik awal kami. Oca bermaksud untuk membatalkan puasanya.
“Sabar, kita kan sudah mau pulang” sontak Lanang langsung menjawab.
Pukul 13.00 WITA kami tiba di rumah bapak kepala dusun dan disambut hangat oleh istri beliau. Tak lama kami berbincang, kami pun pamitan dan langsung kembali ke Makassar. Ada sedikit rasa kecewa yang tertinggal disini. “Ah, sudahlah.. Selesai lebaran aku akan kesana lagi!” kata Neru.
Tulisan oleh Atdriansyah A. S. (A – 117 – MG)
Foto Dokumentasi Astacala
Okeh, gak sia-sia ngedokem di vilatelis