Makna dari Atap Celebes

Kelakar tawaku menghilang. Suara lantangku melemah, kemudian lenyap dalam lelah. Badanku dipenuhi peluh sejagung-jagung. Langkah-langkah kaki terasa berat melintasi kebun-kebun kopi. Botol minuman yang semula penuh sudah terkuras hampir setengah. Pancaran panas matahari langsung membakar kulit tanpa tersaring rindang pepohonan. Pintu hutan masih tersembunyi di balik bukit besar. Masih terlalu dini untuk kehilangan senyuman yang beberapa jam lalu berseri. Sekali dua duduk, lalu kembali berjalan. Biji-biji kopi berserakan di tanah, yang tua memerah pun yang masih hijau muda. Petani-petani kopi memberikan senyum hangat berjalan diikuti anjingnya.

Memulai Perjalanan

Belum genap dua jam berjalan, sekujur badanku sudah bermandikan keringat. Medan yang amat berat untuk amatiran seperti aku. Muram sekali wajah ini dipenuhi lelah. Tiga temanku yang telah berjalan lebih dulu terlihat berada di titik tertinggi perkebunan, di bawah pohon muda, belum lebat dedaunannya. Air mineral yang sebenarnya biasa saja, begitu segar menyapa kerongkongan. Baru Pos 1, susah payah mencapainya. Lembaran putih bergoreskan garis hitam melingkar rumit, jauh lebih sulit dipahami dari yang sudah-sudah. Tinta merah sedikit memberikan warna pada lembar peta, selelah ini satu senti pun tak sampai di peta.

Terlihat pohon-pohon besar tegak berdiri di pinggiran kebun, menyembunyikan pohon atau apapun yang ada di baliknya. Hutan yang masih sangat terjaga, tanah yang gembur membuatku beberapa kali terperosok ke dalamnya. Aku berjalan menyusuri jalur setapak yang tak seberapa besar. Di sisiku jurang yang tak seberapa dalam, di sisi satu lagi tanah tinggi menjulang ke langit. Aku terdiam sejenak, tanah di hadapanku longsor memutuskan jalur yang sedari tadi aku ikuti. Tapi longsor itu tidak baru terjadi, terlihat dari dua kayu melintang di ujung-ujung jalur yang putus, dieratkan dengan rotan yang sama dengan rotan di pergelangan tanganku. Membentuk sebuah jembatan kecil. Nyaliku sempat menciut melihatnya. Tepat jam makan siang kami tiba di Pos 2. Setelah sebelumnya menyeberangi sungai yang cukup lebar dan deras. Aku langsung menyusul Ocul meletakkan ransel dan meluruskan kaki.

“Sudah, kasih siram kopi saja lalu lanjut lagi” Muko memulai pembicaraan.

“Serius nih nggak makan? Mie lah minimal. Capek banget ini” Bantahku cepat. Soal perut aku memang paling tanggap.

“Ya sudah, makan mie saja” Srigala menengahi sambil membongkar ranselnya.

Makan Siang di Pos 2

* * *

Siang sebelumnya, 13 September 2012, kami tiba di Desa Karangan, setelah melalui perjalanan darat paling ekstrim yang pernah kulalui saat itu. Menumpangi hardtop tua tanpa pintu, besi-besinya tidak lagi berwarna cerah melainkan berlapis karat. Penumpang yang baru pertama kali menumpangi mobil ini pasti ragu akan kemampuannya. Tapi mesin tua ini sangat kuat, bagaimana tidak mobil yang tak seberapa besar itu diisi tiga belas orang. Tidak semuanya berada di dalam mobil, beberapa di atap dan kap depan. Selain belasan orang tadi, mobil juga diisi puluhan kilogram barang, baik hasil bumi maupun kebutuhan sehari-hari warga Desa Karangan. Alas mobil itu diisi beberapa tumpuk karung dan kardus, bahkan ada empat karung pupuk yang harus diikatkan di bemper depan mobil. Terdengar mustahil, tapi begitulah kenyataannya. Hanya mobil ini yang tersedia, pilihannya mempercayai kemampuan mobil tua ini atau mempercayai diri sendiri dengan berjalan kaki selama dua hari. Menunggu mobil lain sangat kecil kemungkinannya, karena transportasi hanya tersedia pada hari pasar, Senin dan Kamis.

