Menurut saya berbagi ilmu dan pengalaman akan terasa lebih komplit jika ditambahkan dengan mempraktikkannya secara bersama-sama. Tiga hari setelah Hari Raya Idul Fitri 2013, saya langsung mencari partner memanjat untuk menemani saya mencapai salah satu puncak tebing di kawasan karst Citatah. Saat itu saya lebih memilih partner dari atlet Ekspedisi Panjat Tebing Astacala “Facing Giant Rock” yang nantinya akan menjajal Tebing Batu Lawi, di tengah pegunungan Kelabit Highland, Sarawak, Malaysia, yang dilaksanakan sekitar tiga bulan kemudian. Selain untuk memenuhi hasrat pribadi untuk memanjat tebing lagi, tujuan awal saya melakukan pemanjatan ini adalah untuk berbagi ilmu dan pengalaman yang saya peroleh selama ini bisa bermanfaat untuk generasi Astacala selanjutnya. Menurut kata-kata orang bijak “Ilmu lebih utama dari harta”, karena ilmu akan menjaga kita, sedangkan harta kita-lah yang harus menjaganya. Dari beberapa orang yang saya hubungi, hanya seorang saja yang bisa menemani saya, yaitu Ajie Tri Hutama, ketua tim sekaligus atlet ekspedisi tersebut.
Saat itu tujuan tebing yang akan kami panjat adalah Tebing Citatah 90 yang terletak di Desa Cipatat, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Tebing ini merupakan salah satu tebing di kawasan karst Citatah yang biasa digunakan sebagai tempat berlatih bagi para pamanjat tebing di seputaran Bandung, bahkan dari Jabodetabek. Tebing yang memiliki jenis batuan limestone atau sering disebut dengan karst ini mempunyai ketinggian sekitar 90 meter, maka karena itulah tebing ini sering disebut sebagai Tebing Citatah 90. Tebing ini adalah tempat alternatif di kawasan karst Citatah bagi para pemanjat jika tebing-tebing tetangganya tidak memungkinkan, seperti Tebing Citatah 125 yang biasanya ramai atau kesulitan perizinan Tebing Citatah 48.
Tebing Citatah 90 ini memang kalah populer dibanding Tebing Citatah 48 dan 125 karena memang dari karakteristik serta jumlah jalurnya kurang banyak dan tidak bervariasi. Selain itu tebing ini juga sudah mulai rusak karena banyak dieksploitasi oleh penambang dari karyawan pabrik sekitar yang memakai bahan produksi batuan karst. Mungkin ini juga yang menjadi alasan bagi para pemanjat malas memanjat di tebing ini.
Sebenarnya untuk berkegiatan di Citatah 90 tidak perlu meminta izin ke instansi tertentu, hanya perlu ke warga setempat yang biasanya sering kami jadikan base camp. Tempatnya berupa warung yang terletak di pinggir jalan menuju dasar tebing. Tebing ini juga sangat mudah untuk di jangkau, karena terletak di pinggir Jalan Raya Bandung – Cianjur. Jika melewati jalan tersebut menuju Cianjur, maka akan terlihat tiga tower yang berbeda-beda ketinggiannya di sebelah kanan kita. Kebanyakan pemanjat menyebut tower yang berada di tengah yang merupakan Tebing Citatah 90 karena memang yang ketinggiannya sekitar 90 meter.
Sabtu malam, 17 Agustus 2013, kami berangkat dari Sekretariat Astacala menuju lokasi tebing sesuai rencana operasional (ROP) yang sudah saya susun beberapa hari sebelumnya. Sesampainya di lokasi kami langsung mendirikan bivak dari flysheet untuk tempat bermalam kami berdua. Ditemani kopi hangat dan beberapa batang rokok serta makanan ringan, kami berbincang-bincang banyak hal, salah satunya tentang berbagai pengalaman dan pengetahuan kami berdua dalam bidang panjat tebing. Sesekali kami juga mengamati gagahnya tebing di bawah terangnya rembulan malam itu untuk memperkirakan jalur yang akan dipanjat esok hari. Saat itu kami merencanakan untuk menggunakan teknik pemanjatan free climbing, yaitu teknik memanjat tebing dengan menggunakan alat-alat bantuan hanya untuk pengaman saja, tidak langsung mempengaruhi gerakan pemanjat ataupun untuk menambah ketinggian. Teknik ini merupakan teknik yang paling efektif jika pemanjatan dilakukan oleh dua orang, dimana pemanjat naik secara bergiliran, leader membuat jalur dan belayer mengamankan. Sekitar pukul 23:00 WIB kami bersiap-siap untuk istirahat agar esok hari badan tetap segar memanjat batuan tegak yang berada di depan kami.
