Lampu lampu yang terpasang pada eternit mulai dimatikan, tinggal satu saja di pojok kiri yang sepertinya memang sengaja dibiarkan menyala. Begitu pula dengan daun daun pintu yang sudah mulai ditutup. Padahal malam belum larut benar, jamaah isya baru saja berakhir. Rambut saya masih terasa basah oleh air wudhlu yang dinginnya setengah hidup.
Peralatan tidur pun segera saya keluarkan, hanya raincoat dan kaus kaki sebenarnya. Yahh setidaknya lumayan untuk menghalau dingin malam khas daerah pegunungan. Lagi lagi saya salah duga, sebelumnya saya mengira bahwa cuaca Flores itu panas, seperti dua pulau tetangganya, Sumba dan Sumbawa. Ternyata di Bajawa hawanya dingin sekali, sebelas duabelas lah dengan cuaca di Kota Bandung.
Tepat ketika rasa kantuk mulai menyergap, tiba tiba pintu samping masjid diketuk. Berbondong bondong remaja belasan tahun memasuki masjid. Yang laki laki memakai kopiah, beberapa terlilit sarung di badan, sementara yang perempuan berkerudung dan membawa tas selempang selayaknya ibu ibu yang mau berangkat kondangan. Tebakan saya, akan ada pengajian remaja masjid malam ini.
Prosesi tidur yang sudah tersiapkan pun tertunda sejenak.
Pagi Tadi…
Karena bus dari Labuan Bajo yang menuju Bajawa berangkat jam enam, mau tak mau saya harus bangun pagi sekali. Bahkan oleh ibu pemilik penginapan “21” saya disarankan untuk bersiap dari setengah jam sebelumnya, bisa gawat kalau ketinggalan. Transportasi umum di Flores memang belum seramai di pulau besar lain di Indonesia, armadanya tak banyak. Bus Labuan Bajo – Bajawa ini misalnya, dalam sehari hanya ada satu trip saja. Moda transportasi lain ada sebenarnya, yaitu travel, namun tentu saja harganya juga lebih mahal.
Usai menikmati secangkir teh manis hangat dan beberapa potong biskuit, saya bergegas meninggalkan penginapan dan menunggu bus di dekat pintu masuk pelabuhan. Suasana masih lengang, hari memang masih belia. Di depan pos angkatan laut, seorang ibu tampak sedang menyapu halaman, membersihkan daun yang jatuh dan berserakan dari pohon pohon di sepanjang jalan.
“Maaf ibu, mau numpang tanya. Bus yang ke Bajawa belum berangkat kan?” tanya saya kepadanya.
“Busnya lagi muter ngambil penumpang. Kamu tunggu saja dulu, nanti pasti lewat sini.”
Sebelum berangkat, bus “Gemini“, PO yang beroperasi di trayek ini, akan berputar terlebih dahulu di Labuan Bajo, menjemput penumpang. Sudah biasa di sini bagi para penumpang untuk meminta jemput, japri langsung ke sopir sudah tersedia, nomor telepon terpampang jelas di kaca depan dan belakang kendaraan.
Belum lama saya duduk, yang ditunggu pun tiba. Bus berukuran tanggung berwarna putih-metalik dengan sedikit corak berwarna biru dan hijau. Pada atapnya, terlihat setumpukan kardus dan karung yang sudah terikat rapi. Dan begitu masuk ke dalam, pemandangan yang tak jauh beda pun saya temui, banyak karung dan kardus yang dijejalkan di sela sela ruang yang ada. Kapasitas bus benar benar dimaksimalkan, kalau diibaratkan nasibnya tak jauh berbeda dengan keledai di jaman Jalur Sutera dulu, dipaksakan hingga kemampuan maksimal.
Terdengar bunyi groook panjang dan asap hitam yang mengepul dari knalpot, perjalanan si kembar zodiac pun dimulai, menembus rimbun hutan, naik turun jalan pegunungan, pada jalan provinsi yang masih dalam tahap renovasi dan berlubang lubang itu.