Hardtop Tua

Besi dan mesin tua itu berjalan dengan memikul beban ratusan kilogram. Jalur  yang dilewati pun tidak melulu jalan-jalan aspal. Aku, Ocul, dan Bivak menduduki barang-barang di atap mobil. Sementara Bolenk, Muko, dan Srigala di kap depan. Jalan yang berliku membuatku harus menguatkan genggaman tangan pada tambang yang mengikat barang-barang. Sebentar kulonggarkan genggamanku kemudian kueratkan lagi dan begitu seterusnya. Suara mesin mobil tua ditambah jalanan berliku yang sering membuat badanku terlempar membuat detak jantungku semakin cepat ketakutan. Hampir setengah jalan tiba-tiba mobil ini terhenti, tidak di tepi, tapi tepat di tengah-tengah jalan. Apa yang kutakutkan terjadi, mesin tua ini mogok. Kami pun turun hendak singgah di warung kopi beberapa meter di depan kami. Sementara itu Pak Amar, supir yang tampak sudah akrab sekali dengan mobilnya langsung membuka kap mobil.

Asap mengepul dari balik kap, mesin itu melewati ambang batasnya. Radiator terlalu panas, terlihat dari Pak Amar yang melemparkan tangannya ketika menyentuh. Dengan menggunakan kain dia beranikan lagi untuk menyentuh radiator kemudian membuka tutupnya. Dan kejadian mengejutkan terjadi, tekanan uap yang terlalu tinggi menimbulkan pancuran air dengan tinggi hampir tiga meter. Kamipun terpaksa menunggu mobil tua ini dapat berjalan kembali.

Pancuran Air Radiator

Hardtop ini kembali mengeluarkan suaranya yang seolah meronta-ronta, meniti jalur sambil masih memikul beban yang sama belum berkurang barang sekilo. Abu-abu warna aspal jalan semakin pudar digantikan coklat kemerahan warna tanah. Dari atap mobil aku mendengar gemuruh risau para penumpang pun Pak Amar. Nada suaranya meninggi dan bertambah cepat, seketika suasana panik, kata-kata yang terlontar semuanya menggunakan bahasa Makassar. Aku pun terbawa suasana panik sambil sesekali menengok ke dalam mobil, walaupun sebenarnya aku tak paham apa gerangan yang sedang terjadi. Dari rumah kayu, seorang perempuan paruh baya dibopong masuk ke dalam mobil yang sebenarnya sudah sesak. Mobil kembali berjalan tanpa mengurangi kepanikan sedikit pun. Sesekali perempuan itu mengeluarkan muntahan kosong. Kemudian terdengar salah seorang penumpang mengucap tahlil berulang-ulang sepanjang perjalanan. Pak Amar menghentikan laju mobilnya di sebuah rumah yang tak jauh beda dengan rumah sebelumnya. Perempuan tadi yang masih lemas badannya, kembali dibopong keluar mobil. Perempuan itu diturunkan, bukan di rumah sakit tapi di rumah seorang mantri yang memang menjadi andalan warga ketika sakit.

Mobil berhenti, kali ini karena sudah sampai tujuan. Di antara rumah-rumah panggung, di belakang lapangan volli, beberapa warga mulai sibuk membantu menguras isi mobil. Kami tidak langsung memulai pendakian, walaupun sebenarnya kami juga tetap berjalan menanjak menuju sebuah rumah.

Kediaman Tatak Simin yang merupakan kuncen Latimojong memang wajib dikunjungi para pendaki sebelum memulai petualangannya di hutan Latimojong. Seperti beberapa gunung di Jawa yang memiliki pos perizinan, mungkin serupa dengan kediaman Tatak Simin. Penduduk Desa Karangan mayoritas berkebun—demikian juga Tatak Simin. Siang itu beliau tidak ada di rumah, masih sibuk memeras keringat di kebun kopi. Hanya ada istri dan tiga orang anaknya di rumah. Menjelang senja beliau tiba di rumah. Raut mukanya biasa saja memandangi kami, orang asing yang ada di rumahnya. Bukan hal baru baginya mendapati pendaki dalam rumahnya. Satu persatu kami berjabat tangan, obrolan hangat tercipta begitu saja. Kami pun membeberkan rencana perjalanan kami. Tak langsung mengamini, beliau menyarankan menunda perjalanan pagi besok.

