Puasa, Dari Bali Hingga Rinjani

Denpasar, 10 Juli 2015. (13:27 WITA)

Saat ini aku lapar sekali, mungkin karena hari ini tidak sahur. Mungkin juga karena seharian ini mondar–mandir mengambil barangku di tempat teman untuk dikemas. Karena sore ini aku bertolak ke rumah dari Denpasar. Ini kali pertama aku menunaikan ibadah puasa jauh dari rumah, rasanya sangat berbeda. Ditambah lagi aku berada di pulau seribu pura. Tidak ada euphoria saat menjalankan puasa, karena semuanya terasa sama saja.

Tidak ada masjid yang membangunkan sahur dan suara adzan hanya terdengar di beberapa tempat. Kita harus berjalan jauh untuk menunaikan Shalat Jum’at. Warung–warung tetap buka dan kita dapat melihat orang sedang menyantap makanan di dalamnya. Tapi itu tak jadi masalah untukku. Untuk berbuka biasanya aku dan kawan mencari warung muslim. Tidak terbilang susah untuk mencari makanan halal disini, namun menjadi sulit ketika sahur. Karena hanya warung muslim yang buka untuk sahur, selebihnya tidak.

Kerinduanku pada rumah makin menjadi. Di sana aku dibangunkan untuk sahur, shalat bersama, buka bersama, mau mencari ta’jil juga banyak. Lama sekali rasanya tidak bertemu dengan kedua orang tua dan ketiga kakakku. Setelah kuliah usai memang aku tidak sempat pulang ke rumah dan langsung terbang menuju Bali dari Bandung. Membuatku merasa sedikit menyesal karena tidak terbang dari Jakarta.

Yang lain juga pada puasa kali ini adalah aku mendaki. Tanggal 2 kemarin aku dan kedua teman geladi ku menyebrang ke Lombok untuk mendaki gunung tertinggi ketiga di Indonesia – Gunung Rinjani. Awalnya aku berfikir “Ah kalau batal tinggal batal aja.” Namun akhirnya kami tetap berpuasa penuh sampai turun dari gunung. Sedikit bangga, walau sempat ingin batal juga.

****

Suka duka kami rasakan ketika berkelana di pulau seribu masjid alias Pulau Lombok. Satu musuh terbesar jika ingin menuju Sembalun, yaitu “calo”. Rasa sesal aku rasakan ketika mengikuti buaian tukang ojek dan tidak mengindahkan data awal yang sudah aku kumpulkan. Menuruti rayuan tukang ojek kami bertiga dibawanya meluncur ke Gunung Sari yang menyebabkan perjalanan ke Sembalun berubah dari yang seharusnya melewati Lombok Timur menjadi melewati Lombok Utara.

Alhasil, uang kami habis untuk mencapai Sembalun. Masih sebal rasanya mengingat kejadian itu. Di Gunung Sari kami diturunkan di sebuah masjid. Di masjid itu kami bertemu empat orang bapak-bapak yang sedang duduk berbincang menunggu sahur. Kami disuguhi kopi dan makanan ringan oleh mereka. Ketika sahur menjelang kami dibangunkan dan diajak oleh seorang bapak yang bernama Badrol ke rumahnya.

Di sana kami layaknya seorang saudara yang datang dari jauh. Sahur kami disuguhi makanan, dibuatkan minuman, sampai diberikan bantal untuk tidur. Beliau dan istrinya Mustakimah asli keturunan Lombok dan mempunyai seorang anak yang masih kecil. Seusai shalat subuh kami kembali terlelap hingga pukul 6.00 WITA kami terjaga dan stand by menunggu engkel, atau angkutan desa disini.

Sesampainya di titik pendakian, waktu menunjukkan pukul 10.00 WITA. Pendakian kami mulai pukul 11.00 WITA, pada hari Jum’at tanggal 3 dari Sembalun. Hari itu kami tidak melaksanakan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Tidak ada masalah yang terjadi dan rasa lapar masih dapat ditahan. Sesuai ekspektasi, jika naik lewat Sembalun bersiap–siaplah untuk diterkam teriknya matahari. Karena vegetasi dominan adalah rumput–rumput sabana. Sampai di pos 2 pukul 16:00 WITA dan kami memutuskan untuk berkemah.

Selama pendakian kami harus terjaga pada pukul 3.00 WITA, karena harus mulai memasak untuk sahur sebelum imsak pada pukul 4:57 WITA. Biasanya usai sahur kami kembali tidur dan bangun lagi pada pukul 7:00 pagi. Dan juga karena jumlah kayu yang sedikit, kami baru mulai membuat api saat kami memasak untuk sahur.

Hari kedua merupakan hari yang paling berat bagiku dan teman–teman. Pasalnya setelah melewati pos 3, jalan berubah menjadi terjal dan mendaki. Siang itu kami dihajar dengan panasnya matahari, debu dan jalan yang menanjak. Pantas saja disebut bukit penyesalan, benar benar iman ku di uji. Ingin sekali rasanya meneguk air yang terus berbunyi tiap kali aku melangkah. Sampai di tanjakan terakhir sudah habis tenaga ku terkuras. Kami sempat memutuskan untuk duduk menunggu buka baru melanjutkan perjalanan. Namun akhrinya kami meneruskan pendakian hingga tiba di Plawangan Sembalun.

Plawangan Sembalun
Plawangan Sembalun

Segeralah kami bersiap untuk buka. Menunya biasa saja, namun rasanya luar biasa. Mungkin karena rasa lapar bercampur lelah, tetapi minum air saja rasanya super sekali. Setelah makan dan beres–beres kami bergegas tidur karena malamnya kami haru bangun untuk mengejar sunrise di Puncak Anjani.

Malam itu kami bangun pukul 00.00 WITA dan dinginnya angin terasa sampai ke tulang. Aku menyalahkan api mencoba menghangatkan suasana sementara kedua temanku memasakkan makan sahur. Usai sahur kami memulai pendakian pukul 2.00 WITA, dengan bantuan headlamp kami menapaki jalan menuju puncak Anjani. Perjalanan terasa ringan tanpa carrier dan dengan perut yang kenyang. Pukul 3.30 WITA kami sudah mencapai di punggungan menuju puncak.

Sebelum imsak tiba, kami menyempatkan diri untuk menyantap roti berisikan susu kental manis dan wafer. Tidak lupa juga meminum banyak air hingga perut terasa kenyang. Saat itu angin mulai bertiup dengan kencang dan terus menambah kecepatannya. Setiap langkah kami terdorong-dorong karena kencangnya angin yang bertiup.

Untuk melihat pun kami kesulitan karena angin yang berhembus membawa pasir dan batu–batu kerikil bersamanya. Entah berapa kerikil sudah masuk kedalam mataku, mulutku dan bajuku. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti sejenak, menunggu hingga badai ini reda. Menunggu dan menunggu, kami menunggu hingga matahari menampakkan dirinya namun angin ini malah makin menjadi.

Kami bertiga memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, karena kami menilai sudah tidak aman lagi untuk melanjutkan perjalanan. Pupus lah kesempatan mencapai puncak. Kami menapaki jalan menuruni puncak sambil melawan angin yang menerbang-nerbangkan pakaian kami. Selain kami banyak juga orang orang yang memutuskan untuk turun sebelum sampai puncak. Sampai pukul 8.00 WITA angin tak kunjung reda. Entah seperti apa angin yang akan menerjang jika kita berada di puncak.

****

Jakarta, 12 Juli 2015. (10:03 WIB)

Kembali dari keterasingan ke bumi berada. Sampailah aku dirumah setelah perjalanan bis – kapal – kereta selama 29 jam yang melelahkan (termasuk menginap di stasiun). Usai membersihkan diri dan membongkar barang bawaan, aku melanjutkan pagi ku dengan menyelesaikan sebuah novel berwarna oranye. Karena tidak bisa tidur akhirnya aku membuka laptopku. Sampai mana kita kemarin? Oh iya, turun dari puncak.

****

Turun dari puncak, kami rebahan sebentar di dalam tenda. Tidur semalam terpotong karena ingin summit attack. Matahari mulai meninggi dan suasana di dalam tenda mulai tidak kondusif. Kami memutuskan untuk packing dan mulai menapaki jalan turun menuju Segara Anak. Kabut tebal menyelimuti jalan turun, aku dan teman teman memutuskan untuk menghentikan perjalanan—menunggu hingga kabut memudar.

Masih di Plawangan Sembalun, seorang wanita Indonesia sedang duduk diatas kursi lipat di sebelah tendanya sambil memakai payung. Dia sedang duduk menunggu porternya mengemas tenda dan barang–barang lainnya. Sebelumnya kami telah berpapasan dengan dua kali; di bukit penyesalan dan di jalan menuju puncak.

