Perjalanan Wajib Lembah Hujan
Perjalanan ini mengenai eksplorasi kami tentang pelestarian peninggalan leluhur yang seharusnya menjadi identitas bangsa kami. Eksplorasi adat Pepadun di Kecamatan Way Kanan dalam Masa Bimbingan Astacala, berlangsung selama 14 hari penelusuran. Dengan bekal pengetahuan data awal seadanya mengenai objek yang akan diteliti, penelitian ini akan dikemas dalam rekaman ilustrasi berbentuk buku dan video.
Tanggal 7 Februari 2013, hari dimana awal perjalanan kami dimulai. Dermaga tiga, keberangkatan pukul 03.00 pagi waktu setempat, kami bersiap dalam alur perjalanan kami ke pulau seberang. Kurang lebih dua setengah jam diatas selat yang membagi dua pulau, kapal kami berjalan perlahan namun pasti, sampai akhirnya berlabuh di pelabuhan Bakauheni, Lampung.

Singkat cerita, setelah 15 jam perjalanan dari Sekretariat Astacala, kami tiba di kediaman Pak Lurah kampung Gedung Batin dan menetap disana hingga hari berikutnya untuk kemudian beranjak ke Blambangan Umpu, kecamatan Way Kanan. Tidak banyak yang kami lakukan di Gedung Batin, mengingat alasan kami bersinggah kesana hanya untuk memastikan tempat tinggal dan perijinan untuk tim lain yang menyusul. Satu hal yang mencolok setiba kami di kampung Gedung Batin tak lain adalah rumah tua roboh yang terletak persis di depan rumah Bu Lurah dan konon sudah ada sejak tahun 1800an.


Ketika sentuhan mentari tak lagi terelakan, ketika bocah-bocah berseragam menapak jalan ke arah dan tujuan yang sama, sekolah; dan ketika dapur kediaman Bu Lurah mengepulkan asap pertanda kesibukan pagi di rumah itu mulai berjalan tanpa kami sadari, kami bersiap untuk menyiapkan perjalanan kami di hari berikutnya.
Kami tahu bahwa narasumber yang akan kami temui di Blambangan Umpu, Way Kanan, Pak Ridwan Basha, sedang tidak berada di kediamannya. Kunjungan kami nantinya menjadi semacam batu loncatan untuk mencari informasi mengenai narasumber lain yang bisa kami temui hari itu. Anak dari Pak Ridwan Basha yang menjamu kami di rumahnya merekomendasikan Pak Rahmudin sebagai narasumber lain yang bisa kami kunjungi.
Menurutnya, sebagai penyimbang marga, Pak Rahmudin memiliki pengetahuan yang cukup banyak mengenai adat pepadun di daerah Way Kanan. Sedikit pencerahan, namun permasalahan kami tidak berhenti sampai disitu, kami masih harus memastikan tempat untuk peristirahatan kami di hari-hari kedepan selama kami berada di Blambangan Umpu, Way Kanan. Pikir kami, kami bisa menumpang bermalam di rumah Pak Rahmudin ketika kami tiba dan sedikit wawancara tentang adat-istiadat di kediaman Pak Rahmudin. Sayangnya, 5 jam kedepan dari perbincangan kami, beliau harus meninggalkan Way Kanan dan beranjak ke Bandar Lampung. Dan kami pun kembali direkomendasikan untuk mengunjungi rumah Pak Cik Ali guna melengkapi data penelitian kami –dan sebagai alternatif lain untuk tempat peristirahatan kami hari itu tentunya.
Cik Ali, salah seorang penglaku adat yang tinggal beberapa meter dari rumah pak Rahmudin, hidup bersama seorang istri dan seorang anak bersama istrinya. Rumah tua dari kayu yang digabung dengan rumah lebih maju dari bata layaknya rumah seperti umumnya, menjadi kombinasi yang unik dari era modernisasi yang tidak menghilangkan nilai tradisional.
Kami mendapat tumpangan tempat tinggal selama beberapa hari disana. Di luar wawancara dengan tokoh-tokoh adat di Blambangan Umpu dalam proses pencarian data, kami menjelajahi peninggalan-peninggalan yang masih tersisa yang bisa kami dokumentasikan. Tidak seperti dugaan kami yang mengira bahwa sisa-sisa sejarah adat berada terpusat dalam satu wilayah, kami harus berkelana untuk dapat mengumpulkan data peninggalan sejarah yang terpencar.
Peninggalan tua yang dianggap keramat biasanya ditempatkan di rumah keturunan tertua dari marga terkait. Dengan perawatan yang minim, peninggalan-peninggalan tua tersebut dipisahkan dan terkesan diasingkan.
Dari cerita Bapak Samsul, salah satu narasumber kami yang kebetulan menyimpan peninggalan-peninggalan leluhur bercerita, “Peninggalan seperti ini, untuk sebagian orang, bisa menjadi tidak berarti. Mereka lebih memilih menjualnya untuk kebutuhan sehari-hari ketimbang melestarikannya”. Dengan kata lain, tidak ada kesadaran tentang nilai-nilai adat yang begitu penting untuk sejarah kampung halaman mereka.
Gejolak pikiran berkecamuk di pikiran kami, dengan banyaknya transmigran yang mulai memenuhi tiap sudut kota, bagaimana nantinya eksistensi adat leluhur mereka di tengah masyarakat yang akan tercampur latar belakangnya? Tidak mencari jawaban yang seharusnya terbersit oleh mereka, kami mencoba membantu agar garis ke-istiadatan tetap berada pada jalurnya dan tidak tenggelam oleh waktu.
Tulisan dan Foto oleh Tim PW LH