Kabut masih lekat menutupi gagahnya punggung-punggung gunung. Udara dingin pegunungan sangat terasa memasuki dari celah-celah dinding rumah yang terbuat dari kayu. Sebuah bakul penuh nasi, dua mangkuk berisikan makanan berjejer di sebelahnya, sepiring tempe goreng disusul piring-piring kosong yang bertumpuk— kami kelilingi bersama Tatak Simin. Sarapan yang sederhana itu menjadi begitu lezat karena kehangatan suasananya. Mangkuk itu berisi parutan kelapa berwarna coklat terang, terdapat beberapa potong dadu di antaranya, mirip serundeng. Aku penasaran akan rasa yang ditawarkan oleh makanan itu. Beberapa potong dadu aku masukkan ke dalam piringku, kemudian bersama mie rebus dan tempe goreng, aku melahapnya. Sama sekali aku tidak menyangka kalau dadu itu juga terbuat dari kelapa. Sesederhana ini, makanan yang hanya berbahan pokok kelapa disulap menjadi sangat nikmat.

Rumah Panggung

Tatak kembali menghampiri kami dengan sebilah golok dan beberapa rotan di tangannya. Jemarinya dengan terampil membelah rotan menjadi bagian yang lebih kecil, kemudian menyerut bagian pinggirnya agar tumpul. Tangan kami satu persatu diulurkan ke hadapannya. Jemarinya kembali beraksi, kali ini melingkari rotan di tangan kami dan memberi sedikit anyaman di pangkalnya. Gelang ini akan selalu beliau berikan kepada siapapun yang baru kali pertama mendaki Latimojong. Beberapa orang mempercayai ini akan menjaga kita dari marabahaya saat di tengah hutan. Bagiku gelang ini lebih mirip karcis masuk Latimojong, sekaligus gelang gratis buah tangan Tatak Simin. Karena aku percaya di manapun aku berpijak selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.

* * *

Dua bungkus mie instan sudah tandas kami santap, juga beberapa gelas kopi. Kembali aku kemasi barang-barangku. Ransel berat itu kembali kugendong, perlahan meninggalkan pos dua. Lelah yang baru saja beranjak beberapa menit lalu, seolah enggan meninggalkan tubuh berusaha menghinggapi badanku. Di depan mataku tersaji jalur dengan kemiringan yang cukup tinggi. Hampir habis semangatku dibuatnya. Beberapa kali mulutku harus rela mencium dengkulku sendiri. Jalur dari Pos 2 menuju Pos 3 memang curam, tanahnya padat bertingkat seperti tangga. Aku melihat Ocul di belakangku yang juga sedang melawan lelah, raut mukanya yang suram ditambah keringat bulat-bulat menggambarkan itu dengan jelas.

“Belum pernah gue nemuin jalur seekstrim ini di Jawa”, tiba-tiba Bolenk buka mulut.

“Ciremai, Gede, Semeru emang nggak ada yang kaya gini?” tanyaku yang sangat minim pengalaman dengan gunung-gunung di Jawa.

“Nggak ada, ini yang paling parah” Bolenk menjawab mantap sambil terengah-engah.

Suasana Pos Pegunungan Latimojong

Bolenk memang orang yang paling sering mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa di antara kami. Aku pun mengangguk mempercayainya. Perjalanan masih terus menanjak walaupun tidak separah jalur tadi. Manakala langit-langit sudah berubah menjadi jingga kami sampai di Pos 5. Di sinilah kami akan bermalam. Tanpa banyak membuang waktu kami sudah disibukkan dengan beragam aktivitas, mendirikan doome, mencari kayu bakar, membongkar logistik. Garis-garis hitam sudah nampak di ujung langit, tenda doome juga sudah berdiri. Bolenk mengajakku mengambil air yang sudah menipis persediannya. Kami memang sengaja tidak membawa air yang banyak untuk mengurangi beban saat melewati jalur tadi. Tanpa ragu akupun menyusulnya yang sudah berjalan lebih dulu sambil membawa dua jerigen kosong.

“Bang, gue tukeran ama Ocul aja ya bikin api sama masak” aku bermaksud pamit.

“Ah, nggak ada udah tanggung gini” jawabnya singkat.

Di tepi lembah itu, nyaliku lari tunggang langgang meninggalkan tuannya. Lembahan itu terlalu curam, sakit yang ditinggalkan dari jalur-jalur sebelumnya yang membuatku kerap tergelincir masih jelas terbayang. Tapi apa daya dia sudah menungguku di bawah sambil menoleh mengawasi gerak-gerikku, mustahil untuk kabur. Belum kering mulutku bicara, aku benar-benar tergelincir. Pantatku jatuh menduduki batu dengan lebar kira-kira tujuh centi. Langkah kaki ini kutiti dengan penuh hati-hati mendekati Bolenk. Belum sampai ke tempatnya berdiri, dia justru sudah berjalan menghampiriku lalu menukar jirigenku dengan miliknya yang sudah penuh, agaknya dia iba melihatku berulang kali terjatuh.

Perjalananku kembali menuju titik camp masih dihiasi dengan kejadian serupa, terpeleset-bangun-melangkah-terpeleset. Dari kejauhan asap sudah terlihat beterbangan, api masih muda di bawah tumpukan kayu-kayu bakar. Langit sudah gelap, kami pun sudah selesai makan malam. Aku, Bolenk, dan Ocul masih enggan melewati malam pertama di Latimojong dengan tertidur, sementara tiga lainnya sudah terlelap dalam balutan sleeping bag. Tak lama kemudian Ocul pun beranjak meninggalkan kami yang masih asyik menghabiskan malam. Rasa lelah yang sedari tadi menghantuiku sudah tak kuhiraukan. Hangatnya api dan segelas kopi susu menemani obrolanku dengan Bolenk.

* * *

Matahari kembali terbit di ufuk timur, hangatnya menembus ke dalam doome. Pendakian kemarin masih menyisakan pegal di sekujur tubuhku. Masih seperti kemarin, Muko dan Srigala berjalan jauh di depan meninggalkan kami, sementara itu kami yang tertinggal tetap berjalan konstan tanpa menambah kecepatan. Aku terlalu lelah untuk mengejar mereka, tertinggal lebih baik ketimbang memaksakan otot-otot kaki yang sedari tadi sudah beberapa kali keram. Belum terlalu sore kami tiba di Pos 7. Kabut tebal kembali mengurangi jarak pandang, menghantarkan hawa dingin juga embun-embun yang terbawa bersamanya. Turun beberapa meter dari Pos 7, kami mendirikan camp, dekat dengan sungai yang lebih mirip genangan air. Hari ini kami lewati begitu saja tanpa ada yang spesial sedikitpun.

Diujung malam yang dinginnya masih menusuk aku bangun, bersiap mengunjungi keindahan atap Celebes : Rante Mario. Sesekali terlihat tikus hutan yang gemuk badannya, bulunya hitam bersih, decitnya nyaring dan masih sangat gesit walau membawa tubuh yang besar bagi seekor tikus. Langkah kaki mulai membawa tubuhku menembus dinginnya malam. Kali ini Bivak dan Muko yang berjalan paling depan disusul kami yang berbaris mengikutinya. Sorot lampu putih yang tak seberapa jauh itu membuatku sulit untuk melihat. Beberapa kali aku merasa puncak sudah sangat dekat tapi semua dugaanku salah. Jalur mulai berubah menjadi berbatu, pohon-pohon pun mulai jarang jaraknya, tidak terlalu besar. Puncak sudah semakin dekat, batinku. Muko menghentikan langkahnya diikuti yang lainnya. Kemudian berdebatlah dia dengan Bivak, dua orang ini sudah pernah mendaki gunung ini sebelumnya. Aku memaki diriku sendiri, merasa kesal sekaligus menyesal karena tidak bernavigasi dan menyerahkan jalur kepada mereka, walaupun sebenarnya memang langit masih gelap sehingga sulit untuk bernavigasi. Kami salah arah dan harus mengulangi langkah kami beberapa meter ke belakang.

Puncak Rante Mario
Puncak Rante Mario

Panjang sekali tiupan nafasku, mengeluarkan asap tipis. Aku berada di titik tertinggi tanah Sulawesi. Langit masih biru, garis-garis jingga masih sangat tipis menunggu terbitnya matahari. Aku hanya duduk lemas sambil menghangatkan air. Tidak ada teriakan, lompatan, bahkan senyuman pun agaknya enggan tersungging di wajahku. Rasa lelah dan udara dingin meredupkan semangatku. Perlahan birunya langit memudar semakin cerah, puncak-puncak lain Pegunungan Latimojong terlihat berbaris kokoh, ditutupi kabut tipis yang seperti ditiup dari lembahnya. Sinar-sinar mentari muncul dari balik awan, jauh kebawah terlihat lautan. Muko dan Bivak sesekali tertawa terbahak-bahak di sela-sela obrolannya, mereka tampak begitu dekat. Kami pun mengabadikan momen itu bersama, di atap Celebes.