“Tadi sampai puncak mas?” tanyanya kepada kami.

“Tidak mbak” jawabku sopan.

“Dari mapala ya?” tanyanya melihatku yang memakai baju lapangan.

“Iya mbak, saya dari Astacala, Universitas Telkom, Bandung”

“Saya juga mapala, tapi angkatan tua. Dari Mapala Siginjai, Unjam.”

Setelah bercakap – cakap cukup lama ternyata Mbak Vive adalah anggota kehormatan Mapala Siginjai lulusan tahun 2007. Aku tidak terlalu mengerti sistemnya, tapi sepertinya anggota biasa menjadi anggota kehormatan ketika mereka lulus. Mbak Vive kebetulan sedang bekerja di Sumbawa, kemudian dia ingin memenuhi impian masa mudanya untuk mendaki Gunung Rinjani yang jauh letaknya dari Jambi. Alhasil disinilah dia sekarang.

Ketika kabut sudah mulai pudar kami pamit mendahului Mbak Vive menuju Segara Anak. Perjalanan menuju Segara Anak dari Plawangan Sembalun memakan waktu kurang lebih empat jam. Sesekali kami berhenti untuk istirahat, dan sesekali kami berhenti untuk solat. Sesampainya di Segara Anak mulutku langsung berdecik kagum melihat panorama yang tersedia di depan mata.

Saat itu langit berawan sehingga udara terasa sangat nyaman dan tidak panas. Sementara Segara Anak diselimuti oleh kabut yang menembunyikan sudutnya seakan membuatnya terbentang luas tak berujung. Airnya tenang dan jernih. Kami bisa melihat sekawanan ikan–ikan kecil berwarna hitam dan merah keemasan berenang menjauh saat kami dekati. Sementara di ujung sebelah barat terlihat Gunung Barujari yang sedang mengepul–ngepulkan asapnya.

Gunung Baru, Segara Anak
Gunung Baru, Segara Anak

Benar–benar sebuah danau yang penuh akan kehidupan. Rasanya damai, tentram dan asri seakan–akan unicorn tinggal disini. Sangat berbeda rasanya dengan track menuju puncak yang berpasir dan berbatu tanpa ada tanda–tanda kehidupan. Rasa lelah berjalan tergantikan oleh perasaan menggebu–gebu ingin menjelajahi keindahan lain di danau ini. Setelah kami menentukan titik camp, langsunglah kami menggelar tenda dan merapihkan logistik. Kemudian seorang pemuda dari tenda sebelah menghampiri kami.

“Mapala ya, Mas?” Tanyanya, lagi lagi baju ku menarik perhatian orang.

“Kenalin saya Jonathan dari Gema Cipta Persada, Univ. Batanghari Jambi”

“Ryan, Mas. Dari Astacala Bandung”

Setelah berbincang – bincang, ternyata rombongan yang ada di sebelah kami adalah rombongan mapala yang baru saja mengikuti lomba susur pantai di Bali. Terdiri dari sebelas orang yang berasal dari daerah yang berbeda–beda. Ada yang dari Jambi, Riau, Mataram, Kendari dan lain–lain. Usai mengikuti lomba susur pantai, mereka semua bertolak ke Mataram atas ajakan tuan rumah. Awalnya mas Jonathan ingin ke Semeru, namun akhirnya terbawa massa mendaki Rinjani.

Lama berbincang–bincang akhirnya kami mohon pamit karena ingin berenang dan mengambil air. Saat menuju titik air kami bertemu lagi dengan Mbak Vive dan rombongan. Olehnya kami diajak menuju air panas yang terjun atau air terjun panas? Berenanglah kami disana.

“Ini baru namanya hidup” fikirku.

Tubuh–tubuh lelah kami, kami rendam di dalam air hangat yang kontras dengan suhu udara yang mulai menurun. Kami bersandar, membersihkan badan sambil mengagumi air terjun yang berwarna kuning kecoklatan bercampur belerang. Kami berenang–renang, menyelam dan melompat dari batu. Hanya ada kami, tiga orang porter dan sekeluarga warga asing yang sudah sering menyapa kami sepanjang jalan.