***
Begitu sampai di Terminal Bajawa, saya diliputi kebingungan, belum tau mau menginap dimana malam ini. Dari kabar yang saya dapat sebelumnya, penginapan paling murah saja berharga seratusan ribu, terasa begitu mahal bagi keuangan saya. Lagipula rencananya hari itu Bajawa hanyalah titik singgah sebelum meneruskan perjalanan ke Ende. Boleh dibilang itinerary perjalanan saya kali ini memang aneh, bahkan tidak jelas. Destinasi bisa berubah ubah kapan saja, pun juga dengan durasi waktunya. Saya benar benar ingin merasa bebas dan tidak terikat pada kungkungan rencana itinerary yang terkadang justru mengurangi keasyikan berperjalanan. Dan Bajawa ini adalah salah satu tujuan dadakan yang muncul di list perjalanan saya. Walau hanya semalam, saya merasa harus transit dulu ke sini.
Belum juga sepuluh detik turun dari bus di depan terminal, seseorang berjaket hitam menghampiri saya. Dan ketika Pak David, yang adalah tukang ojek tersebut menawarkan jasanya, yang terlintas adalah menuju masjid terdekat dari terminal Bajawa ini. Ketika itu saya berpikir bahwa dengan berhemat bisa menambah kilometer dan durasi perjalanan saya menjadi lebih panjang. Saya memang sudah sering menginap di masjid ketika berpergian, persinggahan dalam kondisi kantung dompet yang mepet.
Bajawa merupakan ibukota dari Kabupaten Ngada. Kotanya kecil saja, namun penataan tempatnya relatif menarik. Pusat keramaian seperti kantor pemerintahan dan pasar berada di tengah kota, dengan beberapa kantung pemukiman di seputarannya. Jalan jalan sudah mulus, beraspal yang sepertinya masih baru. Bajawa berada di daerah dataran tinggi, dari tengah kota kita bisa memandang barisan gunung gunung yang mengelilinginya.
Jujur, sampai beberapa hari sebelum keberangkatan rasanya saya belum pernah mendengar nama kota ini, apalagi lokasinya di mana. Terdengar memalukan memang bila tidak tau satu kota yang notabene ada di negara sendiri. Malu, karena di beberapa kesempatan sering saya berujar bahwa saya mencintai negara ini, negara Indonesia tercinta ini. Tapi kemudian perjalanan ke Bajawa ini menyadarkan saya satu hal, cinta ini mungkin palsu, cinta ini mungkin hanya di mulut saja. Bagaimana mungkin saya bisa berujar cinta tapi tak kenal betul apa yang saya cinta tersebut?
Iya, saya sebagai pelakunya memang salah, tapi bolehlah juga kita telaah apa yang mungkin jadi penyebabnya. Bukan saya merajuk, tapi sistem pemerintahan negara ini yang tersentralisasi membuat banyak hal, termasuk misalnya pemberitaan, hanya berkutat di sekitar daerah pusat saja. Kita dipaksa membaca, mendengar atau melihat berita mengenai daerah yang itu itu saja, dengan berita yang juga itu itu saja tentunya. Banyak daerah di luar lingkar pusat kekuasaan yang kemudian menjadi antah-berantah ketika terdengar di telinga.
Pada titik inilah kemudian perjalanan bisa punya nilai lebih bagi pelakunya. Melakukan perjalanan membuka mata pada banyak tempat baru yang mungkin sebelumnya tidak kita ketahui, membuka wawasan kita perihal kehidupan di tempat tersebut; masyarakat dan lingkungannya. Syukur syukur jika sepulang dari daerah tersebut kita bisa berbagi pengalaman kita kepada orang lain, bukan hanya melulu tentang keindahan alam saja tentunya, tetapi juga pada kondisi sosial yang melingkupi daerah yang kita kunjungi tersebut. Terdengar sok memang, tapi hal itu juga merupakan satu tanggung jawab kita sebagai pejalan bukan?
Malam ini…
Begitu masuk ke dalam, mereka pun duduk melingkar. Satu orang, saya taksir usia nya sekitar tiga puluhan sekian, kemudian mulai membuka suaranya. Memerintahkan para remaja tersebut untuk duduk lebih tertib dan mulai menyiapkan catatannya. Saya pun beringsut mendekat, sambil menundukkan kepala meminta ijin kepada bapak berkopiah putih yang tadi berbicara untuk ikut bergabung dalam lingkaran.