Sekitar pukul 08:30 WIB esok harinya, kami sudah mulai mempersiapkan peralatan yang akan membantu menaklukkan puncak tebing gagah ini. Saya sebagai leader pertama mempersiapkan beberapa pengaman dan perlengkapan yang saya butuhkan untuk mencapai pitch pertama, sedangkan Aji sebagai belayer mengurai tali kernmantle agar tidak kusut ketika mengamankan saya saat merintis jalur.
Tidak lama kemudian saya meneriakkan aba-aba “Belay on!“, sebagai tanda akan memulai pemanjatan. Seketika itu juga Aji membalasnya dengan aba-aba “On belay“, sebagai tanda dia siap mengamankan saya sebagai leader-nya. Sekitar 3 meter dari tanah saya pasang pengaman pertama berupa sling dengan simpul jangkar pada lubang tembus. Pengaman kedua kemudian saya pasang seperti pengaman pertama. Dan selanjutnya pengaman ketiga adalah pengaman sisip berupa cam/friend di rekahan vertikal dari jalur yang saya panjat. Setelah 10 pengaman, saya akhirnya mencapai teras pertama atau pitch pertama di ketinggian sekitar 30 meter.
Setelah memasang 2 cowstail dan beberapa anchor untuk sistem hanging belay, saya memberi aba-aba agar Aji naik menyusul ke pitch pertama sambil cleaning pengaman yang saya pasang tadi. Sekitar setengah jam kemudian Aji sudah berada di samping saya di pitch pertama dan langsung saya minta ia untuk lanjut ke pitch kedua yang berada sekitar 8 meter di sebelah kanan atas kami.
Dari pitch kedua, saya kembali menjadi leader lagi untuk menuju pitch ketiga dengan ketinggian sekitar 12 meter mengikuti jalur rekahan yang agak serong ke kiri.
Di pitch ketiga ini kami beristirahat sejenak dengan meminum beberapa tegukan air untuk mengurangi dahaga di bawah teriknya sang mentari siang itu sambil berdiskusi tentang jalur yang akan dipakai selanjutnya. Di pitch ketiga menuju keempat inilah yang merupakan jalur paling susah karena bentukannya yang over hang dan pegangannya tidak begitu dalam untuk dimasukkan jari-jari kita.
Sekitar 10 meter dari pitch tiga ini, Aji terlihat kesusahan menyelesaikannya karena bentukannya yang agak over hang. Selain itu dia juga masih ragu akan pengaman terakhir yang dia pasang untuk menahan dirinya jika jatuh sehingga mengurangi mentalnya untuk menggapai pegangan di atasnya yang posisinya agak jauh dari jangkauannya. Akhirnya, dari beberapa kali percobaan Aji berhasil melewati rintangan tersebut dan mencapai pitch empat yang berada sekitar 20 meter di atas kepala saya.
Setelah itu saya langsung cleaning pengaman dengan dibelay Aji dari atas. Saya menyusulnya menuju pitch empat.
Dari pitch empat ini, saya merintis jalur vertikal lagi sekitar 20 meter menuju pitch lima yang merupakan puncak dari Tebing Citatah 90 ini. Tidak lama kemudian kami berdua sudah berada di posisi paling atas dari tebing ini untuk makan siang. Menu makan siang kami kali saat itu adalah satu bungkus roti tawar dengan susu dan beberapa bungkus snack. Sambil menikmati pemandangan dari puncak tebing dan ngobrol-ngobrol tentang jalur yang kami lewati, tidak terasa waktu menunjukkan pukul 16.:0 WIB, di mana saatnya kami untuk turun dari puncak agar tidak kemalaman sampai di bawah.