Aku jatuh hati dengan tempat ini. Kami berada di sebuah lembah dan diapit oleh dua punggungan. Di sebuah sungai dimana air hangat yang mengalir disana. Di sebuah tempat yang berhiaskan batu–batu besar hasil letusan yang beberapa diantaranya ditumbuhi lumut hijau menambah corak keindahan. Kami menghabiskan sore itu sambil berenang, merasakan air mengalir melewati pundak kami di sungainya yang dangkal sambil menunggu matahari terbenam di balik air terjun ini. Sore yang sempurna.

Berendam air hangat
Berendam air hangat

Usai berenang, pukul 5.00 WITA kami berpamitan dengan keluarga bule itu dan bersiap siap untuk buka puasa. Terlintas difikiran untuk kembali ke sini menyelesaikan ‘PR’ yang belum tuntas. Satu, menuju Puncak Anjani. Dua, mencari Goa Susu. Tiga, mencoba jalur Torean. Siapa yang tidak rindu dengan Segara Anak yang penuh kehidupan dan sumber air panasnya yang melegakan.

Keesokan harinya kami dan rombongan mapala beranjak dari Segara Anak menuruni Plawangan Senaru menuju Senaru. Jika Sembalun seperti tanah tak bertuan, jalur Senaru terlihat seperti rumah bagi para hewan. Dari Plawangan sampai pos 3 Senaru jalurnya licin dan terjal. Tetapi setelah pos 3 masuklah kita ke area hutan lebat. Terlindung dari matahari dan kaya akan kayu mati, berbanding terbalik dengan Sembalun yang terik dan miskin kayu.

Di pintu keluar jalur Senaru, tinggal lah seorang nenek yang biasa dipangil Ina. Yang dalam bahasa Indonesia berarti nenek. Di Ina banyak pendaki yang berkumpul. Disana kami bergabung bersama empat orang dari Surabaya setuju untuk mencarter mobil bersama. Kapok dengan transportasi disini yang tidak jelas.

Hari terahkhir kami habiskan di Gili Trawangan tetapi tidak sempat snorkeling karena sampainya kesiangan. Usai solat ashar, kami ditegur oleh warga lokal bernama Zulfikar. Ketika kami menyebutkan kami berasal dari Bandung, datang lah seorang pemuda menghampiri kami. Sayangnya aku lupa namanya, tapi temannya memanggilnya ‘Den’.

Den berasal dari Rancaekek. Dia mengajak kami berbicara Bahasa Sunda, beruntung salah satu temanku fasih berbahasa Sunda. Alhasil kami berhasil mendapat tumpangan sampai Mataram. Den sedang tugas men-DT tower yang ada di Gili Trawangan untuk salah satu perusahaan telekomunikasi. Ternyata tower yang dicari–cari tersembunyi di dalam menara masjid.

Bersama temannya Ryon, kami menyebrang ke Bangsal. Di Bangsal kami dijemput oleh Pak Budi, teman dari Den. Begitulah, kami berenam meluncur dari Gili Trawangan ke Mataram. Perjalanan memakan waktu cukup lama karena jarak yang jauh. Pada akhirnya Pak Budi menawarkan kami diantar sampai Lembar asalkan kami mau mengganti uang bensin. Kami menyanggupi.

Begitulah. Perjalanan kami berakhir dengan dinamikanya dan tanpa membatalkan puasa. Sesampainya di Bali kami menyelesaikan kewajiban Geladi dan bersiap–siap untuk pulang. Sampai akhirnya Gunung Raung meletus dan penerbangan dari dan menuju Bali di tutup. Untungnya aku sudah memesan tiket kereta dari jauh–jauh hari. Jadi aku dapat pulang mendahului teman–teman ku yang masih menunggu kepastian dari maskapai masing–masing.

Tulisan oleh Ryan Aminullah (AM – 006 – AF)

Foto Dokumentasi Astacala

4 thoughts on “Puasa, Dari Bali Hingga Rinjani

  1. Luar biasa, tetep puasa di jalur begitu..
    pasti hausnya menggoda banget ya yan buat batal? hahaha, mantap mantap..

  2. @Bang Boleng : Kalo ada kesempatan, pengen banget nih dapet pelajaran hidup dari suhu sambil naik rinjani. Haha

    @Popos : Apalagi kalo liat bule bang, godaan nya 2 kali lipat. haha

    @Baho : Selalu siap kalo pak ketua memandatkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *