Setangkai Bunga untuk Astacala

Seperti halnya para Perintis, yang tak ingin tercatatkan namanya
Astacala itu lengang tapi tak diam.
Seperti bunga-bunga Honje, yang mekar segar di hutan hujan basah.
Kita itu merah, tapi tak mengkultuskan warna.
Seperti juga Sondari, indah namanya.
Gelap, liat dan mendatangkan seribu kesuburan bagi sang pengelana.
Ada Tapak Semangat, yang selalu melecutkan isyarat : bahwa derita, cinta dan kedustaan adalah hingar bingar alam semesta.
Ada Api membara di dalam jagat, api yang mendiangi para pejalan yang berlindung di balik dingin malam-malam.
Dan di atas sana, ada Elang Rimba yang mengangkas sebebas kepaknya, berteriak memberi pertanda.
Pada Tapak Bara, yang mengabdikan segala jerihnya lewat tapak-tapak yang luka dan menderita. Itulah Astacala

Di ujung hari, sang Pakis Senja mendendang tak kalah dari keemasan matahari.
Sementara Badai Gunung yang membangunkan para gemintang di hamparan malam.
Seperti Air, mengalir dari hulu ke hilir, diam tak beriak, tenang tapi dalam.
Ada juga Kabut Fajar, yang menandakan hari baru yang penuh pengharapan.
Dan Angin Utara, yang membawa pesan : Astacala ada untuk penjuru relung hati manusia.

Anak-anak itu bangun dari Kawah Asa, yang menjadikan mereka pemuda-pemuda tanggung tapi pemberani, merah persis seperti Astacala.
Menelurkan Jejak Rimba, yang meninggalkan kesan pada tanah yang mereka injak, sampai nun jauh di ujung dunia.
Dan jauh di hari setelahnya, Lembah Purnama seperti menantikan diri untuk keindahan hari-hari esoknya.
Kabut Belantara menanti seperti kawanan gunung memagari dunia, pekat dan bersahaja.
Dan Angin Puncak, menerpa pepohonan mengabarkan pesan damai dan rindu bagi sang pengembara.
Seperti Lembah Hujan, yang sementara mengujung dan menggantung, sebagai tunas yang menyemai muda di cabang dahannya.

Oh ya… Tentu ada yang hilang, ada yang pergi.
Tapi Astacala, seperti sang ibu yang melegenda bagi anak-anaknya.
Ia tak bicara, tapi suara kita yang mewakilkan hatinya.
Ia tak pernah pergi jauh, tapi jejak kita yang mengabarkan pada dunia.

Dirgahayu Astacala!

Jakarta, 17 Oktober 2012 — Jimi Piter (A-055-AIR)

6 thoughts on “Setangkai Bunga untuk Astacala

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *