Ah, Gunung Ini Terlalu Indah untuk Dinikmati dengan Waktu Dua Hari

Related Articles

Hampir genap satu bulan aku berada di provinsi Nusa Tenggara Barat, kota Mataram lebih tepatnya. Badanku sudah mulai akrab dengan terik matahari kota ini dan suara mercon saat malam, bahkan aku mulai merasa bosan dengan keseharianku yang monoton. Suasana baru, mungkin itu yang aku butuhkan untuk mengembalikan keceriaanku yang sudah menguap belakangan ini. Tambora muncul di pikiranku menggantikan Gunung Agung yang batal kudaki di Bali. Data-data awal pun mulai kukumpulkan dari transportasi hingga karakteristiknya.

Perjalanan pun mulai kupersiapkan bersama dua temanku Dhiky dan Rija, di tengah kesibukan kami menyelesaikan laporan Geladi (Praktik Kerja Lapangan) 2013 kampusku. Waktu persiapan yang singkat mengharuskan kami membagi tugas, Rija menyiapkan logistik, aku dan Dhiky menyiapkan ROP (Rencana Operasional Perjalanan) serta melengkapi logistik. Perjalanan siap dimulai, malam makin larut tapi aku masih harus bergelut dengan laporan Geladi. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 02:30 WITA laporanku baru selesai. Setelah makan sahur mataku sudah tak kuat lagi menahan kantuknya, aku pun tertidur. Waktu terasa cepat berlalu dan aku terbangun lima belas menit sebelum berangkat. Kubangunkan Rija dan Dhiky yang masih tertidur pulas, kami pun bergegas mengganti pakaian agar tidak terlambat dari jadwal keberangkatan.

Jam 06:15 WITA kami memulai perjalanan dari sekretariat mapala setempat, terlambat lima belas menit dari jadwal yang sudah kami buat. Ransel-ransel kami dirikan di bawah pohon pinggir jalan sambil menunggu angkutan umum yang akan membawa kami ke terminal, tak lama angkutan umum yang akrab di sebut bemo di kota ini datang dan kami pun naik mengangkat ransel masing-masing. Namun ternyata nasib baik sedang jauh dariku, tali ranselku putus di bagian kanan membuat pembagian beban tidak merata. Sampai di Terminal Mandalika kami langsung dikerubungi calo-calo yang menawarkan tiket bus dengan menggunakan semua kata-kata manis agar kami membeli tiket lewat mereka, mengalah berarti mengeluarkan uang lebih dari perencanaan, kami pun mengeluarkan segala argumen untuk menolaknya. Tapi nihil, tetap saja kami kalah dari mereka. Perlawanan kami sia-sia.

Dari obrolan dengan teman-teman di Mataram, bus biasanya berangkat sekitar pukul 07:00 WITA. “Lima belas menit lagi berangkat lumayan bisa lanjut tidur,” ucapku dalam hati. Namun sudah setengah jam menunggu bus belum juga berangkat, setelah kutanyakan pada kondektur bus, ternyata bus berangkat pukul 10:00 WITA, nasib baik memang sedang menjauhiku hari ini. Mataku makin sayu, kursi-kursi bus sesekali menggodaku untuk tidur tapi aku tidak mungkin membiarkan ransel-ransel bawaan kami tanpa penjagaan. Tepat di depan kami seketika banyak orang berkumpul, “Ada apaan nih?” tanyaku di sela-sela obrolan kami. Dhiky tersenyum sinis, tanpa kata. Sedangkan Rija seperti biasa hanya mengeluarkan mimik wajah bingungnya, sangat menyebalkan. “Motornya mau diangkut itu” Dhiky menjawab datar seolah dia sudah pernah melihat hal ini, “Yakali motor dinaikin bus” balasku. Belum sempat terjawab kumpulan orang itu sudah mengangkat motor memperlihatkan otot bisepnya yang mengeras. Motor itu benar-benar diangkat, menggantung di belakang bus di lilit tali-tali tambang plastik diikatkan ke rangka yang memang sepertinya memang sengaja dibuat untuk mengangkut motor. Heran, baru kali ini aku menyaksikan yang seperti ini, kejadian langka atau memang aku yang norak.

Keringat berkucuran di wajahku. Bajuku pun lepek di buatnya. Ada apa lagi sekarang? Keluhku, baru sebentar mataku terpejam harus terbangun dalam kondisi seperti ini. Ah sial busnya mogok pikirku, badanku masih enggan beranjak dari kursi itu, kesadaranku mulai terkumpul. Kucermati sekelilingku banyak kios-kios penjaja makanan di pinggiran jalan, kukenakan kaca mataku, tulisan Pelabuhan Kayangan yang semula samar terlihat jelas sekarang. Bodoh, terang saja bus berhenti karena harus menunggu kapal bersandar. Kapal melewati beberapa pulau kecil yang sepi seperti tanpa penghuni, ditopang tebing yang terkikis ombak di sekeliling laut yang masih biru bersih, sangat indah. Hanya sebentar kapal kembali bersandar, kali ini Pelabuhan Putu Tane, Sumbawa. Kami kembali memasuki bus yang tidak benar-benar kosong, tumpukan barang di atap bus dan karung-karung berjejer di lorong bus yang menyulitkan kaki untuk melangkah, bus tancap gas meninggalkan pelabuhan.

Perjalanan Laut yang Memisahkan Kedua Pulau

Aku terbangun dalam gelap ditemani alunan musik dangdut koplo dari ‘Palapa’ yang disetel keras oleh sopir untuk membunuh kesunyian dalam bus saat semua penumpang tertidur. Pak sopir melambatkan laju bus kemudian berhenti di tengah jalan, “Ya kali di sini macet, sepi banget gini” ucapku pelan. Suara dentuman lonceng kecil terdengar beriringan. Karena penasaran akhirnya kutengok keluar, beberapa sapi sedang menyeberang jalan tanpa penggembalanya. Sapi ini dibiarkan bebas oleh pemiliknya. Dari celah-celah pepohonan aku melihat padang rumput terbentang luas dengan sapi-sapi di dalamnya, safari malam! Aku seperti memasuki taman safari tanpa karcis.

Malam makin dingin, kututup rapat kaca bus. Waktunya sahur, bus tetap melaju konstan, aku mengeluarkan makanan yang sudah disiapkan untuk sahur saat bus singgah di rumah makan untuk berbuka sebelumnya. Tanpa basa-basi kami langsung menyantap makan sahur kami. Rija dipanggil oleh ibu yang duduk di sebelah Dhiky yang masih terlelap. Ibu itu menawarkan ayam untuk tambahan lauk kami, tapi Rija menolak penuh basa-basi. Aku yang mendengar tawaran ibu yang belakangan kuketahui bernama Maryam langsung menerima tawarannya.

“Wah, makasih Bu,” ucapku santun.

“Ayo ambil lagi, ndak pa pa,” balasnya ramah.

“Udah Bu, cukup segini aja, makasih,” jawabku sambil mengambil beberapa potong ayam lagi.

Masih banyak orang baik di Indonesia.

Pukul 07:00 WITA kami tiba di Pasar Calabai. Hanya kami, dan Bu Maryam serta anaknya yang tersisa di bus sebagai penumpang. Seorang tukang ojek menaiki bus menawarkan jasanya. Tak acuh kami masih meminta supir bus untuk mengantar sampai Desa Pancasila tujuan kami. Dia yang mendengar percakapan kami langsung menaikan nada suaranya seraya mengatakan bahwa titik terakhir bus ini adalah Pasar Calabai selebihnya harus naik ojek. Bu Maryam mungkin iba melihat kami yang terpojok, beliau menawarkan kami untuk singgah ke rumahnya, lalu melanjutkan dengan ojek dari sana agar tidak merogoh kocek terlalu dalam. Kali ini perlawanan kami berhasil, bus melaju menuju Desa Siladarma.