Untuk turun kami sepakat dengan cara orang terakhir melakukan teknik rappeling tiga tali karena ada banyak lubang tembus yang bisa digunakan sebagai pengaman simpul lepas. Teknik cleaning ini adalah teknik yang lumayan efektif dari segi tenaga dan tidak perlu meninggalkan pengaman.
Dari puncak saya belay Aji turun terlebih dahulu menuju pitch empat, kemudian saya menyusulnya dengan menggunakan teknik rappeling tiga tali sebanyak dua kali. Di pitch keempat tersebut saya menemukan lubang tembus yang aman dimasukkan tali kernmantle sehingga saya putuskan menggunakan teknik rappeling dua tali agar lebih efektif dibandingkan rappeling tiga tali. Akan tetapi penilaian saya meleset karena di sini saya mengalami masalah ketika akan menarik tali setelah selesai rappeling. Tali yang saya masukkan ke batu tersebut tidak bisa saya tarik karena mengalami gaya gesek dengan batu yang terlalu besar.
Akhirnya saya meminta Aji untuk leading kembali ke atas. Saya melakukan belay menggunakan bekas tali yang tidak bisa saya tarik tadi. Setelah Aji melepas tali dari lubang tersebut, kemudian dia turun lagi dengan cara down climb ke pitch tempat saya mengamankannya. Dari posisi ini Aji akan melakukan teknik rappeling dua tali dan saya rappeling tiga tali karena beberapa pitch yang ada dibawahnya agak sempit untuk digunakan dua orang. Saat cleaning dengan rappeling tiga tali, di sini kami juga mengalami trouble tali nyangkut karena saya salah tarik tali, hal ini di sebabkan karena hari sudah mulai gelap dan konsentrasi saya sudah mulai buyar. Saat itu juga kami langsung ambil keputusan untuk melakukan teknik hanging camp karena fisik kami mulai lelah dan konsentrasi sudah makin buyar sehingga tidak kami merasa sangat tidak aman untuk dilanjutkan.
Kami berdua akhirnya melakukan teknik hanging camp di ketinggian sekitar 60 meter dari ground. Di sana terdapat sebuah teras dengan ukuran 40 cm x 80 cm yang cukup untuk duduk kami berdua dengan posisi saling membelakangi mirip logo Kappa. Kami membuat pengaman diri masing-masing tiga buah ke tebing dan satu pengaman lagi menggunakan kernmantle yang saling menghubungkan kami berdua. Kernmantle yang terhubung ini kami maksudkan supaya kami berdua dapat saling menjaga jika salah satu dari kami mendapat masalah.
Setelah posisi aman, saya langsung menghubungi Sekretariat Astacala melalui telepon seluler untuk menginformasikan perubahan rencana pemanjatan kami yang harusnya selesai sore ini. Saya juga meminta supaya ada minimal dua orang pemanjat dan rescuer untuk datang menyusul kami ke tebing malam itu juga jika sewaktu-waktu kami butuh untuk dibantu.
Sambil menunggu tim bantuan dari sekretariat datang, kami berdua mengevaluasi pemanjatan kami sambil mengecek keadaan logistik yang masih ada. Saya lihat ada enam potong roti tawar dan satu liter air mineral yang tersisa. Malam itu kami makan empat potong roti dan minum air sedikit demi sedikit sehingga besok pagi masih bisa makan dua potong roti sisanya dan airnya cukup untuk turun sampai ke bawah.
Sekitar pukul 22:00 WIB, tiga personil bantuan dari Sekretariat Astacala datang. Mereka adalah Bolenk, Tumingkel, dan Jefri. Mereka bermalam di tempat bekas camp kami semalam. Setelah berkoordinasi denganmereka, saya dan Aji mulai istirahat di bawah terangnya rembulan dan dinginnya hembusan angin malam waktu itu. Untuk mengatasi dinginnya cuaca malam di tengah tebing, kami melilitkan tali kernmantle dan webbing ke tubuh seperti film “127 Hours”. Ternyata benar tubuh kami menjadi lebih hangat. Malam itu istirahat kami memang kurang nyaman, tapi aman. Yang terpenting safety first!
Hari Senin, tanggal 19 Agustus 2013, sekitar pukul 06:00, kami terbangun oleh sinar matahari pagi yang mulai menerangi langit. Sambil mengumpulkan tenaga untuk bangkit kembali dan melanjutkan cleaning, kami makan sisa roti dan minum air semalam. Setelah itu kami melakukan gerakan peregangan seperlunya untuk mengendorkan otot-otot yang kaku karena posisi tidur yang kurang nyaman. Peregangan ini juga untuk sedikit membantu menghangatkan tubuh yang diterpa dinginnya angin semalam.
Sekitar pukul 07:00, Aji leading untuk melepas tali yang nyangkut kemarin. Setelah itu kami langsung turun pitch demi pitch menuju pitch pertama. Kami turun menggunakan teknik rappeling tiga tali lagi. Tanpa mengulangi kesalahan yang kemarin dan membuat kesalahan baru, sekitar pukul 08:30 WIB kami sudah sampai ke pitch yang kami tuju. Dari pitch pertama kami sepakat cleaning menggunakan teknik down climb karena posisi kami berada pada ketinggian sekitar 30 meter dengan kondisi fisik yang sudah fit sehingga dirasa akan lebih cepat mencapai ke ground tebing. Sekitar satu jam kemudian saya dan Aji sudah bergabung dengan Boleng, Tumingkel, dan Jefri untuk sarapan di sekitar base camp bantuan.
Setelah istirahat sejenak seusaisarapan, pagi menjelang siang itu kami langsung beres-beres packing peralatan untuk kembali ke Sekretariat Astacala. Dalam perjalanan pulang, pemanjatan ini masih memberikan kesan tersendiri di benak saya sampai sekarang. Intinya banyak ilmu dan pengalaman yang saya peroleh. “Pengalaman adalah guru paling berharga”, begitulah orang-orang bijak mengartikannya, di mana dengan pengalaman kita akan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama karena kita sudah merasakan dampaknya secara langsung. Ketika kita belajar di alam terbuka, kita akan lebih banyak mendapatkan ilmu, pengalaman, serta pendidikan karakter daripada di ruangan saja.
Now I see the secret of making the best person :
it is to grow in the open air,
and to eat and sleep with the earth. -Walt Whitman-
Tulisan oleh Widi Widayat
Foto oleh Ajie Tri Hutama dan Widi Widayat
Hahahaha, kalo inget ini pengen ketawa mulu om 😀
hahaha…paling gak ini pertama kali kita partneran tapi langsung nge-top.hwakakaka…
Gw langsung ketawa ji..
Emang lw malu-maluin aja par.
hahahaha
gw udah nebak lu pasti bakalan komen di tulisan ini leng.hahahaha…
welcometothejungle….
kejadian ini menunjukkan kalian tiadak siapkan rop kegiatan dengan baik. kalian terlalu mengentengkan permasalahan. kemungkinan2 terburuk tidak kalian siapkan antisipasinya. kalian wajib dikoprol sampai mutah agar tidak mengulangi kealpaan ini!!!. kit survival harus selalu kalian siapkan disetiap kegiatan. karna nyawa hanya ada 1 kesempatan coy!!! jangan ulangi kesalahan yang sama.
viva ASTACALA!!!
saya sudah mengevaluasi diri sendiri dan partner memang salah satu kesalahan dari kegiatan ini adalah kurangnya antisipasi jika terjadi kemungkinan terburuk. sebenarnya tadinya saya malu untuk publish tulisan tentang kejadian ini karena salah satu kesalahannya adalah hal yang mendasar. setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya saya putuskan untuk publish saja, biar pembaca menilai sendiri dan memberikan evaluasi serta bisa menjadi pembelajaran bagi saya sendiri dan orang lain juga tentang kejadian ini.
Keep Climb Astacala!!!