“Tahukah kalian amalan apa yang pertama kali dihisab ketika di akhirat kelak?”
Semua terdiam. Terlihat wajah wajah yang sedang berpikir mencari jawabannya.
“Ayo kalau ada yang mau menjawab acungkan tangan. Tidak usah malu kalau salah. Namanya juga sedang belajar.”
Maka setelah muncul kalimat seperti itu, ekspresi muka yang tegang pun melumer, beragam jawaban mulai bermunculan. Pengajian malam itu menjadi lebih hidup. Saya pun ikut terlarut di dalamnya.
***
Sekitar pukul sembilan malam pengajian berakhir. Orang orang sudah beranjak pergi, masjid mulai sepi kembali. Tinggal saya dan bapak yang tadi memimpin pengajian. Saya mendekat sambil mengulurkan tangan, berkenalan. Dijabatnya erat tangan saya, ada kehangatan dalam jabat tangan tersebut.
Namanya Arifin, tapi sepengamatan saya selama pengajian tadi, beliau lebih sering dipanggil Kak Ipin. Tinggalnya tidak jauh dari masjid, hanya beberapa menit berkendara motor. Darinya kemudian saya tau bahwa rupanya para remaja tadi adalah siswa siswi salah satu sekolah menengah di Bajawa. Sudah beberapa tahun terakhir ini, Kak Ipin kedapatan amanah untuk memimpin pengajian yang rutin diadakan setiap sabtu malam itu. Kami pun kemudian mengobrol dalam dekapan dingin udara malam Bajawa.
“Inilah satu satunya masjid di Bajawa. Tapi ya begini lah kondisinya, pembangunannya masih belum selesai.”
Dari kondisinya yang masih belum sempurna betul itu pun, dalam bayangan saya sudah terpancar kemegahannya kelak. Arsitekturnya terpengaruh kental dengan arsitektur masjid di zaman Turki Utsmani. Kubah besar menutup bagian atas masjid, dengan menara yang berdiri tinggi tegak di sampingnya. Masjid yang diberi nama Al-Ghurabah Baiturrahman memang menjadi satu satunya masjid di Kota Bajawa. Di kota ini umat muslim menjadi minoritas, umumnya merupakan pendatang yang berasal dari luar Bajawa. Hampir sama dengan kota kota lain di Pulau Flores, penduduk Bajawa mayoritas adalah pemeluk Katolik Roma.
“Di sini toleransi masyarakatnya bagus. Umat beragama saling menghormati dan menghargai keyakinan masing masing.” kata Kak Ipin kepada saya.
Akhir akhir ini, mendengar kalimat yang barusan diucapkan oleh Kak Ipin rasanya amat melegakan. Toleransi seperti menjadi hal langka dan hanya nyata dalam teks membosankan bernama buku paket PPKn saja. Kekerasan berlatar intoleransi seringkali terjadi. Ambon, Poso, Sampit, Sampang, dan sederet nama daerah lain bisa kita sebut di sini. Menjadi negeri yang terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku bangsa, membuat Indonesia dianugerahi keragaman budaya yang luar biasa. Namun demikian, keragaman ini haruslah bisa dikelola dengan baik, karena potensi pergesekan yang bisa terjadi kapan saja. Pemerintah mengatur regulasi, masyarakat melaksanakan. Itu saja kalau dilakukan dengan benar, menurut saya sudah cukup menjaga keragaman ini tetap berjalan dalam tracknya. Tentang pluralisme biar Ulil dan Ucay saja yang memperdebatkannya.
“Yang penting, pemahaman agama yang benar harus ditanamkan pada remaja remaja ini sejak dini. Karena dengan pemahaman yang benar, tentu sangat bermanfaat bagi mereka di kemudian hari.” ujarnya melanjutkan lagi seraya menunjukkan gestur akan berpamitan. Maka sambil diiringi ucapan salam, kami pun berpisah. Kak Ipin pulang ke rumahnya, saya melanjutkan tidur yang tadi tertunda sejenak.
Kota Bajawa, Akhir Agustus 2012.
Tulisan dan foto oleh Anggafirdy.