Hanya 20 menit waktu yang dibutuhkan menuju Desa Pancasila dari Desa Siladarma. Kami langsung diturunkan di rumah Bang Ipul yang juga merupakan Sekretariat K-PATA. Percakapan dibuka dengan obrolan khas para pendaki sampai berubah menjadi obrolan serius tentang rencana perjalanan kami. Setengah jam berlalu, Bang Ipul pun memanggilkan ojek untuk mengantar kami sampai ke pintu hutan, kami beranjak dari kediamannya. Kami menandai titik start di peta sebelum memasuki hutan dan mendaki ke Pos 1. Jalur pendakian menuju Pos 1 cukup lebar tidak sulit untuk menentukan jalur yang akan dilewati. Semalaman di bus membuat kondisi fisik kami kurang fit. Rija kerap menghentikan pendakian untuk istirahat. Mungkin tenggorokannya sudah kering dan tenaga yang juga terkuras ditambah dia sedang berpuasa. Kurang lebih butuh 2 jam untuk sampai di Pos 1 (Pipa Bocor). Pos ini ditandai dengan shelter yang sudah roboh dan dikelilingi pohon-pohon tumbang. Sebentar saja berada di pos ini membuat semut-semut merasa terganggu dengan kehadiran kami, mereka berjalan di badan dan sesekali mengagetkan dengan gigitan kecilnya. Kami pun kembali menggendong ransel melanjutkan perjalanan.

Langit cerah sekali hari itu, pepohonan yang masih lebat sedikit mengurangi matahari yang ingin membakar kulitku. Kepalaku terus menunduk mencari keberadaan pacet di jalur dari Pos 1 ke Pos 2, karena dari data awal jalur ini merupakan habitat pacet. Sekali kutemukan pacet seukuran telunjuk kaki, mungkin ini induknya, pikirku. Musim kemarau membuat populasi pacet di jalur ini menjadi sedikit. Berjalan selama dua setengah jam akhirnya kami sampai di Pos 2 (Sungai Nangka), suara arus sungai mengubah panas menjadi lebih sejuk. Berbeda dengan Pos 1, shelter di Pos 2 masih berdiri kokoh, aku pun berbaring di bawahnya sedikit memanjakan badanku lalu terlelap sejenak.

Suasana Shelter yang Terdapat di Sepanjang Perjalanan

Malas rasanya harus meninggalkan Pos 2 yang sejuk, tapi waktuku memang tak banyak untuk pendakian kali ini. Pendakian dilanjutkan, gambaran jalur menuju Pos 3 masih jelas dan juga masih dihuni oleh koloni pacet. Pukul 16:45 WITA aku tiba di Pos 3 (Bukit Alfath), tanahnya yang landai dengan pepohonan yang agak jauh jaraknya sangat cocok untuk mendirikan bivak ditambah adanya shelter yang juga kokoh. Sumber air juga tersedia walaupun berjarak kurang lebih 200 meter mengikuti jalur ke arah barat. Kami mendirikan bivak tepat di atas shelter karena kebetulan hanya kami bertiga yang sedang mendaki gunung itu. Menjelang malam bivak pun sudah berdiri. Kami mulai memasak sambil membuat api kecil untuk teman kopi dan obrolan yang lumrah kami lakukan saat mendaki. Entah terlalu lelah atau bersiap untuk summit attack, selesai makan malam kami bertiga kompak untuk tidur tanpa sesi curhat.

Tengah malam kami semua sudah kembali memasak untuk makan sahur sekaligus bersiap melakukan summit attack. Pukul 01:30 WITA perjalanan kami mulai, hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di Pos 4 (Kebon Cemara), aku berjalan agak lambat karena jalur ini melintasi hutan jelateng, tumbuhan berduri yang akan membuat tangan gatal dan panas jika tersentuh. 45 menit berikutnya kami sampai di Pos 5, di pos ini kita juga bisa mengisi air tapi sumber airnya dari kubangan yang tidak terlalu jauh dari pos. Kali ini aku dijadikan tumbal ditinggal sendirian di Pos 5 karena Dhiky dan Rija mengambil air. Gelap, dingin, sepi, dan sendiri, sial sekali rasanya. Akupun mengisi waktu dengan memasak mie instan sekaligus menyeduh susu hangat, makan sahur lagi sebelum memulai puasa. Beranjak sedikit dari pos ini sudah sampai di batas vegetasi, ditandai dengan adanya saung kecil yang terbuat dari kayu dan dikelilingi tali rafia sebagai pagarnya.

