Menyusuri Lorong Terpanjang Indonesia
“Gua merupakan setiap ruangan bawah tanah yang dapat dimasuki manusia” — International Union of Speleologi –
* * *
Sendiri lagi pikirku, suasana yang harus aku biasakan setelah ditinggal wisuda para saudara seangkatanku di Astacala. Saat itu aku menjadi pendamping Pendidikan Lanjut Perjalanan Wajib Divisi Penelusuran Gua Astacala Angkatan Mentari Gunung. Pendidikan yang rutin dilakukan bagi Anggota Muda Astacala yang memilih peminatan divisi ini.
* * *
“Hati – hati ya Coy! Jangan sampe ada friksi”, kataku kepada Septa sebagai rigging man saat itu, “Iya Kak…” jawabnya.
Kalimat nol persen human error yang ditanamkan ketika aku mengikuti materi penelusuran gua di Astacala, membuatku selalu mengingatkan mereka untuk tidak membuat kesalahan, karena kesalahan sedikit saja bisa sangat membahayakan bagi diri sendiri maupun bagi tim.

Hari itu kami menelusuri Gua Luweng Jaran, gua yang cukup familiar namanya di kalangan speleolog.
Gua Luweng Jaran merupakan guaa vertikal dengan kedalaman 40 – 50 meter. Memiliki 2 pitch, dengan lintasan vertikal pitch pertama 15 – 20 meter dan lintasan vertikal pitch kedua 25 – 30 meter. Berada di daerah Pacitan, termasuk dalam kawasan karst jajaran Pegunungan Sewu yang membentang sepanjang pantai selatan Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Tulungagung, Jawa Timur. Gua ini juga dinobatkan menjadi gua terpanjang di Indonesia.
Berbekal data survey bersama Mapala Mahipa Ponorogo, Septa dan Lisna memutuskan mengambil Gua Luweng Jaran sebagai lokasi perjalanan mereka.
Kami memulai penelusuruan sekitar pukul 09:00. Anggota tim yang turun saat itu adalah aku, Ryan, Lisna, dan Septa sebagai rigging man. Sementara yang bertugas sebagai tim base camp hanyalah Samuel seorang, “Sungguh penolong sekali Samuel” kataku dalam hati. Dia bersedia menjadi tim base camp seorang diri. Hehehe…
Dibantu Lisna sebagai second man, terasa cukup lama Septa saat itu membuat lintasan SRT (Single Rope Technique). Dan benar saja, ketika lintasan rampung dibuat, aku melihat ternyata memang cukup sulit melakukan rigging di pitch 1, terutama mengatasi friksi pada tali karena tambatan yang pas untuk deviasi saat itu tidak ada. Untung saat itu kami membawa camp sehingga friksi pada tali dapat kami hindari.
Ketika turun dari lintasan kami disambut oleh sebuah chamber, sebutan bagi lorong bawah tanah yang besar. Tak lama setelah tiba di lorong besar itu, tim dengan cermat melepas dan merapikan peralatan SRT untuk digantung di webbing yang terhubung antara bongkahan dua batu besar.
Hari pertama penelusuran digunakan untuk pemetaan gua, yang saat itu hanya mampu memetakan chamber tempat pertama tim turun.
Sedangkan penelusuran di hari kedua digunakan untuk mengeksplorasi setiap lorong yang ada di gua terpanjang di Indonesia itu.
Tak lama berjalan kami dikejutkan dengan banyaknya ornamen atap gua yang runtuh, mungkin ini yang dibilang Pak Sumadi (pemilik kediaman tempat kami menginap, yang biasa di kunjungi para penelusur gua saat mengunjungi Gua Luweng Jaran) terkait gempa yang baru sebulan lalu mengguncang Pacitan yang menyebabkan banyaknya ornamen atap gua runtuh.

Di chamber pertama terdapat 4 lorong horisontal dan 1 lorong vertikal. Dua di antaranya terhubung menjadi satu lorong yang sama, 1 lorong buntu, dan 1 lorong lagi yang terus memanjang dan bercabang.
Sayang saat penusuran itu kami dibatasi waktu, kami bergegas keluar gua di mana yang bertugas melakukan cleaning di pitch kedua adalah Septa, sedangkan Lisna melakukan cleaning di pitch pertama.
Sangat dianjurkan ketika ingin melakukan penelusuran di Gua Luweng Jaran untuk membawa peralatan berikut.
- Marker jalan karena kondisi lorong yang bercabang dan bertingkat
- Alat pengaman seperti webbing, carrabiner, dan pengaman sisip lainnya sebagai penunjang penelusuran
- Pelampung karena sebagian besar lorong terdapat sungai bawah tanah yang tenang maupun berarus
Tulisan oleh Arnan Tri Arminanto
Foto oleh Tim Pendidikan Lanjut Perjalanan Wajib Mentari Gunung