Kebersamaan di Tebing Gunung Batu

Related Articles

Memanjat Tebing Gunung Batu

Sabtu sore, 6 Oktober 2012 saya ke sekretariat Astacala seusai mengganti jok motor, oli, dan cek karburator motor. Saya lihat papan kegiatan yang terpajang di dinding sekretariat, ternyata jadi juga perjalanan yang kelihatan seperti desas-desus saja selama dua minggu ini untuk memanjat di Tebing Gunung Batu di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Beberapa teman saya berarti sudah ada di lokasi. Saya lihat ROP dan surat jalan dari peserta perjalanan, ternyata ada beberapa peserta yang berencana mau menyusul sore ini juga. Saya memutar otak untuk mempertimbangkan capeknya badan saat itu dengan keinginan untuk refreshing dari kejenuhan rutinitas sehari-hari yang monoton.

Akhirnya saya bulatkan tekad untuk ikut dalam perjalanan ini mumpung ada beberapa teman untuk menyusul ke lokasi. Ada Cirit, Ayis, dan Hasnan (seorang rekan dari Unit Selam Universitas Gajah Mada). Kami berempat berangkat pukul 18.30 WIB dengan mengendarai sepeda motor untuk menyusul empat orang yang sudah berada di lokasi,  Gianto, Toshio, Deta dan Onie. Sesampainya di tebing kami segera membongkar packingan untuk membuat bivak dan membuat minuman hangat supaya rasa dingin di malam hari sedikit terkurangi. Dengan kesadaran masing-masing kami saling melengkapi untuk melakukan pekerjaan ini tanpa harus ada paksaan. Sekitar pukul 11 malam Tumingkel dan Syifa juga tiba di tebing sebagai tim penyusul berikutnya setelah menghajar hujan sekitar 2 jam  perjalanan dari sekretariat.

Kebersamaan di Tebing Gunung Batu

Seperti biasa, tebing yang sudah saya datangi untuk keempat kalinya ini selalu membuat terkagum akan keindahan pemandangan di malam hari mengingat tebing ini berada di daerah dataran tinggi. Panorama gemerlapnya lampu rumah dan gedung di sekitar Kota Bandung disertai kabut tipis yang bergerak naik turun malam itu mendampingi obrolan kami dari hal paling ringan sampai yang berat sebelum beranjak tidur. Suasana sunyi daerah sekitar, kadang-kadang suara kendaraan bermotor yang terdengar dari kejauhan dan tidak tersentuh polusi kota menambah lebar senyum saya menikmati waktu malam bersama teman-teman seperjalanan. Indahnya rasa persaudaraan ini saya rasakan.

Tebing berbatuan andesit ini hanya bertinggi sekitar 20 meter dari ground dan hanya terdapat belasan jalur sport saja. Ada beberapa jalur juga bisa dijadikan pemula untuk latihan pemanjatan artificial dengan multi pitch system.

Pemandangan dari Tebing di Malam Hari

Esok harinya kami mulai mengamati jalur yang ada setelah sarapan pagi dan pemanasan. Terpilihlah dua jalur yang akan kami panjat, satu jalur sport dan satu lagi jalur artificial yang akan digunakan Gianto untuk latihan pemanjatan artificial pertamanya. Kami mulai leading setelah selesai merapikan alat-alat dan pemanasan. Jalur sport yang saya pilih terlihat menarik karena bentukan tebingnya yang bervariasi mulai dari slap hingga overhang. Jalur ini juga membutuhkan konsentrasi tinggi untuk memadukan otak dengan otot dalam variasi teknik yang akan digunakan mengingat banyaknya pilihan teknik memanjat  yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan jalur dengan 7 pengaman utama ini. Sampai-sampai saya memanjat dua kali jalur berketinggian sekitar 15 meter ini dengan cara berbeda untuk lebih menikmati jalurnya. Sedangkan jalur yang dipakai Gianto untuk latihan pemanjatan artificial ini saya rasa tidak begitu sulit melaluinya karena jalur berketinggian sekitar 20 meter ini memang cocok untuk pemula. Kendala yang dihadapi paling hanya kebingungan pemasangan dan ketidakyakinan akan pengaman artificial yang dipasang, hal yang lumrah dialami pemanjat ketika pertama kali melakukan pemanjatan artificial.

Merintis Jalur Sport

Cuaca yang mengiringi pemanjatan kami siang itu tidak menentu yang terkadang panas terik, mendung, bahkan sampai gerimis. Saat Gianto masih berkutat dengan jalur artificial dan Toshio sebagai belayer serta Cirit sebagai pendampingnya untuk mengarahkan, yang lain bergantian memanjat di jalur sport yang saya rintis. Canda tawa, lelucon, saling mencela dan saling menyemangati melengkapi kebersamaan kami sambil menunggu giliran memanjat. Sembilan orang yang berasal dari enam angkatan di Astacala ditambah seorang teman dari Jogja ini tampak akrab tanpa rasa sungkan, malu, atau pun perasaan lain yang membuat jarak perbedaan dari berbagai latar belakang kami. Kebersamaan ini lebih terasa saat melakukan tradisi makan bareng-bareng Astacala yang sering disebut “kuluk-kuluk”. Sekitar pukul dua siang hujan lebat mulai mengguyur tebing ini sehingga memaksa kami untuk menghentikan pemanjatan. Di bawah atap flysheet kami berteduh menunggu hujan reda sambil menikmati makanan ringan dan kopi hangat. Sekitar pukul setengah empat hujan mulai mereda, kami putuskan sudah saatnya cleaning karena tebing sangat basah sehingga tidak nyaman untuk dipanjat lagi.

Meskipun hanya semalam menginap dan hanya sehari pemanjatan, otak saya bagai ter-refresh dengan sendirinya. Sebenarnya tidak harus melakukan kegiatan yang extreme, lama, mahal, jauh, dan bernilai prestisius tinggi untuk mengobati kejenuhan dalam rutinitas sehari-hari atau mengisi waktu berlibur. Cukup perjalanan simple yang mengutamakan kebersamaan, manfaatnya akan lebih dari sekedar otak yang terguyur air segar pegunungan, kemampuan memanjat pun akan lebih terasah.

Tulisan oleh Widi Widayat
Foto dari Dokumentasi Astacala

Comments

  1. Tebing Gunung Batu merupakan jalur patahan Lembang, jalur patahan yang memiliki potensi gempa permanen bagi daerah di sekitarnya. Patahan yang selalu bergerak dari waktu ke waktu ini pula yang sebenarnya ikut membentuk bentukan Tebing Gunung Batu ini. National Geographic bulan Februari 2012 mengulas dengan mantap tentang patahan ini.

  2. welcometothejungle….

    mas pari wrote :…..Sebenarnya tidak harus melakukan kegiatan yang extreme, lama, mahal, jauh, dan bernilai prestisius tinggi untuk mengobati kejenuhan dalam rutinitas sehari-hari atau mengisi waktu berlibur. Cukup perjalanan simple yang mengutamakan kebersamaan……; setuju banget mas….

    viva ASTACALA!!!
    honje26

  3. @bli gejrot : oh, baru tahu aku kalo itu termasuk lempengan yg di bahas di NG februari kemarin juga. tak baca lagi dulu dah.hehe..

    @bapak gepeng : wah pakai dipanggil “mas” segala ini. masih muda aku pak.hehe…

    @gianto : biasa aja kok isinya, cuma belum terbiasa aja itu makanya dianggap susah.let’s try!!

    @om jimbo : wah maksudnya apa ni om, jadi bingung sebenarnya komentarnya menuju kemana.hehe..

  4. Silahkan tanya-tanya langsung saja di sekretariat Astacala, gedung student center lt.1, kampus universitas Telkom, Bandung.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Sepenggal Perjalanan ke Rinjani

“Udah mau liburan nih, enaknya jalan-jalan kemana ya? Bosen nih kalo engga kemana-mana.”. Pertanyaan inilah yang muncul di benak saya saat liburan akan tiba....

Dari Asal Kenikmatan Itu Berasal

Selega orgasme, saat langkah-langkah tertatih berdiri di antara hutan damar (damara albatis) dan jalan hotmix di wana wisata Baturaden yang mengarah ke Pancuran Pitu,...

Nusa Kambangan, Tempat Kami Menoreh Tinta Sejarah

Ketika mendengar kata Nusakambangan mungkin yang terlintas di benak kita adalah sebuah pulau di mana para penjahat kelas berat dihukum. Atau mungkin di pikiran...