Landscape Gunung Tambora

Landscape Gunung Tambora

Tiba di bibir kaldera langit masih gelap, tumbuhan sudah sangat jarang membuat kami sulit untuk bernavigasi. Sedikit berdebat akhirnya kami sepakat untuk berjalan ke arah utara dan hasilnya kami tersesat. Puncak Gunung Tambora ada di selatan kami. Bukannya sedih, aku justru bersyukur karena tersesat. Kami tiba di puncakan 2672 m dpl. Di titik inilah kami menikmati matahari yang perlahan mendaki langit, dari titik ini aku dapat melihat laut di utara Pulau Sumbawa dengan pulau kecil yang belakangan kuketahui bernama Pulau Satonda. Tidak ingin melewatkan momen ini kami pun sibuk mengambil gambar. Kurang afdol rasanya kalau tidak menginjak Puncak Tambora yang sudah terlihat dari tempat ini. Tanpa pikir-pikir kaki-kaki kami sudah mulai bergerak mendekati Puncak Tambora.

Teriknya matahari pagi itu ditambah pasir-pasir yang masuk ke saluran pernafasan terbawa angin yang kuhirup membuat kerongkongan semakin kering. Dhiky tanpa rasa sungkan mengambil botol minum yang berisi minuman sari jeruk, “Duh, anak ini, selalu seenaknya tidak menghiraukan yang lain,” pikirku. Sedangkan Rija yang tertinggal jauh di belakang kami sedang sibuk dengan kameranya, berkali-kali aku bergantian memanggilnya tidak digubris dia masih asyik kencan dengan kameranya itu. 08:00 WITA kami berada di titik tertinggi Gunung Tambora, terlihat bendera merah putih yang sudah usang berkibar, warna merahnya sudah berubah menjadi oranye dan tepian bendera yang sudah sobek tak lagi berbentuk persegi panjang.

Suasana Puncak Tambora

Di Puncak Tambora

Panas matahari semakin menyengat, kami pun sudah kehabisan gaya untuk berfoto dan waktunya meninggalkan titik tertinggi gunung ini. Berjalan di bibir kawah dengan bau belerang yang kurang nyaman. Dalam perjalanan aku kaget melihat jalur yang aku lewati tadi malam. Aku menyeberangi hutan jelateng melalui sebatang pohon besar yang sudah tumbang yang mirip jembatan, mungkin sugestiku berlebihan aku justru terpeleset jatuh saat berjalan di atas pohon itu padahal langit sudah terang aku tak lagi mengandalkan sinar redup headlamp yang kupakai, aneh. Sedikit tergesa-gesa aku berdiri karena tangan dan kakiku menyentuh si jelateng, tak lama kemudian panas dan gatal yang sebelumnya kuceritakan kini kurasakan.

Tertidur Menunggu Makan Siang

Pukul 11:00 WITA aku kembali ke titik camp. Satu jam aku tertidur menunggu Dhiky menyelesaikan makan siangnya, waktunya pulang. Perjalanan turun lebih cepat. Aku sudah duduk di pintu hutan menunggu langit menjadi gelap sambil menyiapkan minuman untuk berbuka. Tambora, bertambah lagi cerita pendakian yang tak akan kulupa. Melakukan pendakian hanya dengan waktu dua hari. Pendakian tercepat yang pernah aku lakukan. Hutan tropis yang basah berganti menjadi pasir kering di puncaknya, kumpulan pacet dan hutan Jelateng, ah, gunung ini terlalu indah untuk dinikmati dengan waktu dua hari. []

Tulisan oleh Fitra Ariffanto
Foto dari Dokumentasi Astacala

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Inovasi di Kala Pandemi

Oktober 2020 lalu, Astacala mengikuti kompetisi Sosiopreunership di bidang teknologi digital yang diadakan oleh PT.Telkom Indonesia dan Telkom University yang bernama Innovillage. Tapi tahukah...

Diktat Panjat Tebing (Rock Climbing) Astacala – Bagian 9 : Vertical Rescue

  continued.... Vertical rescue (Vertical rescue, High Angle Rope Rescue, atau Technical Rope Rescue) adalah bersifat teknis, rescuer harus mengetahui beban kerja yang aman untuk tiap...

Tour The Lawu

Para Astacala’ers kembali mencoba menggores cerita petualangannya sambil menikmati bumi ciptaan Tuhan YME. Kali ini yang menjadi tujuan perjalanan adalah Gunung Lawu yang terletak...