Puncak Rante Mario
Puncak Rante Mario

Aku kembali meniti jalur yang aku ingat betul betapa lelahnya kudaki beberapa hari belakangan. Sampai di Pos 4 langit berubah kelabu. Awan cumolonimbus mulai menutupi Pegunungan Latimojong. Rintik hujan mulai turun, perlahan butiran air bertambah besar dan semakin banyak jumlahnya. Hujan semakin deras, aku berada di jalur yang menurutku paling berat kulewati kemarin. Pos 3 menuju Pos 2 dengan jalur tanah bertingkat, ditambah hujan yang semakin menjadi-jadi. Hanya aku, Ocul, dan Bivak yang tertinggal di belakang.

Kakiku berpijak pada sebuah akar yang menyembul dari balik tanah, tidak terlalu besar. Kaki kananku terlempar sementara kaki lainnya masih kokoh berpijak, kemudian terlipat lalu tertindih oleh badanku—aku kembali terpeleset. Berjalan beberapa langkah aku mendengar suara gemuruh. Seperti pohon tumbang tertiup angin kemudian batangnya terbanting ke tanah begitu keras dan dekat. Tapi aku tidak menemukan pohon tumbang itu, aku pun mendekati bibir punggungan penasaran. Ranting dan akar itu terbeban oleh Ocul yang tangannya menggenggam erat. Mulutku terbuka tanpa suara, meskipun jika aku melihat raut mukanya yang panik itu dalam kondisi lain pasti tertawa terbahak-bahak. Kuulurkan tanganku lalu membantunya kembali ke punggungan tempatku berdiri. Tali ranselnya putus, Ocul sama sekali tak menghiraukannya. Ransel itulah yang menyelamatkannya ketika tersangkut di ranting-ranting pohon, sampai akhirnya putus karena tak sanggup menahan beban.

Di ujung jalur dekat Pos 2 terlihat Bolenk yang mulai berjalan naik menyusul. Hujan yang masih deras membuatnya khawatir pada kami yang tak kunjung datang sampai-sampai menyusul. Muko dan Srigala sudah lebih dulu meninggalkan kami. Aku, Ocul, dan Bolenk belum ingin meninggalkan sejuknya Latimojong. Deras air sungai yang mengalir, kabut-kabut yang hilir mudik sepanjang hari tidak ingin kami lewatkan dengan singkat. Melihat persediaan logistik masih cukup, kami memutuskan untuk bermalam. Di cekungan tebing di bibir sungai kami mendirikan doome, menikmati malam terakhir di Latimojong pada perjalanan ini.

Sungai di Pos

Siang itu aku duduk di teras rumah Tatak Simin menunggu sore, sementara Bolenk dan Ocul mandi di sungai dekat rumah. Terekam jelas bagaimana beberapa hari yang lalu, anak-anak berseragam putih biru sedang berjalan menuju desa ini. Satu tangan menggenggam buku berwarna coklat, satu lainnya menenteng sepatu, sebagian lainnya  juga menggendong ransel. Mereka berjalan sambil sesekali tertawa, atau menyeberang jalan seenaknya karena memang tak ada yang melintas. Sama sekali tak tersemat rasa lelah di wajahnya, meskipun sekolahnya masih jauh di balik bukit, masih dua sampai tiga kilo meter dari desa. Anak-anak ini, semangatnya untuk bersekolah jauh lebih tinggi daripada jarak yang harus mereka tempuh sepanjang hari. Lebih membara dari panas matahari yang membakar kulitnya. Lebih kokoh dari tanah yang mereka pijak. Potret negeriku Indonesia yang kaya akan alam, suku, dan bahasa. Di belahan pulau lain dari pusat pemerintahan, masih menyimpan borok berupa pembangunan yang tidak merata, baik pendidikan, kesehatan, maupun transportasinya.

Negeriku yang kaya
Bhinneka Tunggal Ika
Adatmu, bahasamu, sejarahmu, alammu terlalu banyak dan indah
Mereka datang dari seberang laut sana
Seperti benalu, menempel lalu menggerogoti perlahan
Pemimpin-pemimpinmu kini tidak lagi seperti Bapakmu
Yang memimpikan persatuan dan keadilan
Padahal di sudut negeri
Rakyatmu berjuang melawan kemiskinan
Mereka merintih dalam sakitnya
Mereka menggigil dalam tidurnya
Pemimpin-pemimpin negeriku
Pernahkah kaki kalian menginjak tanah yang sama dengan mereka
Atau mengisi nasi yang sama ke dalam perutmu
Berteduh dengan atap yang ditembus cahaya matahari
Negeri ini butuh keadilan
Adakah?

Tulisan oleh Fitra Ariffanto
Foto dari Dokumentasi Astacala

3 thoughts on “Makna dari Atap Celebes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *